Mohon tunggu...
Erna Manurung
Erna Manurung Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bermukim di kampung halaman (Serang, Banten)

Senang menulis hal Ikhwal masalah-masalah kesehatan jiwa, sesekali jalan-jalan di sekitar rumah lalu melaporkannya ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku sudah Memaafkan Papa, Ma

6 Desember 2021   09:12 Diperbarui: 6 Desember 2021   09:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami semua sudah tahu kalau ayah Sahat sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

"Aku perlu menemani Sahat?" tanya Rara.

Aku bimbang menjawab pertanyaan Rara. Terakhir mereka bertemu, situasinya tidak baik. Sahat mendorong tubuh Rara di keramaian dan itu cukup untuk mempermalukan sahabat kami. Tetapi Rara belum menyelesaikan persoalan mereka. Sialnya, Sahat tidak meminta maaf sampai hari ini.

***

Sahat tampak tidak senang ketika kami membahas kejadian di mall. Itu urusan privat, katanya. Persetan, kejadiannya di tempat umum dibilang urusan privat? Bahkan kalau tidak ada saksi pun persoalan ini bisa dibawa ke ranah hukum. "Hat, elo kayak nggak pernah makan sekolahan aja. Zaman sekarang, kekerasan dalam bentuk apapun bisa diperkarakan," nada suara Ita mulai meninggi.

Tapi bukan itu tujuan utama kami bertemu Sahat. Kami ingin menawarkan supaya dia berbicara dengan ibunya. Tapi kami tidak melihat celah itu. Wajah Sahat memerah menahan marah. Syukurlah Puji bertindak cepat. Ia berjalan ke arah Sahat duduk lalu menepuk pundaknya perlahan.

"Hat, kami hanya ingin elo menyelesaikan masa lalu elo dengan bokap melalui nyokap. Kasihan Rara kalau tiap ada masalah, elo mukul dia. Kamu sahabat kita semua. Ayolah men, hadapi masalah lo. Kita nggak akan ninggalin elo kok." Aku melihat Puji berusaha tenang ketika berbicara.

***

Ternyata, tidak mudah membicarakan soal yang satu ini dengan ibunya. Tante Ros, menganggap tidak terlalu penting lagi membahas perlakuan suaminya semasa hidup. Lagipula katanya, anak laki-laki harus dididik keras. Dipukul itu sudah biasa.

"Kenapa kau mempersoalkan bapakmu lagi? Dia sudah tenang di sana. Kau kan juga sudah berbicara lantang di depan jenazah bapakmu waktu acara adat tiga hari itu?" tantang Tante Ros.

Sahat menjadi frustrasi. Ayahnya bukan hanya sering memukulinya sampai ia usia SMA, juga suka merendahkan harga dirinya. Itu sebabnya Sahat ingin cepat-cepat pergi dari rumah dan tidak lagi bertemu ayahnya kecuali untuk urusan berapa SKS ia ambil setiap semester. Beruntung, seluruh keperluan kuliah diurus ibunya. Ayahnya hanya mengontrol nilai-nilai kuliah dan lulus tepat waktu. Sahat memang lulus lebih cepat dari target.
Tetapi dendam masih terus membayangi lelaki itu. Sialnya, hampir semua kawan-kawan sepermainan menganggap lumrah kalau anak dipukul ayahnya. Kalau bapak kita lembek, nggak bakalan kita kuliah di kampus terbaik ini Hat, kata mereka selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun