Sejak awal bulan, banyak postingan X di seputar akun saya dihebohkan karena ulah oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital yang bikin kita geli tebal dan sebal berat.
Kabarnya, 18 tersangka terkait skandal judi online. Dari keseluruhan jumlah tersebut, terdapat sepuluh tersangka berasal dari pegawai Kementerian Komdigi. Sedangkan, ada delapan orang merupakan warga sipil.
Kemudian, pegawai Kementerian Komdigi memiliki 5.000 web judi online yang seharusnya diblokir malah "memelihara" atau "membina" 1.000 web.
Secara tak nyicil, wajarlah X sebagai medsos bikin netizen lebih kritis segera nge-posting menggebu-gebu tentang seribuan web judol yang "dipelihara" dengan memajang semua di dinding akunnya masing-masing.
Para netizen ada yang menyebut sumber rujukannya dan ada yang tidak menyebutkan dari mana sumbernya. Ketika para netizen bikin postingan atau berkomentar di akunnya sendiri, mereka berpandangan bahwa semua unggahannya itu sebagai cara untuk menyelamatkan negeri kita dari kerusakan.
Sudah tentu kerusakan, baik itu moral, sosial, dan intelektual bukan sebagai bahan tertawaan saat kecaman keras tertuju pada mereka. Apalagi orang-orang terlibat dalam skandal judi online itu cuma "lapisan bawah" merangkap sebagai korban.
Sementara itu, "lapisan atas" ternyata seorang pejabat atau setidaknya seorang petinggi negara dan bahkan dia menjalankan bisnis layanan judi online membiarkan bergentayangan situs-situs judi online. Kata lain, pejabat yang ditengarai punya peran untuk memuluskan orang-orang bermain judi online justeru tidak tersentuh oleh hukum.
Ketika saya menyimak sebuah akun dengan cuitan netizen, ada kesan serius berbarengan semangat melontarkan kata-kata lucu. "Cak, pemain judol itu bukan korban, tapi pelaku. Bandarnya harus segera diberantas, petinggi pemerintahan yang terlibat harus dipecat. Blablabla." Lah, memangnya netizen cuma menyontek berita secara membuta tanpa membaca berita secara utuh?"
Begitulah netizen. Mereka sangat teliti dan polos untuk melihat selubung, muslihat, dan borok oknum pejabat.
Sebaliknya, tujuan mulia dari netizen memang masih ada yang membaca secara sepenggal-penggal tentang tentang pernyataan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar bahwa tidak kurang dari 8,8 juta bangsa Indonesia yang menjadi korban dan pelaku terjerat dalam judi online. Saya kira, poinnya adalah netizen ingin melihat Kementerian Komdigi dan Kejaksaan Agung menjaga marwahnya sebagai lembaga negara agar tidak terjatuh dalam tindakan yang sangat memalukan.
Apakah postingan lewat akun Muhaimin Iskandar yang dimaksudkan tidak mengetik kata atau menyinggung pelaku? Iya kan?
Tetapi, sudahlah, kita abaikan saja karena hal itu hanya kasuistik. Saya khawatir ketika saya menyenggol netizen.
Yang jelas, para netizen sudah tahu masalah apa, siapa, dimana, kemana, ini dan itu lainnya tentang judi online. Mereka juga sadar kalau ada pejabat atau pegawai terkait terlibat skandal judi online. Tuh, ada netizen yang menyarankan agar lebih baik sekarang pemerintah lebih peduli pada kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), bagaimana mereka mencari duit hingga persoalan susahnya hidup di tengah himpitan ekonomi yang tidak pasti. Para netizen dan telepon seluler yang menemaninya untuk menelesuri perkembangan di sekitarnya.
Sesungguhnya masih ada yang terdengar kocak, seperti pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. "Jujur saja ada pegawai yang ikut (main judi online)," ujar Burhanuddin. Kok, iseng-iseng, begitu kecamuk di benak saya. Mungkin saja terlontar celetukan dari para netizen terhadap pernyataan Jaksa Agung.
Kalau demikian, pegawai Kementerian Komdigi yang memelihara web judi online atau transaksi judi online sekitar 200 triliun rupiah itu semuanya hanya iseng-iseng di tahun lalu.Â
Iseng-isengan pegawai Kejaksaan jadi lucu dan ironis bin absurd, bukan?
***
Mulanya, mereka tak mengenal batas antara gelisah dan hidup tenang saat mereka terjatuh dalam kecanduan judi online. Saat kecanduan judi online, mereka tidak peduli apa itu derita dan senang.
Saking dalam kenikmatan dan godaannya, mereka seakan lupa dampak dari main judi online. Makanya, tidak heran kalau ada ungkapan yang mengatakan kalau judi online lebih kejam dari ibu tiri dan pembunuhan. Judi online menjadi kejam dan pembunuh secara perlahan-lahan. Memang benar, saya tidak menganggap lucu atau kocak terhadap iseng-isengan main judi online.
Di luar dugaan saya, saat Jaksa Agung berarti dia juga sedang iseng-iseng berbicara tentang iseng-iseng anak buahnya saat main judi online.Â
Hei! Anda suami-suami yang terlibat judi online di Kementerian Komdigi dan Kejaksaan apakah tidak punya isteri yang menjadi korban judi online?
Sampai pada satu titik, iseng-isengnya lebih serius setelah tidak ada lagi yang serius saat seorang ibu mengadu. "Saya korban suami saya yang kecanduan judol. HP, TV habis dijual. Terjerat utang. Dikeluarkan dari tempat kerja. Tadinya kerja enak di pabrik baterai," keluh seorang ibu.
Barang-barang ludes karena judi online. Kalau begini, apa lu bisa ketawa ngakak?
Dari semua lelaki yang bermain judi online, pernahkah mereka menanyakan pada dirinya sendiri bahwa apa yang diperbuat selama ini adalah berbahaya?
Sejelas-jelasnya bahaya judi online sudah banyak korban yang berjatuhan. Mulai dari Polwan bakar suami, anak yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya, suami atau istri yang bercerai, kasus bunuh diri, hingga anak rampok dan bunuh ibu kandungnya demi judol dan kriminalitas lainnya.
***
Iseng-iseng pun semakin tidak lucu. Saya kira, orang-orang yang tidak terlibat judi online, diantaranya kaum moralis pantas mengatakan kalau ironi mengubur iseng-iseng main judi online dari lembaga penegak hukum. Huuaanncuur!
Lebih ironis lagi, kalau puluhan ribu polisi dan tentara bermain judi online.
Siapa dibekuk, siapa menggrebek? Siapa dihukum, siapa menghukum?
Spekulasi akhirnya tumbuh liar dimana-mana. Maka ada benarnya dengan sindiran-sindiran yang masuk akal dari netizen. "Bung apa udah tahu, ya? Masakan kroco-kroco dikorbankan demi melindungi yang kakap-kakap. Jadi, siapa dong bos besar judol yang mencukongi mereka?" "Pura-pura nggak tahu kalau nggak pakai standar ganda bukan Indonesia namanya. Ingin pura-pura, tapi nggak jadi." Salah satu versi, banyak kalangan dari bawah sampai ke atas yang bermental budak layaknya pecandu judol. Jangan-jangan ini puncak gunung es dari mental bangsa yang rusak.
Eh, maksudnya bangsa pecandu. Makin kecanduan judol, makin gila.
Curiga demi curiga makin besar. Prasangka demi prasangka makin menggelembung. Bagaimana tidak? Orang menganggap skandal judi online sama mainnya dengan atasan yang menyuruh mengamankan kepentingan bisnisnya, misalnya. Wah, ini bisa kaya mendadak gara-gara judi online. Ayo, sampai dimana?
Coba tengok, lebih seribu anak di Jakarta turut bermain judol. Apaan tuh! Ampun, bah! Sudah terlibat, anak-anak itu ikut menyumbang transaksi sekitar dua milyar lebih. Apa tidak gila! Lengkaplah sudah pecandu, dari orang dewasa, bapak-bapak sampai anak-anak kecanduan judol. Tepuk dahi berkali-kali!
Pantas, selama ini tidak ada habis-habisnya. Ternyata, wasit jadi pemain, Â aparat ikutan main. Ingin kejar siapa pelakunya?
Tak heran, seorang bandar luar biasa duitnya. Bandar kelas kakap, fulus sebesar 24 juta sebulan untuk satu situs buat setor upeti sih ke pegawai Kementerian Komdigi itu receh. Toh, kalau mau sombong, mereka setor 100 juta sehari saja recehan.
Pertanyaannya, mungkinkah peristiwa setoran bandar judol hanya berhenti di oknum pegawai saja? Segampang banget itukah cari duit?
Parahnya, komplotan beking judi online diakui sangat rapi. Bayangkan, cuma menteri yang bisa masuk ke ruang kerja mereka.
Bahkan brengseknya, atas kekuatan otoritasnya yang dimanfaatkan, maka mereka mengancam blokir situs judol. Lalu, mereka meminta uang pada pengelolanya agar terbebas dari gertakan itu. Ingin mulus mainnya, mana upetinya?
Hmmm. Begini.
Kita sedikit merenung sembari berharap bisa mencerna makna kalimat demi kalimat. Sekarang, banyak bayangan atau melimpah bayangan ilusi itulah pecandu judi online. Belum lagi pecandu narkoba hingga pornografi. Ini pesan-pesan pertapa agung, bahwa judi online bukan cuma bagaimana memainkan, tapi juga menikmati kecanduan yang luar biasa. Memang benar, judi online dinikmati dan dimainkan sekaligus dicela dan ditentang.
Bagaimana dengan kalimat berikut ini?Â
Marilah kita pastikan masa depan pecandu kedalaman! Kenapa kedalaman?
Main judi online melibatkan hasrat untuk dapat banyak duit, misalnya, maka di situlah terjadi kedalaman hasrat atau selera yang kosong. Ingin dapat duit banyak malah barang-barang dan segala macam hingga nyawa taruhannya.
Singkat kata, nikmat membawa sengsara itulah pecandu kedalaman kenikmatan yang kosong. Judi online menjadi ilusi karena tidak membuat pelakunya bebas justeru terpenjara dan terjebak dengan fantasi. Ya, kedalaman fantasi yang kosong. Mereka akan tersiksa oleh angan-angannya sendiri.
Pemain judi online mengejar kebahagian, tetapi kebahagian yang palsu karena judi online akan menguap seketika sebagaimana hidup susah setelah semua yang dimilikinya ikut lenyap. Pecandu kedalaman kenikmatan, hasrat, dan fantasi judi online melahirkan penyesalan seumur hidup. Begitulah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H