Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rempongnya Toleransi

5 September 2024   11:17 Diperbarui: 5 September 2024   16:59 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Meluncurlah petuah sakti dari seorang teman di sela-sela waktu pagi. Tidak disangka ada topik hangat yang muncul sebelum mulai kerja kantoran. Katanya, pelarangan adzan dan diganti dengan running text di layar televisi dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) lantaran alasan berpotensi bisa mengusik jalannya Misa Akbar Paus Fransiskus di sekitaran Jakarta. 

Aturan running text dari Kemkominfo bak paduan suara disambut oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia.

Sudah tentu, sedini mungkin kita menyambut gembira atas kedatangan Paus Francis di tanah air. Sebagaimana kita ketahui bahwa kegiatan Paus Fransiskus di Indonesia dalam rangka perjalanan apostolik yang berlangsung sekitar empat hari, 3 hingga 6 September 2024.

***

Ketika mata sudah melek dengan jurus intip apa chat warga di grup WhatsApp, terlihat ada satu berita tentang usulan agar adzan Magrib tetap berkumandang di televisi. Kayak ngaji pagi nih!

Memang sebagian kecil akun platform X yang beragama non muslim sebel atau tidak sreg juga dengan aturan Kemkominfo soal adzan cukup running text. Bahwa satu akun platform X justeru tidak merasa terganggu.

Adzan di televisi seakan-akan bisa mengundang sensai "pedas" di kuping umat non muslim saat beriringan Misa Akbar Paus Francis di Indonesia. Dari titik ini, cuma geli rasanya kalau sensasi mengubur substansi.

Kita tahu, substansi Misa Paus Francis itu diantaranya, kasih, perdamaian, dan kemanusiaan hingga ujung-ujugnya menciptakan hati enak tenang antarumat beragama. Tenteram jiwa kita.

Lah, yang merasa terganggu dgn adzan itu siapa? Paus Francis, tukang protokuler, atau penyelenggaranya? Adzan atau cukup running text itu soal teknis.

Selama ini cukup tercipta kondisi ketenteraman antarumat beragama, baik adzan maupun tanpa adzan? Atau bagaimana kalau umat Islam tanpa adzan datang ramai-ramai ke mesjid. Cukup dengar suara batin (saya tertawa dalam benakku)?

Tidak lama kemudian, komentar saya di grup WA ditimpali oleh teman, dia seorang dokter yang jago berdiskusi. Apa komentarnya. Cekidot!

"Bagi saya suara adzan di tivi saat magrib hanya ibarat alarm dengan suara adzan di HP. Bisa ditayangkan, bisa juga tidak. Toh terkadang suara adzan tersebut tidak ditayangkan saat ada siaran langsung sepak bola. Titik krusial bagi saya sebenarnya adalah ketika terjadi monopoli siaran pada semua stasiun tivi nasional. Tidak ada alternatif saluran tivi bagi yang tidak ingin mendengarkan misa dari Paus Fransiskus. Di situ justru letak diskriminasi sebenarnya." Di ujung kalimat dari komentar teman nampak cukup lugas.

Sesaat kemudian, saya membalasnya. "Malah saya berpendapat, tidak usah ada adzan di TV. Lagi pula sudah ada adzan di mesjid di sekitar kita. Makanya di ujung kalimat saya sebelumnya: "Atau bagaimana kalau umat Islam tanpa adzan datang ramai-ramai ke mesjid."

Mungkin karena kita sebagai muslim melihat secara kaca mata positif, khususnya umat Katolik akan mengikuti Misa Akbar Paus Francis masih terkondisikan oleh kegiatan-kegiatan bersifat formal, sehingga sebagian dari kita umat Islam, termasuk sebagian umat yang merayakannya secara psiko-sosial "agak laen" ketika ada momen Misa Akbar Paus Francis.

Kemudian, komentar saya akhirnya disahuti oleh seorang teman saya, yang entah mengapa kali ini tidak memakai jurus "buldozer." Apa komentar teman yang satu ini? 

"Suatu hari saya berada di kota Mamasa, lokasinya jauh dari mesjid karena  daerah ini mayoritas non muslim, baru hari kedua. Ya Allah betapa kangennya mencari suara adzan sebab di TV tempat saya nginap juga tidak ada suara adzan maghrib. Perjalanan ke Mamasa selanjutnya saya putuskan mencari penginapan milik muslim karena TV-nya ada siaran yang mengumandangkan adzan karena suara adzan dari mesjid pun sangat langkah. Maka jika masih bisa mendengar suara adzan meski hanya di TV, manfaatkanlah, sebab suatu saat ada waktu kita berada di tempat di mana kita rindu mendengar suara adzan, tapi susah mendapatkannya." Inilah komentar cukup panjang dari teman saya.

Kita lagi-lagi akan terkondisikan. Mestinya kitalah yang menciptakan "kondisi." Misalkan, jika tidak ada suara adzan di TV atau di mesjid, secara teknis kita bisa nengok jam tangan atau "waktu Indonesia bagian ponsel." Jika sudah masuk waktu, wes, fokus di situ saja. Tetapi, itulah pengalaman pribadi kita masing-masing.

Marilah kita melihat realitas sosial keagamaan dengan sudut pandang institusi teks, suara atau bunyi (sound), dan suara (voice). Ditambahkan lagi institusi keagamaan.

Pertama, institusi teks yang dimaksud adalah Kementerian Agama,  Kementerian Kominfo, dan TV nasional. Kita bisa membaca di medsos soal bagaimana Kemenag menyurat ke Kemkominfo dengan kontennya terkait penyiaran azan magrib dan Misa Akbar bersama Paus Fransiskus. Baik Kemenag, Kemkominfo, dan TV nasional sebagai agen kuasa negara sekaligus perpanjangan tangan mekanisme kontrol atas tubuh (Foucaldian).

Lalu, Kemkominfo menindaklanjuti surat dari Kemenag. Surat Edaran Kemkominfo itu sendiri merupakan tindak lanjut dari surat Direktur Jenderal Bimbingan Islam dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, serta Kementerian Agama Nomor: B86/DJ.V/BA.03/09/2024 per 1 September 2024. Tiba gilirannya stasiun televisi nasional sebagai bagian dari institusi teks harus mengindahkan surat edaran tersebut.

Dalam persfektif ini, Kemenag, Kemkominfo, dan TV nasional sama-sama menjalankan "kontrol atas tubuh" seorang muslim melalui running text, bukan adzan di TV. Kontrol atas tubuh berarti disiplin untuk saling menghargai. 

Mengapa mesti tubuh dijadikan sasaran kontrol dari ketiga institusi teks? Salah satu alasannya, karena ketiga institusi teks itu yang memproduksi suara lengkap dengan gambar dan teksnya. 

Yang kita tahu sampai di situ saja ketika saya tidak melongo lagi. Kemana kira-kira celahnya pihak lain dari suara adzan?

Kedua, suara atau bunyi (sound). Karena adzan di TV diwanti-wanti "agak laen" didengar saat sedang berlangsung Misa Akbar Paus Francis, maka pilihan dari Surat Edaran Kemkominfo berlaku hanya running text, yang menggantikan adzan di TV. Maka tidak heran bagi kaum fanatik: "Its sound bad," bukan "Its sound nice" secara tersirat melalui adzan di TV. Ini tafsiran saya terhadap realitas keagamaan.

Bagaimana dengan suara (voice)? Saya yakin, dalam kondisi seperti sekarang di mata Paus Francis bahwa adzan dikumandangkan di TV tidak mengganggu jalannya Misa Akbar. Paling tidak, ada Paus Francis menghormati adzan. Terlebih lagi, suara adzan adalah 'suara suci dari Ilahi'; ia merupakan panggilan umat Islam untuk beribadah shalat.

Ternyata, Sekretaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta, Romo Vincentius Adi Prasojo sebagai bagian dari institusi keagamaan mengisyaratkan suatu jalinan penghargaan dan saling menghormati antarumat beragama melalui "lokalisir" suara adzan di TV menjadi running text belaka selama Misa Akbar Paus Francis di tanah air. Singkat kata, hal itu tidak ada masalah.

Soal adzan harus dilafaskan atau disuarakan dan adanya saran agar adzan magrib tetap dikumandangkan di TV telah mengundang sebagian pro dan kontra. Saya kira, inilah ujian bagi umat Islam dan begitulah adanya sebagai umat yang mayoritas di Indonesia.

Harap maklum bapak dan ibu! Tetaplah kita selalu kompak, akur, dan damai dalam perbedaan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun