***
Jika komedian sudah turun aksi unjuk rasa, artinya urusan negeri kita sudah serius.Â
Ada semacam paradoks, seperti marah yang paling mengerikan bukan dari sosok seorang pendiam, melainkan dari sosok seorang komedian.
Komika Abdel dan kawan-kawan seumur-umur  tidak pernah bicara politik. Tetapi, para komika kawakan itu tiba-tiba berbicara politik.Â
Mereka saking resahnya atau bagaimana sama-sama nyemplung ke dalam satu kolam? "Jangan ngelucu bang, karena para komika dipastikan kalah lucu sama yang di dalam gedung DPR!"
Kita jadi teringat, tahun 98-an, mahasiswa yang memulai perjuangan melawan rezim Orde Baru dan di era pasca-Reformasi hingga belum jelas kapan sepenuhnya reformasi terbukti, maka di tahun 2024 para komika yang memulai perjuangan.Â
Satu kalimat, komedian berjuang untuk melawan hal-hal jumawa dan angkuh yang kelewatan. Apakah memang benar jika negeri ini makin lama makin lucu, yang bukan makin maju?
Lantas, apapun pemihakan komika atas kondisi sengkarut negara yang dinyinyir dan dicela oleh orang justeru tidak membuat Abdel dan kawan-kawan patah semangat. Mereka tidak peduli dengan segala macam ocehan.Â
Karena itu, para komedian tidak menyesal turun aksi unjuk rasa. Mereka memang para komika yang turun aksi unjuk rasa dikasih nasi bungkus?Â
Kasian mereka pada kelaparan, yang tunggangi lepas tangan tidak kasih apa-apa. Terlalu benar apa yang dibicarakan orang pada komika bahwa yang peduli sama rakyat jelata cuma rakyat jelata. Para komika begitu polos dalam aksi unjuk rasa. Tanpa muka bengkok saja, muka para komedian yang lagi orasi dan aksi unjuk rasa lainnya untuk menolak revisi Undang-Undang Pilkada tidak jauh dari muka kaum jelata, bukan muka seleb super mewah.Â
Lihat saja sendiri tampang kasian para komedian!