Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Momok Pasca-Jamaah Islamiyah sebagai Bukti Bahwa Moderasi Beragama Belum Selesai

22 Juli 2024   17:59 Diperbarui: 26 November 2024   19:00 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama berselang, Jamaah Islamiyah (JI) menyatakan dirinya bubar. Kita telah menyimak di media tentang buyarnya Jamaah Islamiyah dengan tanda curiga dan masih ada dugaan yang lain. Terlepas dari kewasapadaan, tanda zaman kita diantaranya adalah pelepasan dan penolakan berupa obyek dan aura kekerasan.

Kita juga telah diberitahukan, bahwa apapun bentuk teror dari kelompok garis keras manapun akan memproduksi ketakutan luar biasa. Wujud teror melipatgandakan "bom bunuh diri," serangan bom dan senjata lainnya.

Bom bunuh diri sebagai mekanisme sangat menantang maut. Ia sungguh-sungguh sebuah mesin pembunuh di sekitar kita bagai momok.

Demikian pula, mimpi kita betul-betul nyata, ketika mereduksi teror dengan tanda zaman. Dalam mimpi dan khayalan yang terepresi seketika, membuat luar biasanya terorisme menjadi model kekerasan yang diboncengi oleh rezim diskursus ekonomi dan politik, yang dilepaskan sebagai represi utama.

Lalu, akhir dari halusinasi terindah tentang adegan yang tidak nampak dari terorisme tanpa terpaksa dibayar dengan harga seberapapun. 

Dalam keseimbangan kekuatan ideologis, mesin perlawanan terhadap teroris datang dari pengingkaran atas realitas (kaya-miskin, kemajemukan) pada saat kita tidak mampu membayangkan seluruh korban kekerasan dari adegan yang tidak nampak di atas panggung (panggung ada dimana-mana). 

Kemana pun kita pergi akan selalu melihat suatu kekuatan dari ritual perlawanan untuk menundakan ritual kematian akibat teror bom (dimulai dari ciutnya nyali).

Ada sesuatu yang terjadi secara diam-diam. Di sini tentang kekerasan tanpa fisik dari perang ideologi (terorisme) yang terencana dan tersembunyi justeru berubah menjadi sesuatu yang tidak terpikirkan. 

Toh, di balik produksi material belaka yang dipercaya oleh sebagian manusia sebagai faktor utama dari kesejahteraan sosial perlahan-lahan akan terjatuh dalam kehampaan. Kita tahu, bibit-bibit kekerasan sosial dipicu diantaranya oleh sering perut lapar. Nah, ia bisa menyerang pikiran dan tidak mustahil mengarah pada korslet.

Istilahnya, terorisme ada sejak pikiran. Parahnya, kebencian menjadi keharusan. Kata lain, gara-gara rasa muak yang memuncak pada kondisi negara yang carut-marut atau korupsi merajalela dan rusaknya moral para pejabat, maka mereka melampiaskan kemarahannya dengan jalan kekerasan. Dari titik tolak ini, orang-orang yang doyan dengan kekerasan tidak berarti menjadi teroris.

Ketidakhadiran wawasan luas dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi atau non sistem keagamaan juga akan berdampak pada kusutnya kepala seorang teroris. Bahkan kekerasan demi kekerasan dari teroris atas nama "perang suci" atau menjual perjuangannya atas nama Tuhan akibat mereka melihat realitas dengan "kaca mata kuda" atau sekadar membaca buku dalam persfektif 'tunggal'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun