Kenapa saya jadi melo di hari ini. Begitu gumanku sebelum merekam kisah sedih Elsa.
Ibu kandungnya tidak terdengar kabar lagi setelah menjadi pekerja migran Indonesia, di Brunai Darusalam. Ibu dan bapaknya sudah berpisah.Â
Lalu, bapaknya Elsa menikah lagi. Selanjutnya, bagi Elsa, ubi itu sebagai pengganti jajanan, di sekolah. Hidupnya memang dalam kepedihan.
Ini bukan soal Elsa bahagia di atas penderitaan orang lain. Sumpah! Antara langit dan bumi, Elsa menikmati hidup apa adanya. Hidupnya tanpa basi-basi dan apa juga manfaatnya jika Elsa hidup dalam selubung misteri. Hidup dengan kisah sedihnya muncul secara telanjang. Kisahnya tidak ada yang ditutupi.
Kisah sedih Elsa bukan pula frasa "menumpuk bara api di atas kepalanya?"Â
Frasa ini juga tidak ada kaitannya dengan penggunaan bahasa lokal, bahasa Sumbawa atau bahasa yang lain, misalnya. Elsa tidak dalam keadaan terbakar amarah tatkala ditempa kesusahan.
Di sela-sela belajar di sekolah, Elsa rupanya masih sempat menjual ubi sebagai bekal, yang seharusnya dia makan di sekolah. "Tapi saya jual agar bisa beli nasi di sekolah," "Saya harus giat belajar, agar bisa lulus nilai bagus," ujar Elsa.Â
Dia rela berjalan kaki sejauh tiga kilometer lebih, bekal ubi, dan menuntut ilmu sampai dapat itulah menjadi tanda "bara" di dadanya tak terelakkan. "Bara" tidak lain daripada semangat atau tekad bulat, yang berapi-api dalam dada Elsa.
Obsesi Elsa untuk bersekolah dengan serba keterbatasan terutama biaya pendidikan dan transportasi menjadi kisah tersendiri lagi menantang. Bara di dada Elsa seturut dengan obsesinya.Â
Satu kalimat, Elsa ingin merahi masa depan yang gemilang. Sekali melangkah, dia pantang menyerah.
Dalam kamus hidupnya, dia tidak boleh mundur ke belakang. Elsa ingin menggapai cita-citanya untuk melanjutkan sekolah sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sungguh tabah Elsa menghadapi lika-liku kehidupan yang begitu berat.