Yang ada justeru relasi kuasa. Sebaliknya, berangkat dari sini, di level negara nampak lebih mudah dibobol peretas.
Ada pelajaran berharga dari kasus sebelumnya. Dulu, ada juga hacker bernama Brokja.Â
Begitu tidak beres, yang ditangkap malah tukang ketoprak. Inilah dari satu komedi ke komedi yang tragis, bukan
Dalam hal ini, bukan soal data-data yang digunakan oleh para pejabat ikut merasakan data layanan publik yang bocor. Biarpun, dibobol peretas berkali-jali bukan berarti lembaga pemerintah dan publik terbebas dari kontrol kuasa negara.Â
Nah, salah satu yang dikontrol oleh kuasa negara lewat teknologi digital sejenis mesin virtual (VM) dengan kapasitas cadangan ribuan VM. Dari sana, ia bisa diperbesar sesuai kebutuhan.
Kita menyimak perkembangan PDN yang dibobol peretas memang tidak sesederhana yang kita bayangkan. Terlepas bahwa ada isu sengaja dibuat untuk menghapus kasus tertentu dengan drama yang menarik perhatian sembari semuanya bisa diganti strateginya.
Lebih lagi, peristiwa anyar yang heboh itu bukan sekadar guyonan tentang dugaan surat pernyataan bermaterai sepuluh ribu setelah kirim kunci pembuka PDN.Â
Urusan besar untuk menangani PDN tentu dari siapa dan untuk siapa yang terkait dengan relasi kuasa.
Anggaplah, selesai "skandal ruang siber" itu tidak bisa dipisahkan dengan jaringan kuasa teknologi. Ia berkelindang dengan kuasa negara. Apa sebabnya? Karena PDN di bawah kuasa negara. Masih ada teknologi informasi dan komunikasi lainnya di luar PDN.
Katakanlah, kita dikontrol kuasa negara lewat teknologi digital berupa nomor induk kependudukan, nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, golongan darah, akun medsos, nomor rekening, nomor pajak, dan sebagainya, yang serba berbasis digital atau online.
Saat kita usai bangun tidur saja, orang kantoran, anak sekolahan hingga para buruh dikontrol oleh mekanisme kuasa disipliner. Bukankah di kantor ada kuasa disipliner? Kapan masuk dan pulang dari kantor, kapan buruh rehat dan kapan jam kerja, misalnya.Â