Selain itu, soal kritik kampus dan silent majority juga sudah diperbincangkan oleh Denny JA lewat akun pribadinya di Facebook. Dia berbicara saat protes atau kritik kampus sudah menyebar luas di media.
Saya kira, saya melihat dari kaca mata yang berbeda (mudah-mudahan tidak bikin dahi berkerut). Ketika kanda suhu Doktor Mukhaer Pakkanna mengatakan: "Problem elektoral kita adalah jumlah pemilih rerata nasional kelas SMP kebawah." Blablabla.
Saya pikir, problem sebetulnya adalah bagaimana memahami apakah ada atau tidak ada jalinan paradoksal antara politik-kuasa, intelektual, dan pemilih sebagai bentuk-bentuk yang saling berinteraksi sekaligus saling menetralisir antara satu dengan yang lain.
Sudah bukan rahasia resep dapur demokrasi, bahwa kritik atau protes kampus sebagai sesuatu yang lumrah. Kritik adalah tanda dan bumbu penyedap. Saya kira, sejak kampus dengan segala sivitas akademikanya sudah berhadapan dengan "kepentingan." Entah itu kepentingan politik dan yang bukan, kepentingan terselubung, bercokol atau bukan.
Setiap kali kampus (sivitas akademika) membatasi dirinya pada pemihakan, yaitu pengetahuan dan kemanusiaan, maka sejak itu pula mereka akan repot "tanpa sadar" untuk berkelik dari kepentingan tertentu.
Dari titik ini, petisi atau kritik tidak tertahankan. Kritik kampus PTN dan PTS atas nalar instrumental kuasa negara (ala Kantian) lewat pemerintahan Jokowi nampak mengembangkan perbedaan antara sebuah penilaian negatif dan penilaian tidak terhingga (ala Zizekian).
Sederhananya begini. Penilaian negatif berupa penilaian yang mengontrol dan menjinakkan sebagai strategi atau mekanisme kuasa terhadap sorotan, kritik, dan sejenisnya dari tokoh, kelompok atau lembaga.
Contohnya, saat Jokowi mengatakan: "Presiden boleh berkampanye." Itu menimbulkan kontroversial, pro dan kontra, ya kan? Si fulan mengatakan: "Presiden boleh berkampanye dan memihak itu merusak demokrasi."
Sedangkan penilaian tidak terhingga. Jokowi mengatakan: "Itu hak demokrasi." Si fulan mengatakan: "Kuasa tidak langgeng." Jika suatu saat saya memanggil dunia imajiner Descartes dan Nietzsche. Apa yang terjadi? "Saya berkuasa, maka saya ada," "kehendak untuk berkuasa," "moralitas tuan," "moralitas budak."
Itulah sebabnya mengapa gema kampus yang menyoroti dan mengkritisi istana sebatas "memantul kembali" melalui "Menara Gading" kampus.
Padahal kampus punya mekanisme kuasa dengan strategi pendisiplinan mahasiswa (ala Foucaldian).