Selebihnya, terserah Boy. Netizen tidak mau banyak pusing soal dari mana Anda dapat duit untuk bayar pajak.
Tapi, tiba-tiba kemudian hari saya melihat komentar begitu usil dari sebagian netizen soal terlalu pribadi seperti merek jam tangan, tas, dan barang-barang mewah bersifat pribadi lainnya. Netizen adalah netizen itu sendiri. Kita anggap netizen itu "nabi-nabi kecil" yang belum terdata di medsos. Karena kepolosannya, netizen kadang lebih gelisah dibandingkan orang-orang yang asyik di menara gading kampus.Â
Di luar itu, sudah berapa banyak diperbuat oleh netizen untuk negeri kita? Sok heroik hebat atau tidak, terserah.
Mereka bisanya memang berkoar-koar, suka nyindir, mencela, dan celetukan miring lainnya. Netizen, netizen godain kita dong!
Bandingkan saja penonton bola doyan berkomentar ini dan itu. Si Ronaldo dijanggal oleh pemain muda dari klub sebelah. Si anu kurang umpan balik ke lini tengah sehingga tidak menghasilkan gol balasan, misalnya. Tiba gilirannya penonton jadi pemain. Saya dan Anda mungkin tertawa karena melihat penonton tampak terasa kikuk dan kaku saat merumput, jangankan di stadion GBK, di stadion mini saja sudah kelabakan. Begitu pula, netizen.Â
Komentar demi komentar, nyinyir demi nyinyir dari netizen laksana pabrik kosa kata lewat medsos. Netizen sebagai pengawas yang dirindukan untuk mengawasi sang pengawas lain.
Ajaibnya, netizen seperti diawasi oleh komentar-komentarnya sendiri. Status di Facebook dan cuitan netizen di X merangkap menjadi 'menara pengawas' ala Foucault dalam wujud lain, dengan mata yang tersembunyi di balik dunia medsos.
Selanjutnya, di komentar-komentar lainnya. Lama-lama pakaian dalam teman medsosnya sendiri diambat oleh sesama netizen. He he. Sialan, betapa medsos bawa berkah juga bisa nyerempet malapetaka. Namanya juga produk teknologi, bung?
Pantaslah, pihak-pihak yang merasa nyaman dengan kenaikan PPN 12 persen tinggal tersenyum saja melihat gaya netizen yang "ngamuk" di medsos. Mana ada orang yang nyaman senyaman-nyamannya hidup ketika seorang pasang badan menolak PPN 12 persen. Anda lupa ya? Itu tuh Mbak Rieke Diah Pitaloka bersuara kritis menolak PPN naik 12 persen?
Tentu Mbak Rieke punya alasan. "Kan, beliau hanya satu dari ratusan wakil rakyat di Senayan."Â
Saya kira, mungkin sebagian anggota parlemen dadanya berkecamuk dan ada yang nginjak gas, tapi Mbak Diah justeru ngerem gas. Entah apa sebenarnya isi hati semua anggota parlemen itu yang kita tahu.