Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jadian, Bubar, dan Hal Biasa Lainnya

30 Agustus 2023   18:33 Diperbarui: 16 Februari 2024   10:54 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Prabowo Subinato, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan (Sumber gambar: kompas.com)

Selama belum masuk tahapan pendaftaran dan penetapan calon presiden dan wakil presiden, maka koalisi partai politik masih bisa "bongkar pasang." 

Koalisi masih bisa gonta-ganti. Kita mungkin pernah membaca dan mendengar pernyataan yang serupa tersebut. Kita menuju babakan bakal capres dan bakal wacapres.

Sekarang, sebetulnya belum ada bakal capres. Kita sudah tahu, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan penetapan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada 19 Oktober-25 November 2023.

Bakal capres dan wacapres tidak otomatis muncul begitu saja. KPU punya 'kuasa' untuk menetapkan bakal capres dan wacapres. Gabungan parpol harus memenuhi syarat administratif yang diatur oleh KPU. 

Jadi, KPU sebagai kuasa administratif tentang jadi atau tidak bakal capres dan wacapres ditetapkan, yang diusulkan oleh partai atau gabungan (koalisi) partai politik.

Koalisi enteng "jadian," enteng "bubar" itu biasa. Yang luar biasa itu jika tidak ada lagi bakal calon presiden. Hal luar biasa jika tidak ada lagi partai politik dan koalisi. Yang luar biasa itu jika negara bubar. Hal luar biasa itu sudah lain ceritanya.

Partai politik sebagai ujung tombak pendukung bakal capres menganggap dirinya sekadar "peluru hampa" dan "gondok" jika tidak ngintrik dan manuver politik. 

Permainan yang dimainkan oleh partai politik memang bisa membuat publik linglung. Ingin dibawa kemana masyarakat pemilih. Wajarlah, seorang pengamat menilai koalisi bak "pacaran" ala anak baru gede "ABG." Hari-hari sebelumnya sudah diwanti-wanti urusan bubar jalan dan repotnya mempertahankan koalisi permanen. Diakui  koalisi permanen masih mejeng "di atas kertas" daripada bertahan lama.

Tidak diduga, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedianya "berakad" bakal bersatu hingga tuntas. Di ujung episode justeru koalisi "cerai." Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), diantaranya PPP duluan "tancap gas" untuk merapat ke poros PDIP-Ganjar. Selain PPP, partai Golkar dan Partai Amanah Nasional (PAN) yang memprakarsai KIB, akhirnya pisah di separuh langkah seribu.

Kita sudah tahu, ketiga partai politik dalam KIB yang "betah" sebagai koalisi di pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Betapa senangnya KIB saat akumulasi suara sah nasional sebesar 23,67 persen. Belum lagi, perolehan kursi KIB sebesar 25,73 persen di parlemen (DPR RI).

Banyak pihak menyaksikan KIB tidak akan kedaluwarsa, berlama-lama di koalisi. Ternyata, tanpa digoyang Rock and Roll pun KIB bubar dengan sendirinya. PPP mengajukan "lamaran" Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), Sandiaga Uno sebagai bakal cawapres Ganjar. Tidak ada jalan lain, PPP siap deg-degan menanti jawaban Ganjar.

KIB bukan sejenis "benteng kokoh" berdiri sekalipun dihantam serangan dahsyat, dari darat, laut, dan udara. KIB ditengarai kandas di tengah jalan karena mereka tidak punya tokoh "yang laris terjual" di pasar politik pilpres. Airlangga Hartarto bakal cawapres masih di bawah elektabilitas Erick Thohir dan Sandiaga Uno berdasarkan rerata hasil survei. Keduanya pun mondar-mandir ditawarkan sebagai bakal bacawpres sebelum "cuaca koalisi" berubah lagi.

Tersimpan rekam jejak, jika Golkar memiliki derap langkah yang menyertakan sejarah politik tanah air. Golkar mendukung pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa di Pilpres 2014, yang "di-KO" oleh pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla. Di sini, Golkar betul-betul berkesan.

Golkar malang melintang di dunia "persilatan" politik, yang sebelumnya "sowan" dengan Megawati Soekarnoputri-PDIP lewat Puan Maharani dan SBY-Demokrat, akhirnya berlabuh di Prabowo. Sudah bukan rahasia umum, Golkar tidak punya kamus politik "pecundang" malah enggan keok daripada tidak dapat sama sekali.

Begitu pula PAN. Partai politik ini kerap "termakan umpannya" sendiri karena "terpeleset" saat memilih koalisi. Contohnya, ketika Pilpres 2014 dan 2019, PAN secara jelas berhadap-hadapan dengan Presiden Jokowi. Tetapi, PAN merungut-rungut mengambil bagian di pemerintahan. PAN ngarep mendorong Erick Thohir selaku Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai bakal cawapres Ganjar.

Peristiwa anyar sekitar koalisi datang dari Golkar dan PAN tatkala memilih bergabung dengan Partai Gerindra dan PKB. Bergerak secara mekanis, yaitu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bergantung "jubah" menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Dari Gerindra dan PKB ke Gerindra, Golkar, PKB, PAN, dan belakangan Partai Bulan Bintang (PBB) merapat ke KIM. Koalisi berubah terlepas apakah Muhaimin Iskandar akan bertahan atau sebaliknya. Bertambahnya anggota koalisi berarti kompetisi bakal cawapres makin seru.

Gerindra menjaring 12,57 persen suara sah nasional dan PKB meraup 9,69 persen suara di Pemilu 2019. Jika digabungkan kedua partai politik tersebut, maka perolehan suara sah nasional sebanyak 22,36 persen. Selain itu, Gerindra mencapai 13,57 persen kursi DPR. PKB merahi 10,09 persen kursi. Total kursi kedua parpol tersebut 23,66 persen kursi di parlemen Senayan. Tidak heran, Gerindra dan PKB ngebet mencalonkan bakal capres dan cawapres pada Pilpres 2024 lantaran lebih 20 persen kursi DPR.

Sementara, Partai Nasdem berhasil menggaet 12,66 juta suara (9,05). Nasdem menyabet 59 kursi DPR atau setara dengan 10,26 persen. PKS merahi 11,49 juta suara (8,21) dari keseluruhan suara sah nasional. Ada 50 kursi sebagai wakil dari PKS di parlemen.

Bagi Partai Demokrat, suara sah nasional sebanyak 10,87 juta suara alias 7,77 persen. Jumlah kursi sebagai wakil dari PKS sebanyak 54 kursi atau 9,4 persen. Jika Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang digawangi oleh Nasdem, Demokrat, dan PKS bertengger pada presedential treshold lebih 20 persen (25,03). Mungkinkah KPP masih solid?

Untuk masa yang tidak diketahui kapan khatamnya, berakhirnya kepentingan di dunia politik. Sejauh ini, politik tidak mengenal kata "sepi" dari kepentingan. Momentum kepentingan politik makin seru hingga riuh rendah menjelang Pilpres 2024.

Demi kepentingan, maka koalisi antara "enteng jadian" dan "enteng bubar." Itu hal biasa dalam politik di tengah bonus cemoohan dari ruang publik.

Hal yang bukan luar biasa juga, seperti sindiran dan umpatan itu lumrah. Ingin tujuh kali, sepuluh kali, dan berkali-kali banyak pindah partai politik itu hak pribadi.

***

Betulkah politik "panas" bisa diredah sufi?

Apa jadinya Prabowo Subianto dan Ganjar Prabowo tiba-tiba menjadi sufi? Betul. Sufi betulan. Mumpung keduanya diusung sebagai bakal calon presiden.

Bukankah tidak ada yang tidak mungkin di dunia politik? Paling seru jika Prabowo dan Ganjar berubah sufi membuat orang ketawa ngakak atau malah dicibir.

Di tengah saling menyerang antara pendukung bakal calon presiden begitu ramai diperbincangkan. Prabowo dan Ganjar bertemu di satu kegiatan yang sama. Prabowo sebagai Ketua Panitia, Ganjar selaku Gubernur Jawa Tengah, tuan rumah kegiatan.

Di luar sana, Prabowo dan Ganjar tentu ada haters-nya. Baik Prabowo dan Ganjar mungkin membuat lawan politiknya menjadi panas karena elektabilitasnya di papan atas. Hasil survei menempatkan Ganjar masih di atas dengan selisih dua digit dibandingkan elektabilitas Anies Baswedan. Lebih lagi unggulnya elektabilitas Prabowo atas Anies. 

Percaya atau tidak, kredibel atau tidak. Begitulah hasil survei selama beberapa periode. Terlepas dari tidak percayanya para pendukung Anies. Meski di urutan buncit hasil survei, Anies tetap melangkah makin pede dan makin mantap.

Bagaimana cara meredah politik "panas?" Satu dari sekian caranya, yaitu politik ala sufi. Di mulai dari sekilas berita tentang World Sufi Assembly (WSA) Conference, Muktamar Sufi se-Dunia di Pekalongan tahun 2023. Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka Muktamar Sufi Internasional (Multaqo Sufi Al-Alami), Selasa (29/8).

Muncul pertanyaan. Apakah sufi dan sufisme sebagai "pemadam kebakaran" politik "panas?" Politisi berkumpul dengan para ulama sufi berarti berfungsi untuk ngerem politik "adu domba," ujaran kebencian, politik identitas, dan semacamnya.

Jika kita tilik, Muktamar Sufi se-Dunia di Pekalongan, Jawa Tengah bukan peristiwa baru. Tahun 2019, pertama kali digelar Muktamar tersebut. Mengapa Muktamar Sufi se-Dunia dihelat menjelang Pilpres? Secara pribadi, saya bisa bertanya demikian. Saya sadar, mungkin publik menanyakan hal serupa. Kita tidak tahu persis apa alasannya. Apa yang melatarbelakanginya.

Sejak di bangku sekolah, informasi seputar ajaran tasawuf atau sufisme sudah kita pelajari. Pengetahuan tentang sufisme memberitahukan pada kita sebagai cara penyebaran Islam awal di nusantara. Penyebaran Islam nusantara oleh pedagang sufistik, sufi. Agak terdengar romantisme sejarah. 

Cara paling intim dari sufisme, maka kaum pribumi di nusantara jatuh cinta untuk memahami dan mengamalkan ajaran tasawuf alias mistisme dari para mursyid. Sufi cum pedagang. Lalu, pertanyaan berikutnya.

Apakah pasca Muktamar Sufi tersebut dengan sufisme yang kental bisa mengenyahkan tindakan intoleransi? Akan lenyapkah permusuhan antara cebong, kampret, dan kadrun di hadapan sufisme? Sirnakah pertentangan antara kubu yang satu dan kubu lainnya?  Kita anggap tidak gampang untuk menjawab pertanyaan. 

Nyatanya, Presiden Jokowi menyinggung soal intoleransi. Tindakan intoleransi masih kerap terjadi di sekitar kita. Itu ungkapan Presiden yang kadangkala sulit untuk mengelak kasus intoleransi.

Seluruh kepala yang hadir di Muktamar Sufi se-Dunia akan menyatakan dukungannya tentang toleransi dan perdamaian di tahun politik. Sekitar 68 ulama internasional dari 43 negara diundang untuk menghadiri kegiatan tersebut. Dari sumber terpercaya, diperkirakan ada 3.500 ulama dalam negeri dan tamu yang diundang untuk menghadiri perhelatan akbar se-dunia.

***

Obrolan membuat ramai di grup Whatsapp (WA) seputar postingan tulisan Denny JA, berjudul "Mengapa di Ujung Kekuasannya, Jokowi Masih Sangat Populer?" Mendadak seorang kawan di grup WA nyeletup. Apa katanya? "Penjilat model begini dipelihara."

Begini sekilas ceritanya. "Nyantai dulu," kataku. Apa yang disebut penjilat, ciri-cirinya, diantaranya "bukan tim sukses atau relawan Jokowi, terus ngemis-ngemis jabatan atau apalah."

Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA terlibat langsung dalam mensurvei (ternyata masing-masing menang dua periode). Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan masa jabatan Presiden RI, 2004-2009, 2009-2014. Joko Widodo (Jokowi) dengan masa jabatan Presiden RI, 2014-2019, 2019-2024. Teruji dan terbukti kan?

Soal Lembaga Survei (LS) jelas. LS "bayaran". Dimana-mana LS mesti dibayar alias bukan proyek tengkiyuu, he he he. Profesionalisme LS yg dibayar, begitu toh. Yang tidak dibayar itu (suka)relawan (sejauh ingatan pendek saya).

Usahakan kritikan, caci maki, hujatan, nyinyir, hinaan, dan sebangsanya (khusus warga organisasi sosial keagamaan) mesti berbasis (analisis) data, plus sintesa berbasis fakta. Kaum terpelajar sudah diantarkan bagaimana cara "menangkis" antara lain dalam epistemologi, setidaknya ada dua yaitu: (a) Skeptic Argument, (b) Skeptic Hypothesis. Atau dalam sains modern ada "konteks discovery (penemuan)" dan "konteks justifikasi" untuk membantah hasil survei LSI Denny JA.

Mengapa demikian? Untuk mencegah kesalahan pemikiran (al-khatha-i fi al-fikr), menghindari logical fallacy, seperti Black or White dan argumentum ad hominem, membuka ruang dialog atau diskusi yang produktif, menghindari jangan sampai sama dengan gaya dan cara pihak lain, seperti "jurus mabuk," gaya "buldozer," "kaca mata kuda," kritikan berbasis prasangka hingga asumsi belaka. Mari kita senyum pepsodent!

Kawan yang lain menanggapi obrolan saya. "Pernah juga melenceng hasil survei Denny JA kanda. Sewaktu pilkada DKI 2017 dua kali gagal. Pertama hasil surveinya menyatakan Anies-Sandi Gagal masuk putaran kedua. Hasilnya malah lolos. Yang kedua, masih pada periode yang sama akan dikalahkan oleh Ahok-Djarot (hasil survei, bahkan Quick Count. Tapi sekali lagi gagal, karena Anies-Sandi yang menang. Bahkan dalam rilisnya, meskipun margin error-nya terjadi, Anies-Sandi akan kalah. Tapi hasilnya seperti yang telah terjadi Anies-Sandi memimpin Jakarta.

Karena namanya juga Survei, maka ruang untuk keliru tetap saja ada kanda. Kecuali 'sensus', hehehe."

"Tapi memang banyak yang benar kanda. Hampir semuanya yang disurvei, terlebih lagi jika LSI jadi konsultannya, maka bisa dipastikan menang. Untuk pilkada DKI, memang banyak lembaga survei yang "kalah". Hehehe.

Tapi kita tunggu saja pesta demokrasi 2024, siapakah yang bakal unggul. Atau malah pertarungannya di Oktober. Siapakah yang berhasil meraih tiket untuk maju. Ganjar sudah pasti, Prabowo semakin menguat. Anies, masih harus menjaga soliditas koalisinya. Nah, patut ditunggu ... hehehe."

Saya mencoba menimpalinya. Konteks Pilpres dan konteks Pilgub berbeda. Jika KPK Anies bertumpu pada konteks Pilgub 2017 untuk Pilpres 2024, saya ragu Anies menang. Pilgub dan Pilpres berbeda mapingnya. Cuma pertanyaannya. Apakah survei sebelum atau setelah kasus Ahok?

LS hanya membuka kemungkinan apakah menang atau kalah. Lagian, LS beri gambaran bahwa si A lagi jongkok, si B lagi jogging, si C lagi nge- sprint,  etc etc.  He he he. Tapi, memutlakkan semutlak-mutlaknya menang itu naif, absurd. Belum lagi kita ngobrol tentang "margin error."

Katakanlah metodologi multistage random sampling di Kabupaten X = 400 ribu DPT-nya. Palingan sampel sekitar 500 orang. Nikmat apa nikmat?

Muncul komentar kembali dari kawan. "Berarti ada momentum kanda, karena kasus pidato ahok, hehehe. Berarti ada instrumen lain yang juga perlu dijadikan alat selama survei. Jangan sampai semua calon sempat terpeleset lidah lagi jelang pemilu, hehehe."

Runtuhnya nalar di sini. Jika bukan "politisasi agama," apa yang bisa diandalkan untuk mendulang suara dukungan pada Anies. Orang juga sudah tahu siapa dan apa motif politisasi agama.

Sedikit lagi. 56 persen pemilih ada di pulau Jawa. Ini pulau Jawa. Impossibility begitu gede jika salah satu kompetitor: Prabowo, Ganjar, dan Anies sebagai pemenang dengan persentase tersebut. Belum lagi di luar pulau Jawa.

Ada logika yang berkembang. Jika Prabowo atau Ganjar yang "menang," maka Pilpres 2024 dicap "curang." Padahal, elektabilitasnya papan teratas dari kebanyakan LS. Saya cuma usap-usap kepala dengan cara berpikir demikian.

Soal isu (atau dianggap nyata) menjegal Anies. Sekarang, LS ramai-ramai meng- update. Elektabilitas Anies masih bertengger di nomor 3 (tiga). Terima atau tolak, itu urusan lain. Begini. Logika sedehananya. Prabowo, Ganjar, dan Anies sama-sama nimbrung lomba lari 100 m. Kan ada hitungannya, sekian detik kecepatan masing2 kompetitor sampai di garis finis Apakah 1,85 detik, 1,83 detik, 1, 79 detik, misalnya? Semuanya bisa menjadi hal biasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun