Pagi itu ketika kami jalan santai keluar kompleks penginapan di Cisarua, Rara tiba-tiba bertanya, "Nur, menurut kamu aku ini ada tipe tipe masokis ga sih?"
What???? "Maksud kamu?"
"Ups, maksudku, dalam pandangan kamu, aku punya kecenderungan kayak orang yang menyukai kekerasan 'ga?" .
Aku merasakan lututku gemetar, sementara Rara terlihat melangkah dengan ringan. Dia berhasil membuatku terkejut tanpa persiapan. Oh, tentu saja. Mana ada kejutan terjadi dengan persiapan?
Subuh tadi, aku keluar kamar penginapan dan berdoa di teras. Doaku begini, "Tuhan, aku ingin Rara menceritakan apa yang ia alami dan rasakan. Aku bersedia mendengarkan keluhannya atas perlakuan Sahat. Aku mencoba mendengarkan saja dulu, sambil kalau bisa memberinya sedikit sudut pandangan berbeda. Namun kalau dia belum mau, tak apa. Aku mengajaknya hang out ke sini hanya untuk memberitahu dia bahwa dia aman bersamaku.
Sesudah berdoa, aku meneruskan tidur. Dan inilah yang terjadi ketika kami jalan pagi setelah mandi dan sarapan. Tuhan menjawab doaku dengan cara yang tidak kupersiapkan sebelumnya. Tuhan, tahukah Engkau kalau lututku gemetar?
"Ra, gimana kamu sampai berpikir begitu? Elo sendiri apa yang elo rasakan?"
"Aku masih terbawa omongan si Citra, Nur."
"Omongan yang mana?" aku mencoba menebak-nebak. Jangan-jangan, omongan Citra tempo hari, yang mengolok Rara sebagai orang altruis yang nggak ada juntrungannya. Pahlawan kesiangan yang terjangkit sindrom heroisme.
"Omongan dia yang pedes banget. Yang akhirnya kamu belain aku. Yang akhirnya si Citra terpaksa diem setelah kamu memotong omongan dia."