Hiruk-pikuk dunia kuasa di Indonesia yang dipicu oleh luapan rasa kecewa bahkan muak bercampur geli tipis-tipis publik terhadap gelagat aneh di ujung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Maklum, ini transisi dari Jokowi ke Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.
Hingar-bingarnya panggung politik dipertajam oleh netizen terus menggelindingkan pembicaraan-pembicaraan lanjutan.
Sekitar dua bulan lalu, peringatan darurat mencuat di media sosial sebagai bentuk penolakan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia calon kepala daerah dan ambang batas partai mengusung kepala daerah.Â
Beberapa pekan lalu juga heboh tentang gratifikasi dan akun Fufufafa yang diduga melibatkan anak Jokowi, yaitu, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep. Lantas, saya meleset, ternyata belantara isunya masih tak terlupakan.
Untuk kelas jumbo akademisi di tanah air kita, kegelisahan guru besar benar-benar disalurkan pada sesuatu yang belum jamak. Daripada bergumul di dunia ilmiah melulu, mereka menongkrongi kondisi tanah air kita.
Berkat daya kritis ditambah analitis yang tajam dan "mantul," mantap betul, para profesor yang menyandang guru besar tidak sekadar bangun dari tidur panjangnya lantaran diam membisu mereka dianggap telah mati oleh publik.Â
Para guru besar tidak disumpah-serapai karena mereka "turun gunung," bebas dari kungkungan teks, dan keluar dari kutukan "menara gading." Mereka tidak ingin larut dengan keadaan dan silau posisi mentereng. Maka cara atau bentuk melampiaskan kegelisahan golongan intelektual adalah buku.
Untunglah, kegelisahan para guru besar Universitas Gajah Mada (UGM) memuncak ketika mereka meluncurkan buku sebagai ekspresi perlawanan senyap. Guru besar itu seakan plong setelah menyelesaikan ragam tulisan dalam bentuk buku.
Tetapi, sebagai orang yang sudah lama bersentuhan dengan buku dan jawara menulis buku tentang kondisi negeri yang membuat guru besar lebih menyebalkan karena cara apalagi sehingga pemerintahan bisa efektif dan bebas dari penyelewengan kuasa. Saya kira, para guru besar ingin menata mimpi masa depan dengan menulis buku.
Para guru besar tidak sungkan-sungkan untuk ambil di tengah dan balik kiri atau balik kanan.Â
Sebagai penulis buku bernas, para guru besar bukan pula menempatkan dirinya sebagai musuh teks tertulis yang dihegemoni oleh penguasa negara. Mereka sebagai penulis handal tentang harapan atau kepedulian pada pemerintahan selanjutnya digambarkan secara realistis.