"Usahakan hindari hitam putih ginian dek. Nyetir ayat Al-Quran. Aduh." Spontan jawabku begitu pada teman.
Saya yakin, konflik itu bukan teologis, tapi politis. Aalleee keluar istilah-istilah, hehe. Inilah penekanan saya pada teman.
"Tambah fenomena lain lagi, kak. Menjerat dengan dalih cinta. Cinta, meng-anui, lalu diblasblaskan. Ini juga marak." Rupanya komentar teman cukup kencang.
"Nada sentimentil ini bahkan lari ke ujaran kebencian. Tidak selesai masalah ini dek kalau gituan caranya," kataku.
Guyuran komentar teman sudah mulai terasa. "Kalau mungkin sudah pernah keluar merantau untuk sekolah atau yang lainnya, mungkin betul bukan teologis, kak. Faktanya kak, banyak sekali yang kami temukan seperti ini." Begitu kata teman.
"Bukan sentimentil, kak. Saya dan teman-teman banyak menemukan yang seperti ini."
"Hanya karena anu minoritas jadi diam. Menjaga diri dan keluarga masing-masing," kata teman bertubi-tubi.
Lalu, saya membalas komentar. "Bukan sentimentil, tapi baperan alias sensi banget. Sama saja to, hehe."
"Tapi, jika sudah sampai penistaan maka anu akan speak up."
"Cuma kadang saya kasihan itu sama saudari anu yang bucinnya sampai tidak pake logika lagi. Ini dibilang Agnes Monika, hahaha." Begitu komentar teman yang makin seru.
Apa kabar kalau kaum minoritas? Baru ngerasain kalau sakit tuh di sini karena minoritas. Banyak kita belajar soal minoritas, dari ceritanya teman kita sendiri. Eh, pas kita yang alami segitunya kita. Maka berlakulah teori tirani mayoritas atas minoritas. Bisa juga kebalik. Tirani minoritas atas mayoritas. Buktinya, para bohir yang sering teman bilang oligark (segelintir) yang kuasa ekonomi plus sumberdaya alam. Kita mau bilang apa. Baru "kita" sedikit-sedikit muncul tanduk, hehe.