Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Betulkah Kritik Kampus adalah Obat Mati Syahwat?

4 Februari 2024   14:38 Diperbarui: 29 Maret 2024   10:36 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernyataan sikap sivisitas akademika UI (Sumber gambar: kompas.com)

Mengapa demikian kanda suhu Doktor Mukhaer Pakkanna? Begitulah sekelebat pertanyaan saya pada sosok rektor di salah satu perguruan tinggi swasta, yang lagi rising star, di Jakarta. 

Pertanyaan saya muncul gara-gara obrolan serunya di grup WhatsApp. Satu kesempatan yang tidak terlewatkan. Sisa setelan-setelan judul dalam catatan lewat edit sesuai kalimat Doktor Mukhaer Pakkanna: "Pimpinan universitasnya lebih genit. Dibanding mahasiswa." Atas nama kepo alias penasaran, saya pun berpandangan lain atas pernyataan di atas.

Mengapa kritik kampus sebagai obat mati syahwat melalui petisi, protes, dan pernyataan sikap lainnya? 

Hemat saya, karena belum ada "benang merah" alias titik temu atau kesimpulan logis antara pimpinan kampus, Guru Besar atau kademisi, dan mahasiswa dalam soal siapa "common enemy"-nya (musuh bersama)? 

Jangankan mengenal siapa musuh bersama, sedang dirinya saja sebagai "kuasa mini" belum tergenggam penuh. Kendatipun "kuasa mini," yang penting syahwat untuk pengetahuan tidak ikut lemas dan kendor.

Kita coba abaikan dulu arah pembicaraan itu. Mahasiswa maupun Guru Besar atau akademisi masih berputar-putar pada isu itu ini saja. Katakanlah, soal politik dinasti, netralitas, redupnya demokrasi, etika, dan sebagainya. 

Jadi, isi kepala Guru Besar atau akademisi dan isi kepala mahasiswa tidak searah, setujuan menjadi "bias" karena common enemy-nya masih belum jelas. Hal ini bukan tanpa alasan karena ada petisi tandingan kampus.

Dalam berita media, serangan keras datang dari  opini Majalah TEMPO, misalnya, menyebut Gibran sebagai "Anak Haram Konstitusi" justru menjadi semacam "tembakan salvo." Doorr! Ia meledak, tetapi peluru hampa. Sebentar lenyap di ruang udara.

Ia berbeda dengan peristiwa 1998. Kita tahu "common enemy"-nya, yaitu 'otoritarianisme Soeharto'. Dia terlalu perkasa dalam rezim Orde Baru.

Baik mahasiswa maupun Guru Besar atau akademisi tidak memiliki kepala, kaki, dan tangan dengan masyarakat "akar rumput" alias wong cilik. Suara kritis mahasiswa dan Guru Besar-akademisi tidak lebih dari gema yang dipantulkan lewat "Menara Gading" kampus. 

Akibatnya ada jarak kesadaran yang amat jauh antara Guru Besar-akademisi, mahasiswa dan wong cilik untuk mengkritisi pemerintahan atau rezim penguasa. Jadinya, perjuangan simbolik antara Guru Besar-akademisi, mahasiswa dan wong cilik menjelma menjadi kesadaran semu.

Tidak terciptanya titik klimaks atau titik nadir, yang ditandai dengan ketidakhadiran ledakan psiko-sosial amarah wong cilik saat muncul kritik termasuk petisi 100 tokoh, Guru Besar-akademisi atas rezim Jokowi. Memang betul, apa yang menjadi kegelisahan intelektual dari Guru Besar-akademisi dan mahasiswa tidak menjadi kegelisahan wong cilik. 

Akumulasi protes kampus tidak menjadi akumulasi keresahan yang memuncak dari masyarakat lapisan bawah.

Sebaliknya, lengsernya rezim Soeharto, 1998. "Kerusuhan" pikiran atau nalar mahasiswa itu juga menjadi kerusuhan sosial dan amuk massa wong cilik yang dipertajam oleh krisis moneter.

Lalu, seorang sohib berkomentar pula seputar tanggapan atas ramai-ramainya dosen memprotes atas Pemerintahan Jokowi. Kenapa baru sekarang? Kenapa bukan saat penerapan Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang KPK? Begitu tanggapan sohib.

Seiring pertanyaan sohib bercampur rasa heran itu membuat saya berceloteh ringan. "Kemaren kemana aja lo gaess? Nggak ada tereak-tereak begini? Ampe tiga kali naik panggung nggak ada yang nongol. Giliran sekarang baru berkoar." ("Hadits Riwayat" Bahasa Gaul). Saya hanya tersenyum manis membacanya.

Nah, (karena belum dapat rilis hasil survei dari lembaga survei lainnya), maka saya menyesal untuk mencantumkan data dan penjelasan Denny JA (2024) bersama rilis survei ter- update dari LSI Denny JA. 

Apa kontennya? Satu atau dua hal, diantaranya.

Tentang penilaian kaum terpelajar antara Puas versus Tak Puas Jokowi. Dari kategori pendidikan, meliputi: tamat SD kebawah 83,8 persen; tamat SMP sederajat 82,7 persen; tamat SMA sederajat 77,1 persen; dan D3 keatas 77,9 persen. Inilah gambarannya, Puas Jokowi 77,9 persen versus Tak Puas Jokowi 21,8 persen.

Bagaimana dengan elektabilitas masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden? 

Marilah kita simak apa yang menjadi pilihan kaum terpelajar atas AMIN (Anies-Muhaimin), PS-GB (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka), dan Ganjar-Mahfud (Ganjar Pranowo-Mahfud MD).

Dilihat dari aspek pendidikan, meliputi: tamat SD kebawah, yaitu AMIN 18 persen, PS-GB 57,4 persen, Ganjar-Mahfud 16,9 persen; tamat SMP sederajat, AMIN 18,1, PS-GB 59,1 persen, Ganjar-Mahfud 17,6 persen; tamat SMA sederajat, AMIN 26,6 persen, PS-GB 49,6 persen, Ganjar-Mahfud 16,4 persen; dan tamat D3 keatas, AMIN 33,9 persen, PS-GB 41 persen, Ganjar-Mahfud 15 persen. Kesimpulannya bagaimana? PS-GB 41 persen, AMIN 33 persen, dan Ganjar-Mahfud 15 persen.

Selain itu, soal kritik kampus dan silent majority juga sudah diperbincangkan oleh Denny JA lewat akun pribadinya di Facebook. Dia berbicara saat protes atau kritik kampus sudah menyebar luas di media.

Saya kira, saya melihat dari kaca mata yang berbeda (mudah-mudahan tidak bikin dahi berkerut). Ketika kanda suhu Doktor Mukhaer Pakkanna⁩ mengatakan: "Problem elektoral kita adalah jumlah pemilih rerata nasional kelas SMP kebawah." Blablabla. 

Saya pikir, problem sebetulnya adalah bagaimana memahami apakah ada atau tidak ada jalinan paradoksal antara politik-kuasa, intelektual, dan pemilih sebagai bentuk-bentuk yang saling berinteraksi sekaligus saling menetralisir antara satu dengan yang lain.

Sudah bukan rahasia resep dapur demokrasi, bahwa kritik atau protes kampus sebagai sesuatu yang lumrah. Kritik adalah tanda dan bumbu penyedap. Saya kira, sejak kampus dengan segala sivitas akademikanya sudah berhadapan dengan "kepentingan." Entah itu kepentingan politik dan yang bukan, kepentingan terselubung, bercokol atau bukan. 

Setiap kali kampus (sivitas akademika) membatasi dirinya pada pemihakan, yaitu pengetahuan dan kemanusiaan, maka sejak itu pula mereka akan repot "tanpa sadar" untuk berkelik dari kepentingan tertentu.

Dari titik ini, petisi atau kritik tidak tertahankan. Kritik kampus PTN dan PTS atas nalar instrumental kuasa negara (ala Kantian) lewat pemerintahan Jokowi nampak mengembangkan perbedaan antara sebuah penilaian negatif dan penilaian tidak terhingga (ala Zizekian).

Sederhananya begini. Penilaian negatif berupa penilaian yang mengontrol dan menjinakkan sebagai strategi atau mekanisme kuasa terhadap sorotan, kritik, dan sejenisnya dari tokoh, kelompok atau lembaga. 

Contohnya, saat Jokowi mengatakan: "Presiden boleh berkampanye." Itu menimbulkan kontroversial, pro dan kontra, ya kan? Si fulan mengatakan: "Presiden boleh berkampanye dan memihak itu merusak demokrasi."

Sedangkan penilaian tidak terhingga. Jokowi mengatakan: "Itu hak demokrasi." Si fulan mengatakan: "Kuasa tidak langgeng." Jika suatu saat saya memanggil dunia imajiner Descartes dan Nietzsche. Apa yang terjadi? "Saya berkuasa, maka saya ada," "kehendak untuk berkuasa," "moralitas tuan," "moralitas budak." 

Itulah sebabnya mengapa gema kampus yang menyoroti dan mengkritisi istana sebatas "memantul kembali" melalui "Menara Gading" kampus. 

Padahal kampus punya mekanisme kuasa dengan strategi pendisiplinan mahasiswa (ala Foucaldian). 

Saya kira demikian, apa yang saya tidak ketahui di balik mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang peristiwa, yang sudah menghentakkan di ruang terbuka.

Demi kuasa, bisa jadi semuanya akan berubah bahkan kita akan sibuk berbicara soal kapan lagi pemilihan presiden atau pemilihan umum. Obrolan Pemilu atau Pilpres biasanya mulai berhembus di tahun ketiga dalam periode pemerintahan. 

Godaan melampaui hasrat dan kesenangan untuk berkuasa. Ia tidak pandang bulu. Apakah mereka Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS), apakah berpundi-pundi (oh, basah-basah mandi madu!) atau lagi bokek, semuanya bisa terjatuh dalam godaan, dalam kekosongan: selera, nalar, moral.

Sekali lagi, bukankah kampus bersama embel-embel sivitas akademika memiliki kuasa dalam dirinya sendiri (lewat kontrol atas tubuh, mekanisme pendisiplinan)? Wadduh! Kuasa rektor atas dosen atau guru besar dan mahasiswa? 

Jadi, tanpa mengada-ngada, siapapun jadi presiden bakal mengalami dan menghadapi hal yang mirip kalau bukan hal yang serupa. Selamat nyoblos!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun