Mohon tunggu...
suryanto soenarjo
suryanto soenarjo Mohon Tunggu... -

Intensive reader

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Politik (Ideologi?) Populisme 2019

29 Maret 2019   13:19 Diperbarui: 29 Maret 2019   14:15 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Di Italia, gerakan 5 Stelle (Five Stars) yang didirikan seorang komedian, Beppe Grillo dan seorang web strategist, Gianroberto Casaleggio, pada tahun 2009 mendeklarasikan diri sebagai gerakan populis yang mendukung demokrasi langsung (bukan representatif), anti-imigran, zero-cost politics, pendanaan kampanye urunan (crowdfunding) secara online, same-sex marriage, menolak koalisi dengan partai politik manapun. Tahun 2018 gerakan ini meraih kekuatan elektoral terbesar di Italia.

-Demonstrasi Yellow Vest yang mengguncang Perancis selama berminggu-minggu sejak 17 November 2018 yang dipicu oleh kebijakan pajak Presiden Macron yang menguntungkan orang-orang kaya, tampaknya akan segera ditunggangi oleh pemimpin populis Perancis Le Pen dan Melanchon.

-Trump terpilih di US karena kampanyenya yang menjanjikan Amerika akan menjadi nomor satu lagi dan lapangan pekerjaan akan dialihkan dari tangan para imigran kepada warga Negara Amerika.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa di Barat kaum populis melambung karena faktor nomor satu dan nomor dua di atas (anti-imigran dan anti kaum elite). Sementara di Indonesia populisme mencapai puncaknya sejak 2014 karena isu korupsi dan telah melahirkan demagog-demagog anti-korupsi (sebut saja, misalnya, Jokowi, Ahok dan Abraham Samad). Namun dua tahun terakhir ini, secara signifikan (sejak kasus Ahok), isu korupsi sudah kalah laku dari isu agama. Kalangan agamis telah berhasil 'menyatukan' populisme dan sektarianisme sehingga gerakan (unjuk rasa) mereka melahirkan demagog yang sebenarnya adalah tokoh karismatik yang bukan rakyat biasa. Jadi ada kontradiksi internal di dalam gerakan populis semacam ini di mana demagognya justru berasal dari kalangan elit.

Pengaruh trend terakhir ini terhadap Jokowi, yang seyogianya seorang populis sejati, terlihat pada pilihan cawapres Ma'aruf Amin, yang adalah elit NU dan MUI di tahun 2019. Jokowi memang sejak 2014 berusaha menjaga jarak dari elit-elit politik, termasuk Megawati, untuk meyakinkan rakyat bahwa dirinya benar-benar 'wong cilik' yang memikirkan kepentingan orang banyak dan tidak 'tersentuh' elit politik, tapi situasi memaksa dia berstrategi. Atau memang inilah wajah populisme di Indonesia, di mana vox populi (direpresentasikan Jokowi) secara literal adalah vox Dei (direpresentasikan Ma'aruf Amin).

Pada akhirnya populisme masih akan terus tumbuh subur di Indonesia selama persepsi publik terhadap para wakil rakyat sebagai kaum elit yang korup tidak membaik. Seorang demagog baru akan lahir dan dengan mudah berubah menjadi seorang otoritarian mana kala rakyat sudah mengalihkan kepercayaan mereka 100% kepadanya seorang. Kita bersyukur kalau Presiden Jokowi sudah berhasil mempertahankan sikap egaliter selama lima tahun ini.

Dalam atmosfer populisme, etnisitas dan agama akan terus menjadi sentimen negatif dalam hidup berbangsa dan bernegara. Personalisasi dan psikologisasi yang sering terjadi dalam politik populisme akan menjadi sangat berbahaya jika dimainkan sebagai kartu truf oleh seorang demagog yang sektarian. Dalam hal inilah politik populisme mengandung potensi bahaya bagi kehidupan sosial politis bangsa ini.

Pada akhirnya, pendidikan sosio-politik yang baik seharusnya diberikan bagi semua anggota partai politik dan generasi milenial sehingga rasionalitas kita tetap terpelihara dalam berpolitik. Produk hukum (undang-undang dan peraturan) dan penegak(an) hukum yang berkualitas dapat mencegah mobilisasi massa terus menerus yang tidak produktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun