anak-anak belajar menjadi tukang fesbukan. Paling sering muncul di status bunda ketika ingatan tentang anak-anak bertengger di kepala. Daripada uneg-uneg bunda merajalela, mending ditumpahkan lewat status Facebook.
Sudah berapa lama ibundanyaAda ceritanya. Suatu hari, bundanya anak-anak sibuk mengurus sebuah foto yang diambil oleh ummi Fauzan ketika sama-sama mengunjungi buah hati di pondok pesantren dua tahun lalu. Saat itu, ananda Aisyah Nida Ulhaq Ermansyah masih berstatus santri baru di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara, Kota Makassar.
Ketika itu, kami bersiap-siap ingin balik kampung. Tapi, terjadilah drama si gadis ternyata ingin juga ikut pulang. Dengan berbagai bujuk rayu dari bunda dan musyrifahnya, si gadis tetap saja kekeh ingin pulang. Jilbab bundanya terus dipegang tidak ingin dilepas dan terus menangis.Â
Anak ini masih  malu menangis depan umum bahkan meronta-ronta. Saat dipegang oleh kakak kelasnya dan berkat 'gotong-royong' kakak kelasnya, maka jilbab bundanya pun bisa lepas dari genggamannya.
Akhirnya, bundanya pun berlari keluar ke gerbang putri dan meninggalkan pondok. Di perjalanan, musyrifahnya menelpon.
Katanya ananda mengamuk di asrama. Tentu saja, bundanya anak-anak tidak tinggal diam. "Tinggalkan saja ustadzah, nanti juga berhenti menangis," kata bunda.
Begitulah. Selama ananda mondok beberapa kali seperti itu apalagi kalau kakaknya pulang karena sakit, dia juga ingin ikut pulang. Maklum, kakaknya dua orang sekaligus barengan menempuh pendidikan di pondok. Sejauh ingatan, tidak pernah terjadi pemandangan seperti itu ketika kami ingin pulang. Ya, mungkin karena anakku Nida adalah bungsu, dari tiga bersaudara.
Kalau kakaknya si gadis bungsu, yaitu Hayatun Nufus Muthahhari sebagai anak sulung palingan nangis kalau kami terlambat datang pada hari penjengukan. Yang pasti, dia ogah menangis sejadi-jadinya saat penelponan karena rindu. Diakui, dia tidak pernah bete habis ingin pulang kalau tidak ada sesuatu yang sifatnya penting untuk pulang.
Selanjutnya, berbeda lagi dengan kakaknya Nida yang laki-laki, yaitu Ahmad Mumtazar. Saya biasa panggil anak gammara'na (gantengnya) bunda. Belakangan, saya sudah setel panggilannya menjadi anak shaleh-nya bunda. Takut kegeeran, he he he. Anak lelakiku ini saat menjadi santri baru nggak nangis, malah bundanya yang menangis.
Ajaibnya, dia disuruh pulang saja mungkin pikir-pikir dulu karena sudah kepalang basah. Mumpung sudah tiba waktu shalat, anak laki-
laki kami segera shalat Maghrib di mesjid. Tunggu dulu. Si anak shaleh ini bukan berarti tidak pernah menangis, kecuali nangisnya saat sakit di pondok atau rindu berat sama orang tua.
Kembali lagi ke cerita si bungsu. Tahun ini, Nida sudah duduk di Kelas 9 SMP. Insya Allah tahun depan sudah tamat dari jejang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan akan menuju ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Patut bersyukur, saya melihat anak-anak sedang banyak perubahan selama dua tahun lebih atau menjelang tiga tahun mondok. Si bungsu nampaknya nggak bakakan lagi minta pulang tatkala si sulung izin pulang karena sakit.
Namun demikian, cengengnya si bungsu masih ada saat masa liburan di kampung. Kami membaca perkembangan kedisiplinan.
Oh, iya! Rupanya, dia juga sudah bisa mandiri, ditandai dengan mencuci baju sendiri ketika pulang liburan. Bundanya sengaja tidak mau mencucikan pakainnya, biar tidak terbiasa bergantung sama orang. Kalau di pondok, dia kadangkala dicucikan sama kakaknya. Alasannya, karena si kakak tidak senang kalau ada pakaian yang kotor-kotor dan belepotan sih. Si kakak juga kerap membangunkan adiknya menjelang subuh agar bisa mandi dan mencuci untuk menghindari antrian.
Jadilah si adik bertambah manja. Sedikit-sedikit si adik sering dibantu oleh si kakak. Si kakak kalau diacuhkan oleh si adik, yang terjadi adalah jurus ngomel-ngomel. Kalau alur cerita yang ini diniatkan bukan bahan status Facebook. Cukup urusan keluarga.Â
Eh, sudah bocor jalan ceritanya, bukan!
Pantasan kalau ada yang tidak beres dengan gaya si adik bikin si kakak jadi stres dan berujung gejala maag menyerangnya. Mudah-mudahan si kakak tidak kambuh lagi maagnya! Bundanya pun akhirnya meminta ke pembinanya agar duo gadisnya lebih baik pisah asrama.
Maksudnya apa pak? Agar si adik bisa mandiri dan si kakak tidak sakit maag. Gara-gara stres melihat tingkah adiknya yang kurang rajin, tiba-tiba cuaca jadi tidak cerah. Sekarang, penuh harap, si bungsu sudah lebih dewasa dan bertanggungjawab.
Kami sebagai orangtua tetap berikhtiar dan melangitkan doa-doa untuk mengiringi perjuangan mereka dalam menuntut ilmu dan meraih masa depan yang gemilang. Terima kasih anak-anak shaleh-shalehanya bunda dan kaeng (ayah) tetap bertahan mondok. Anda bertiga kebanggaan kami di dunia sampai akhirat.Â
Semoga kalianlah penolong kami di akhirat kelak! Aamiin!
***
Bagi kami sebagai wali santri, hari Jumat merupakan hari berkah yang berlimpah. Selain karena keagunganannya, juga hari telepon sejagat Pesantren Darul Arqam Gombara, dari anak-anak ke orang tuanya.
Jika hari Jumat tiba, rasanya seperti menunggu kekasih yang akan nelpon di hari itu. Sstt, romantisme ni ye! Betapa tidak, hati berbunga-bunga. Volume Hand Phone (HP) pakai mode bersuara. Sebentar-sebentar HP diintip-intipin, sekalipun bunda anak-anak sedang mengajar di sekolahnya.
Bunda agak khawatir telat mengangkatnya dan sudah ada konsep pesan yang akan disampaikan ke anak-anak. Lagi pula, karena waktu mereka terbatas meski biasa lupa menyampaikan pesan yang sudah dikonsep gegara hati riang mendengar suaranya.
Berkali-kali bunda berbicara dengan anak-anak, baik si sulung, si tengah atau si bungsu pakai Video Call (VC). Terus, disambungkan ke ayah dan saya pun ikut tertular rasa gembira mendengar suara dan menatap wajah anak-anak. Untuk urusan screen shoot itu diserahkan pada bundanya anak-anak. Hasilnya, sebagian nge-posting hasil VC di akun Facebook bundanya anak-anak. Setelah itu, bunda nge-tag ke akun FB saya. Saya benar-benar merasakan kasih sayang dengan anak-anak dan cuap-cuapnya bunda lewat VC yang tersimpan di FB. Barang tiga hingga lima menit kami ngobrol itu sudah menawar rasa kangen dahsyat.
Kadangkala mereka menelpon non android, mirip-mirip radio, ada suara tak ada gambar. Jadinya, saya hanya tersenyum dibuatnya.
Adapula yang nelpon android, tapi tidak diperbolehkan menggunakan VC. Kalau si laki-laki shalehku lain lagi. Dia boleh nelpon pakai VC, kecuali si anak ini malas minta nelpon ke musyrifnya. Malu katanya, padahal si bunda sudah rindu berat. Nanti bundanya yang berinisiatif nelpon musyrifnya baru mau nelpon. Insya Allah kami sebagai orang tua santri ridho apa yang menjadi aturan pondok. Paling penting baik untuk mereka. Â
Sampai giliran anak-anak menelpon. Hari yang ditunggu-tunggu.
Hari ini, si sulung yang nelpon pertama. Dari suaranya yang penuh keceriaan menandakan dia baik-baij saja. Dia bercerita bahwa kemarin sempat demam, tapi sudah minum obat. Bundanya menanyakan madu dan vitaminnya diminum. "Sudah, apa belum?" "Sudah habis bunda," jawab si sulung. Syukurlah, kalau habis berarti dia konsumsi dengan rutin setelah sepekan kami membekalinya. Dia sempat memberi kabar bahwa pendaftaran kelas tahfidz sudah lewat ketika dia pulang kontrol kesehatan giginya. Bunda dan saya tetap terus memberi motivasi; tidak masalah kalau nggak bisa ikut kelas tahfidz. Yang penting, hafalannya tetap ditambah dan dimuraja'ah. Dia pun berkata iye bunda, Insya Allah.Â
Lazimnya, bunda yang terus berpetuah tentang pentingnya anak-anak menghafal Al-Quran. Oke deh!
Lalu, menyusul si tengah anak shalehku nelpon ba'da Isya. Bunda seperti biasa menanyakan kabarnya dan bagaimana outing class-nya tadi siang. Alhamdulillah, senyum simpul di wajahnya menandakan dia senang.
Bunda juga sempat menanyakan apa uang jajannya memang dipakai jajan di sana. Karena apa? Anak lelaki kami tidak jarang "puasa" tidak belanja demi menabung uangnya untuk membeli sesuatu.
Ada yang seru, kalau tabungannya sudah cukup, dia membeli sepatu, baju, dan sebagainya. Tapi, ternyata dugaan bunda meleset, katanya dia jajan banyak.Â
Mungkin karena dia lapar setelah berenang. Begitu toh!
Kemudian, menunggu telpon si bungsu sampai saya menulis catatan ini belum kunjung muncul. Kasian bunda nih! Bunda sudah wanti-wanti. Biasanya kalau begini musyrifahnya sibuk ataukah si bungsu tidak sampai target hafalannya sehingga hukumannya nggak bisa nelpon ke orang tua. Kami bisa paham tentang kondisi itu, suka atau tidak harus  menerima konsekuensi tersebut demi pendisiplinan anak-anak.
Tak terduga sebelumnya. Kemarin dia sempat mengirim fotonya bersama teman-temannya memakai HP ustadznya. Dia sudah tahu kalau dirinya nggak bisa nelpon, maka dia mengirim foto beserta list pesanannya lewat HP ustadznya.
Meski hanya gambar yang dikirim, cukuplah menjadi pengobat rindu. Bunda cukup mengucapkan syukurlah. Barakallah fiikum shaleh-shalehaku.Â
Rajin belajar dan selalu semangat menambah hafalan Al-Quran, kelak menjadi orang yang sukses dunia-akhirat! Mengucapkan kalimat terakhir itu, jari-jemari saya tertahan sejenak di atas tuts-tuts HP lantaran dada ini begitu adem dan layaknya semburat cahaya datang darinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H