***
Namun, kisah Elsa bukan cuma bergumul dengan penderitaan atau kesusahan hidup yang mengharukan.Â
Di sana, Elsa dengan mata berbinar-binar, di latar dinding bambu berwarna cet putih. Separuh rumahnya terbuat dari batu merah tanpa plesteran.
Matanya menatap jauh ke depan. Entah apa yang bergemuruh dalam benaknya. Mungkin, bara di dadanya mengatakan: "Aku harus bersekolah. Aku harus bersekolah walau jaraknya jauh untuk sampai ke sekolah. Aku bersekolah, sekalipun ayah dan ibu menanggung derita bersama."
Saking pilunya, maka keterbatasan hidup dan kesusahan yang Elsa alami akan menjadi cerita perjalanan hidup yang sangat bagus untuk kamu sampaikan kepada anak dan cucunya kelak. Kisah nyata dari Elsa mungkin turun-temurun setelah memasuki usia senja berubah menjadi kisah sukses.
Tentu saja, setiap orang memiliki jalan cerita hidup yang berbeda. Saya dan Anda punya cerita yang tidak terlupakan.Â
Setiap orang pernah mengalami suka dan duka dalam mengarungi kehidupan. Orang besar dan suksesnya karena berangkat dari nol, dari hidup berawal bersimbah penderitaan. Orang hidup seperti sekarang lumayan lebih layak lantaran pernah berdarah-darah dan bersusah berat. Apa-apa yang dialami setiap orang akan menjadi suatu perubahan di waktu yang akan datang.
Diviralkan oleh medsos seputar kisah sedih Elsa ternyata disambut oleh para warganet. Seabrek komentar datang bertubi-tubi.Â
Ada yang bersuara kritis atas nasib yang menimpa Elsa dan keluarganya. Singkatnya, kisah sedih Elsa "banjir" simpati dari warganet.
Pemberitaan kisah sedihnya menembus relung-relung hati yang paling dalam. Dia membuat kita amat terenyuh; kisah sedihnya bisa mengundang rasa iba yang menghentakkan sekaligus menampar kita. Betapa kita larut dalam kesibukan masing-masing. Sehingga tetangga dan sesama warga negara saja tidak sedikit "bermandikan" derita di antara kekayaan yang melimpah.
Sekarang, jangan takut malu-malu disorot oleh media, apalagi merasa susah sendiri. Yang penting viralnya bukan kisah sedih fiktif, karang-karangan apalagi berita hoaks.