Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jadi Humor dan Omong Kosong Kolonial

18 Agustus 2024   15:17 Diperbarui: 18 Agustus 2024   16:20 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Persis sepekan lalu, saya menyimak melalui video tentang pernyataan mundur Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum Partai Golkar, di platform media sosial X. Karena sebatas peristiwa politik, saya anggap itu hal biasa. Sebentar ia akan berlalu begitu saja.

Tetapi, jam-jam berikutnya, di medsos yang sama, sudah berhamburan keluar kata-kata bernada miring dari netizen. Banyak sorotan di ruang medsos. 

Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto mendadak mengundurkan diri, sehingga muncul beragam spekulasi ada apa? Mengapa? Siapa penggantinya? 

Jika ada isu berhembus yang menyebutkan bahwa "bos besar" atau anaknya hingga salah satu menteri adalah sosok paling tepat untuk menggantikan Airlangga Hartanto, maka saya mengkhayal, ini permainan apalagi?

Solusi praktis elit partai beringin yang tidak bisa berkutik karena masalah serius yang dihadapinya. Dari titik ini, politik tanah air kembali dihebohkan oleh mundurnya Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto.

Dia mundur dari kursi partai berlambang pohon beringin lantaran ditengarai tersandera kasus hukum. Saya teringat, bahwa dia tersandung kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak kelapa sawit hingga kasus tambang blok Medan. 

Airlangga terjerat kasus dan tidak bisa keluar dari perangkap. Dugaan lainnya, bahwa "kartu AS" Airlangga Hartarto di tangan "bos besar?" Begitulah peristiwa anyar dalam sepekan di media sosial dan ruang publik.

Padahal, perolehan kursi Partai Golkar di DPR naik signifikan. Kita tahu, dari hasil Pemilihan Legislatif di tingkat Pusat, Partai Golkar bertengger di peringkat kedua setelah PDI-P dalam perolehan suara secara nasional.

Nah, Ketum partai sebelah yang sudah sepuh dan perolehan suara kursi DPR saja jeblok masih ngotot jadi ketum.

Di selah-selah "hujan" ocehan netizen, tentu meluap pula tanda tanya. Sangat janggal sekali secara tiba-tiba Airlangga Hartarto mengundurkan diri.

Diakui, kepemimpinan Airlangga cukup berprestasi, yang menjadikan Partai Golkar sebagai partai besar dalam sekian dekade.

Terlepas dari bantahan Partai Golkar bahwa mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketum Partai Golkar tidak terkait dugaan kasus korupsi bisa dipastikan ada sesuatu yang luar biasa dan dianggap tidak wajar yang membuatnya mundur, secara teratur atau terpaksa. Di samping itu, arus komentar dan interupsi para netizen di medsos sudah tidak terbendung.

Ah, ini sungguh ironis! Airlangga Hartarto sebagai Ketum DPP Partai Golkar telah sukses mengantarkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dalam Wakil Presiden terpilih, hasil Pemilihan Presiden, April 2024. 

Lantas, dia sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan dianugerahi tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama oleh Presiden Joko Widodo jelang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-79. Sayangnya, dia tumbang juga dari Ketum DPP Partai Golkar?

Kemudian, mungkin mundurnya Airlangga Hartarto (AH) sebagai Ketum DPP Partai Golkar bisa dihubungkan dengan selingan humor sejenaknya. Lewat AH, Partai Golkar bukan tumbang, dia cuma kelelahan. Oh, begitu yah?

Entah itu tumbang atau bukan, jika berhadapan dengan istana, yang lainnya minggir. Sebesar apapun pohon, jika sudah ketemu tukang kayu, ya tumbang!

Istana antum lawan, saya bilang juga apa (nyontek ala Benyamin S)? Pohon beringinnya bukan tumbang, tetapi ditebang. Kayunya mau dibikin perabotan oleh si tukang kayu (tawa pun meledak).

Bukan dia mundur karena berada di posisi parkir mundur saat di areal parkir mal? Dia bukan juga posisi parkirnya, tetapi menyimak konten pidatonya.

"Anda pilih mundur, nama tetap aman atau jika tidak mundur, kasusmu saya bongkar ke publik." Begitulah kira-kira sinopsis film detektif kemarin. Akhirnya, dia tersandera oleh hukum yang dipolitisir, bukan?

Jika kita perhatikan secara seksama rangkaian pidatonya, dia mundur berkat petunjuk Tuhan. Ada yang terlibat dalam pengunduran dirinya, yaitu sesuatu yang dahsyat.

Sejauh ini, baru tahu rupanya pembina partai "di atas" Ketum DPP Partai Golkar itu diplesetkan sebagai "Sang Tuhan Maha Besar." Bukti dari pidato Airlangga Hartarto menyebut nama Tuhan. Kita tidak persis, apakah Tuhan di bibir atau di hati dan pikiran tukang kayu yang super hebat?

Lalu, bagaimana dengan selera humor yang tinggi dari Muhammad Qodari? 

Betapa kocaknya Qodari ketika menilai mundurnya AH dan kondisi Partai Golkar. Coba kita simak seperti apa guyonan politik ala Qodari!

"Sebesar-besarnya pohon, kalau melawan tukang kayu ya tumbang jugs! Pohon beringin, pohon jati bisa gede banget tuh alot. Tapi kalau udah ketemu tukang kayu, jadi perabot lu." Qodari ketawa ngakak parah dalam kanak YouTube. 

Kalimat awal dari Qodari tersebut memang langsung menembak inti lelucon konyol tentang AH selaku Ketum Partai "Pohon Beringin" Golkar. Siapa juga yang tidak kenal sepak terjang Partai Golkar?

Mengapa tidak bikin istana dari kayu saja? Terbuang percuma hutannya ditebang, tapi tidak dimanfaatkan jadi villa dari kayu, misalnya. Ada benarnya juga?

Dan sehebat-hebatnya tukang kayu, suatu saat akan tertimpa pohon juga "Don Juan," saat pohon di tebang kadangkala ia berbalik arah karena tertiup angin? Bagaimana kawan? Sudah begitu, main kayu terserah apa maunya tukang kayu. Ambyar!

Siapa tahu lebih lucu dari Qodari? Senyakin-yakinnya banyak yang menghendaki Don Juan yang cocok menggantikan AH justeru lebih hebat dari tukang kayu. Tidak masuk akal, "bos besar" tukang kayu dikalahkan oleh Don Juan?

Banyak orang tahu jika itu bukan rahasia umum, skenario orang-orang dalam dan sekitar istana itu berperan sesuai tugasnya masing-masing dari "sang sutradara." Singkatnya, sutradara nama lain dari tukang kayu.

***

Saking banyaknya urusan dan tanggungjawab, mungkin Presiden Jokowi merasa enteng menyatakan: "Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi (masa kolonial)."

Orang pun menafsirkan "bau-baunya kolonial" dengan Istana Negara, Istana Merdeka dan Istana Bogor. Tak pelak lagi, pernyataan Presiden Jokowi menuai sorotan netizen di medsos.

Siapa juga ingin dijajah oleh bangsa kolonialis? 

Di sini, siapa yang salah? Untungnya, seperti kolonial Belanda, selain membangun peradaban modern di abad ke-19, sebutlah kereta api, kendaraan roda empat dan dua, juga paling penting cara berpikir maju, lebih modern. Yang kala itu, bangsa kita tidak mengenal dan membuat apa yang dihasilkan oleh Belanda.

Siapa yang bisa membantah fakta sejarah? "Kok betah sampai 10 tahun sih pak, padahal tiap hari dibayangin." Kemarin, acara  mewah mitoni tujuh bulanan menantu berlangsung di Istana Bogor, benar atau tidak?"

Jadi, poinnya, warisan kolonial itu bukan dari bentuk-bentuk fisik belaka. Warisan kolonial bukan sekadar peninggalan monumental bangunan istana, kantor-kantor, perumahan dinas, penjara, dan sebagainya. Bersyukurlah, kira harus belajar ke kolonial Belanda soal ilmu konstruksi. 

Katakanlah, bangunan benteng perkasa, yang berdiri kokoh hingga berabad-abad lamanya. Taruhlah contoh kecil, sistem drainase atau gorong-gorong warisan kolonial Belanda sudah ratusan tahun bertahan.

Semuanya itu adalah hasil pemikiran kolonial. Memang benar, bangsa yang ingin melompat jauh ke depan mesti dimulai dari revolusi pemikiran filsafat dan ilmiah. Andaikata, bangsa, sang nusantara memulai membangun peradaban sekurangnya dari kedua revolusi tersebut.

Lihatlah! Revolusi industri di Inggris, itu berangkat dari buah pemikiran filsafat dan ilmiah.

Sekarang, karena ada alasan bangunan baru hasil karya anak bangsa, yang beraroma kolonial terasa enggan lagi untuk dikenang sebagai bukti-bukti modernitas. Kita tahu apa? Konflik melulu di atas alasan dinamika? 

Paling tidak kita menyontek hasil karya dari pihak paling, jika bukan adaptasi atau inovasi? Bukankah kerja paksa dari Anyer sampai Panarukan sebagai hasil karya sebagian besar rakyat nusantara?

Kita sadar, jalanan dan bangunan di zaman kolonial itu dari sebagian besar kerja kerja para rakyat jelata. Selebihnya dari pikiran dan komando bangsa kolonial. Sisanya, para bos kolonial, para tuan tanah, dan para penguasa lokal yang menikmatinya. Jika itu hasil bangunan modern dari pemikiran maju kita, mustahil kita gampang dijajah?

Adalah masuk akal, ketika Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Berarti secara otomatis pemerintah memberi izin Hak Guna Usaha (HGU) bagi investor termasuk investor asing di IKN selama 190 tahun.

Apa hubungannya dengan "bau" kolonial?

Netizen saja mengkritisi bahwa izin atas pengusahaan tanah di wilayah IKN jauh lebih lama dari zaman kolonial. Berapa lama? 75 tahun. Kita bisa bayangkan, demi kebanggaan masa depan bangsa lewat "karya baru" IKN, secara tidak sadar kita telah terperangkap dari fantasi kolonial.

Kata lain, warisan dan bau kolonial bukan dari bangunannya, melainkan alam pikiran. Tidak apa kita menyerap warisan kolonial termasuk pemikiran selama itu bernilai positif untuk kesejahteraan bangsa.

Jika kita kembangkan logika anti atau alergi bau kolonial, masih ada pekerjaan rumah jangka yang ruwetnya dihadapi oleh negara. Apa itu?

"Kami juga sedih pak, kedepannya kita juga dibayangi utang negara yang menggunung." Setidaknya utang negara yang dipinjam oleh Indonesia dari negara kredit atau badan dunia, layaknya Bank Dunia, Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura, yang menganut kapitalisme.

Terpeleset sedikit, bisa jadi mereka berposisi sebagai neo-kolonialisme di bidang perekonomian?

Demi kepentingan politik, mereka bisa saja mendikte kita, penguasa memberi "gula-gula" sebagai hiburan hidup. Kita "terjajah" secara ekonomi? Lebih baik bebaskan bau kolonial dari mentalitas terjajah kita agar bisa bermental penjajah atau berwatak kolonial. 

Dalam kondisi apapun, terserah pilihan kita? Satu gambar simpel. Beras, gandum, atau yang lainnya sebagai kebutuhan pokok, yang penting tidak terbebani impor karena alasan kita terbebas dari bayangan kolonial. Jangan sampai, lain di bibir malah terjadi penyelendupan biji nikel ke negara lain.

Lah, urusan "ekspor-impor" bukan hanya soal barang atau ekonomi, tetapi juga bayangan kolonial dalam watak atau pikiran kita. Jika bukan terhindar dari zaman kolonial, sekecil apapun upaya bangsa lebih jitu jika kita menciptakan koloni baru? 

Ibarat koloni lebah dengan madu, bukan? Siapa juga yang ingin "koloni lebah" dengan madu? Yang jelas, ada permainan kolonial dalam bentuk yang lain. Atau kolonial baru yang bukan koloni?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun