Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjuangan Komedian untuk Melawan

23 Agustus 2024   11:33 Diperbarui: 21 September 2024   16:55 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Siapa yang hadir di depan gedung DPR RI? Para mahasiswa bergerak! Partai Buruh beraksi, aktivis '98, dan guru besar turun ke jalan! 

Para elemen masyarakat sipil lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu turun aksi unjuk rasa. Mereka mengambil bagian untuk mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dalam pemilihan kepala daerah.

Dari ribuan massa yang berunjuk rasa hingga merangsek masuk ke halaman DPR itu, ada satu komunitas yang merasa terpanggil jiwanya untuk menolak revisi undang-undang Pilkada.

Siapa mereka? Siapa lagi jika bukan publik figur dari para komedian atau komika yang sering menghibur kita.

Para komika rupanya jago berorasi di depan massa. Dimulai dari komika Abdur Arsyad. "Kami mewakilkan teman-teman lainnya. Jangan berharap kami lucu karena yang lebih lucu di dalam sana, kumpulan orang-orang tolol, tolol, setolol-tololnya." Wah, garang juga bung Arsyad! Begitu saya menyimak konten orasinya, saya geleng-geleng kepala.

Memang betul, ada sesuatu hal dari berbagai arah yang membuat jiwa kita terpanggil dalam kehidupan atau suatu perkara tertentu. Terdapat keresahan, ketidakadilan, rasa muak hingga nasionalisme. 

Suatu perkara yang darurat atau genting dan hal yang bukan darurat. Urusan pertama dan kedua ini dialami oleh para komika. Abdel Achrian misalnya, bersuara lantang di depan gedung DPR. Apa orasi Abdel? "Indonesia lawan, DPR lawak." Teriakannya sebanyak enam kali.

Giliran komika lainnya memegang alat kekerasan berupa pengeras suara sembari kepalkan tangan. Saya agak melongo saat komika berorasi secara bergantian di atas mobil komando. 

Selanjutnya, Ajis Doa Ibu. Bersama para pendemo, mereka menyanyikan lagu "Agak Laen" secara serentak. Suasananya pun bertambah hidup saat melantunkan lagu tersebut.

Di sana ada pula komika Bintang Emon ikut nimrung berorasi. Sisa power suara Bintang Emon perlu belajar sama Abdur Arsyad dan Mamat Alkatiri. Ada Arie Keriting, Yuda Keling, Rigen Ebel Kobra hingga YouTuber Jovial Da Lopez. 

Yang jelas, mereka turut merasakan apa yang dirasakan oleh akademisi, kaum terpelajar, dan masyarakat yang menilai selama ini telah dikangkangi oleh pemegang tahta dan harta, di negeri kita.

***

Jika komedian sudah turun aksi unjuk rasa, artinya urusan negeri kita sudah serius. 

Ada semacam paradoks, seperti marah yang paling mengerikan bukan dari sosok seorang pendiam, melainkan dari sosok seorang komedian.

Komika Abdel dan kawan-kawan seumur-umur  tidak pernah bicara politik. Tetapi, para komika kawakan itu tiba-tiba berbicara politik. 

Mereka saking resahnya atau bagaimana sama-sama nyemplung ke dalam satu kolam? "Jangan ngelucu bang, karena para komika dipastikan kalah lucu sama yang di dalam gedung DPR!"

Kita jadi teringat, tahun 98-an, mahasiswa yang memulai perjuangan melawan rezim Orde Baru dan di era pasca-Reformasi hingga belum jelas kapan sepenuhnya reformasi terbukti, maka di tahun 2024 para komika yang memulai perjuangan. 

Satu kalimat, komedian berjuang untuk melawan hal-hal jumawa dan angkuh yang kelewatan. Apakah memang benar jika negeri ini makin lama makin lucu, yang bukan makin maju?

Lantas, apapun pemihakan komika atas kondisi sengkarut negara yang dinyinyir dan dicela oleh orang justeru tidak membuat Abdel dan kawan-kawan patah semangat. Mereka tidak peduli dengan segala macam ocehan. 

Karena itu, para komedian tidak menyesal turun aksi unjuk rasa. Mereka memang para komika yang turun aksi unjuk rasa dikasih nasi bungkus? 

Kasian mereka pada kelaparan, yang tunggangi lepas tangan tidak kasih apa-apa. Terlalu benar apa yang dibicarakan orang pada komika bahwa yang peduli sama rakyat jelata cuma rakyat jelata. Para komika begitu polos dalam aksi unjuk rasa. Tanpa muka bengkok saja, muka para komedian yang lagi orasi dan aksi unjuk rasa lainnya untuk menolak revisi Undang-Undang Pilkada tidak jauh dari muka kaum jelata, bukan muka seleb super mewah. 

Lihat saja sendiri tampang kasian para komedian!

***

Pada akhirnya, para komika yang terlibat aksi unjuk rasa punya hitungan tersendiri. Mereka sadar, di balik aksi unjuk rasa masih ada saja pihak yang membuang muka, usil, dan mencela. Itu tidak apa-apa. 

Di balik itu, para komedian dilatih untuk lebih kuat menghadapi sindiran dan tantangan. Dalam kondisi yang kadangkala kita hadapi, ada hal-hal yang perlu dipahami, kenapa massa turun ke jalan.

Nah, para komika juga mesti dilihat dari persfektif yang lain, sehingga mereka bisa memihak pada kondisi dimana orang-orang terjebak dari rutinitas melulu. Mustahil pemulung di kota yang dikritik habis oleh pihak luar. Ini namanya salah alamat. Abdel Achrian dan para komedian lainnya ingin keluar dari rutinitas. 

Umpamanya, jika melawak sepekan, apa tidak jenuh? Bukan berarti para komedian menjadikan aksi unjuk rasa sebagai pelarian atau selingan belaka, kecuali atas kesadarannya sendiri.

Coba kita renungkan! Para komika tampil di atas panggung orasi ternyata bisa diselamatkan dari tangan-tangan jahil yang tidak bertanggungjawab lewat endorse dengan tujuan untuk mendukung revisi Undang-Undang Pilkada. Mereka tentu berbeda dengan TikTokers yang nyaris menjadi korban endorse, yang ditawari ratusan juta demi menggagalkan putusan MK. 

Sampai di sini, kita percaya ada pihak yang tidak senang dengan alam demokrasi atau bela konstitusi. 

Sebaliknya, mereka lebih pilih menjadi jongos dan broker-broker politik dari kubu di sebelah. Ah, pusing amat dengan artis istana.

Bisa jadi, para komika lovers diperhadap-hadapkan dengan TikTokers bahkan para influencers di bawah bayang-bayang istana yang dikenal dengan banyak followers ribuan hingga jutaan. Untuk apa Abdel Achrian dan para komika lainnya sibuk urusi Atta Halilintar dengan puluhan juta followers? Ketika saya menengok medsos, cuma sebagian netizen yang masih suka ribut.

Apa urusannya dengan aksi unjuk rasa sebagai bentuk keresahan atas kondisi negeri dengan jumlah followers? Sudah jelas, komedian punya panggung sendiri, YouTuber juga punya obyekan. 

Lalu, kenapa dipermasalahkan? Atta Halilintar juga punya asap dapur sebagaimana Abdel punya kocek sendiri. 

Sementara itu, sekali rilis saja dari pemilik akun TikTok bukan isapan jempol bisa menembus balasan like ribuan kali.

Tetapi, urusan yang demikian tidak membuat komika terusik di tengah masih banyak artis atau seleb yang tidak terlibat dalam aksi unjuk rasa. Suka-suka mereka karena tidak ada juga komika dipaksa untuk aksi unjuk rasa di depan gedung DPR. Saya kira, para komedian yang hadir di sana sudah kebal dengan peduli atau tidak atas parahnya berdemokrasi di negeri kita.

Katakanlah ada sindiran dan celaan pada Abdel Achrian dan para komika lainnya yang turun aksi unjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka nampak menikmati protes massa di hari Kamis. 

Sayangnya juga sentilan kata-kata yang menohok sulit dihindari yang ditujukan ke para komika.

Sebutlah diantaranya: "Sepi job, akhirnya pada demo cari nasi bungkus karet dua." "Halah komika kampungan. Sok demo-demoan. Sok peduli bangsa, sok peduli rakyat, sok paling lucu dan melawan. Pulang saja ke timur, bikin susah di Jakarta." 

Ada lagi sindiran. "Lagi pula, kenapa sih pejabat malah switch jobdesk? Masa iya mengambil-alih kerjaan komika. Seharusnya  mereka jangan ngelawak nyambi, itu menyeruduk kerja pejabat dong. Sudah tahu, negeri ini lucu, tetapi biarkanlah komika saja yang lucu, pejabatnya tidak usah ikut-ikutan." 

Begitulah, apa yang menyenangkan komedian, belum tentu baik bagi pihak lain.

Bagaimana jika para komedian menyerukan sesuatu. "Wahai, para dokter, perawat, bidan, apoteker, dan profesi tenaga kesehatan lainnya bentuk juga partai politik supaya nasib tidak diabaikan dengan putusan MK!" "Hei, para guru, dosen, profesor, siswa, mahasiswa, dan dunia pendidikan lainnya buatlah rancangan undang-undang Pilkada yang seiring dengan MK!" Salut sama para komika yang berdemo bersama massa lainnya.

Kelak, para komedian akan dikenang dan terlacak jejak-jejak perjuangannya. Oh, Abdel Achrian, Abdur Arsyad, Bintang Emon, dan para komika lainnya pernah orasi atau aksi unjuk rasa melawan revisi Undang-Undang Pilkada! 

Sekarang, marilah kita kembali ke dunia normal sembari waspada di lingkungan sekitar. Tunggu dulu bang, jangan lupa melawak! Hidup Stand-Up Comedy!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun