Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memikatnya Adegan, Menjeritnya Layar

24 Agustus 2023   13:33 Diperbarui: 3 Januari 2024   09:46 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bacapres Prabowo, Ganjar, dan Anies (Sumber gambar: detik.com)

Adegan menunjukkan dirinya sendiri. Mulai adegan biasa, adegan lucu, adegan panas hingga adegan yang mendebarkan. Setiap adegan muncul lewat tatapan. Ya, persisnya mata. Adegan itu nyata dengan tatapan mata jelalatan, mata ketawa atau mata berbinar. 

Sedikit bercanda. Jika mata kita kabur jarak jauh, apa namanya? Minus. Jika melihat uang merah seratus ribu langsung mata klepek-klepek. Mata pria suka peletotin sana sini, maka dicap "mata keranjang" alias "mata buaya." Keduanya hanya istilah saja. Klepek-klepek sama dia (ah, ngakak dulu).

Obyek-obyek tatapan melalui mata begitu nyata saat adegan ditampilkan dalam ruang tertentu. Salah satu ruang sebagai obyek tatapan adalah layar

Suatu layar di ruang siber. Ruang di zaman revolusi digital. Banyak peristiwa menampilkan adegan dan layar. 

Kita membatasi satu peristiwa politik, terorisme, dan kelaparan. Adegan dan layar bisa menampilkan ketiga tema peristiwa tersebut dengan masalah penafsiran yang berbeda.

Mengapa berbeda? Saya yakin, masing-masing orang memiliki pemahaman dan penafsiran yang berbeda ketika menonton layar YouTube atau Facebook dengan konten peristiwa politik, misalnya. Jadi, bukan soal obyek tatapan yang berbeda karena ada yang melihat "serius' dan ’sekedipan mata’. Adegan dan layar yang menghimpun peristiwa bertumpu pada kekuatan tubuh. Bukankah media sosial sebagai tubuh virtual?

Tim sukses bakal calon presiden ramai-ramai jualan politik di segmen pemilih Generasi Z dengan kecenderungan penggunaan media sosial. Aliran informasi yang disuguhkan oleh medsos melalui layar. Sudah tentu Gen Z siap untuk menatap dan melahap informasi, diantaranya politik Pemilihan Presiden Tahun 2024 melalui layar medsos. Gen Z sebagai layar. Bacapres atau calon presiden ingin menggaet suara Gen Z layaknya di layar medsos. Saya membayangkan gaya Gen Z. ”Hai bapak-bapak Bacapres! Kami 22,85 persen pemilih Gen Z! Tataplah kami! Anda terpikat dengan layarku! Ngaku aja bapak ibu! Anda mengincar kami, adegan dan layar kami. Kami ada karena kami adalah layar! Kami menantang karena kami adalah adegan!” 

Begitulah ruang imajiner berbicara. Ruang imajiner yang nyata melalui layar medsos. Gen Z layarnya layar.

Dilansir dari Katadata, pemilih dari Gen Z sekitar 46.800.161 (22,85) dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Jumlah ini lumayan banyak. Adegan dan layar akan efektif jika obyek tatapan menyemplung kepala kita. Politik menjadi adegan dan layar permainan.

Menurut Jakpat, penggunaan TikTok merupakan platform medsos yang informatif. Gen Z dengan Medsos TikTok sebagai ”mesin suara.” Menjadi nyata saat Gen Z dengan layar medsos sekaligus adegan yang membujuk Bacapres Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Suatu layar yang datang dari medsos Gen Z. Bukan Bacapres yang ”mencuri hati,” tetapi layar Gen Z yang menggoda. 

Kita akan melihat akhir adegan politisi menjadi seni politik di medsos dari jutaan layar Gen Z. Adegan dalam adegan, dari satu layar ke layar lainnya.

Sejauh tatapan  yang diketahui sebagai resapan, pantulan dan pancaran cahaya, tatkala figur geometris keluar dari mimpi sebagai palu unik yang jatuh di tangan filsuf. Tubuh digelincirkan dalam bayangan yang mengerikan. Ia menggambarkan suatu kepatuhan dan perputaraan dengan porosnya. 

Ketika komedian politik diharapkan membantu untuk melenturkan syaraf-syaraf menuju mesin mimpi yang fantastis dan ironis. Ia salah satu sisi manusia: naskah khotbah dalam tidur semalam.

Tetapi, adegan meninggikan jangkauan tatapan saat timbul tenggelamnya ’fantasmagoria’, aliran khayalan yang nyata paling mutakhir menutupi celah-celah kepolosan warganet dan orang-orang di ruang publik sama sekali tidak menyamarkan identitas dan kemiripan obyek. Kecuali sesuatu hal yang telah ditolak. Ketika kita menatap langit sebagai anugerah besar mengakhiri khayalan demi tatapan, maka sisi kegelapan ke luar dari lingkaran matahari. 

Gedung ikonik, Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab dihiasi dengan warna bendera merah putih, tempat dimana obyek tatapan dipertajam oleh hasrat, mimpi, dan fantasi dilepaskan secara terkendali. Bendera merah putih itu dilepaskan melalui layar LED (Light Emitting Diode). Figur geometris menjurus pada garis dan titik yang searah dengan mata dan kaki saat sang penatap bendera merah putih. Garis dan titik yang jelas mengubah samaran atau lingkaran penuh gelap tatanan benda-benda.

Belahan obyek tatapan antara tiruan dan layar. Tetapi, di sisi lain dari pemenuhan hasrat yang menurunkan pancaran tanda ekepresi rasa haru dari warganet muncul saat bendera merah putih terpampang di Burj Khalifa. 

Tanda ekpresi haru karena bendera merah putih terbentang di Hari Kemeredekaan Republik Indonesia ke-78 tahun, Agustus 2023. Bagi sang penatap obyek, seluruh teks atau khayalan keluar dari pengorganisasian batas-batas jarak. 

Mesin mimpi dari citra ’Indonesia Emas’ atau cermin buram dihentikan dengan hasrat yang menggebu-gebu. Terlepas dari lesunya sebuah penampilan tubuh untuk melenyapkan tipuan gambar, maka obyek tatapan perlu melahirkan kemendadakan gambar yang hidup dan nyata melalui wujud virtual. Ia sebagai sesuatu yang sama sekali penjelmaan pantulan benda-benda, kecuali tiruan dan tipuan. 

Tiruan yang menggantikan kemiripan menjadi obyek yang merata. Tipuan memainkan tanda-tanda lama dan menciptakan mimpi-mimpi baru. 

Dalam pandangan sang penatap, pergerakan tanda melalui realitas menjadi model-model, karena apapun kebenaran dimunculkan dengan penampilan layar terutama melalui realitas baru yang nyata berupa tubuh virtual melalui media sosial (medsos).

Satu sisi, tiruan dan tipuan memasuki obyek tatapan mengundang adegan di tengah realitas baru. Di sisi lain, nyata dan ilusi, asli dan khayalan bukan nampak sebagai tanda masa depan, melainkan sebagai kekosongan baru. Demi kekosongan baru, maka adegan teroris menggunakan medsos. 

Begitu ganjilnya permasalahan adegan yang diajukan oleh sang penatap layar Facebook DE, inisial dari terduga teroris sebagai karyawan PT KAI membuka jalan bagi titik celah layar kekerasan. Seperti bibit-bibit yang disemainya untuk menajamkan sebuah tatapan mata melalui celah lainnya dari terorisme ala DE selama 13 tahun bergandengan dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Adegan berbahaya begitu nikmat. Yang menjerit justeru di balik layar teroris DE dengan penampilan tubuhnya dilipatgandakan dengan “tubuh lainnya” melalui layar medsos. Adegan berbahaya seakan-akan berusaha menjerit secara langsung atau tidak langsung melalui layar medsos.

Dari obyek tatapan terhadap ngarai kekerasan dipantulkan dengan terorisme, tanpa cermin. Tetapi, cahaya matahari silih berganti dengan cahaya layar medsos yang menampilkan adegan teroris. Kecuali senjakala kebenaran yang merangkak, maka ’mata jahat’ muncul karena pikiran  yang picik. 

Lalu, adegan berbahaya dari teroris menjadi penampilan nyata yang menggairahkan sebagai obyek tatapan yang ditunaikan dalam tanda eskpresi. Kita perlu menyibak kembali citra, mimpi, khayalan, dan hasrat terhadap obyek tatapan menjadi adegan merenggut kelimpahruahan layar itu sendiri. Semuanya itu dianggap paling nyata direpresentasi sepanjang pengetahuan itu mengabdi pada indera-indera.

Kini, mereka melihat dunia nyata sebagai sesuatu yang perlu ’ditangkap’ dan ’diinterpretasi’ sebagaimana prasyarat dalam teka-teki dan aturan tanda, tanpa merepresentasikan gambar dan  jeritan, tiruan dan penggandaan teks pembaharuan baiat sang teroris. Ia mengundang interpretasi tidak berkaitan dengan rahasia-rahasia di balik penampilan obyek. 

Singkatnya, tanda seperti ini tidak lebih dari agen-agen representasi atau pengulangan jejak-jejak, berakhir ketika tanda-tanda kembali kabur, rapuh, dan penuh hura-hura, sekalipun berlindung di balik obyek tatapan yang becus pada penampilan tubuh dalam layar kekerasan dengan adegan yang menentang dari teroris. Nah, obyek tatapan atas terorisme melalui sebuah tubuh akan terbuang secara percuma.

Tanda-tanda yang dimegahkan dengan obyek tatapan dari ketegasan citra, warna, suara, dan hasrat. Dari satu sumbu ke sumbu lainnya menjadi layar kekerasan. 

Fantasi ideologi dari teroris dialirkan seiring dengan saldo rekening DE sebagai aliran modal yang berjumlah milyaran rupiah  dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kelimpahruahan benda-benda menjadi kata-kata dinyatakan dengan nilai tukar rupiah demi terorisme. Sampai di sini, obyek tatapan diketahui sebagai obyek tatapan yang bisa mengambil-alih apa-apa yang tidak bisa digerakkan langsung melalui tubuh tanpa sokongan adegan tambahan mesin kekerasan berupa 16 pucuk senjata bersama sejumlah magasin dan amunisi. Aliran modal teroris menjadi sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh layar ”biasa.” Karena setiap aliran modal dalam bentuk saldo rekening DE dipersembahkannya hanyalah sekadar fantasi ideologi kekerasan yang semu. 

Adegan terorisme terjatuh kembali dalam ketidakpastian, kekacaubalaun, dan kekosongan esensi dari obyek tatapan. Adegan teroris dengan penampilan nyata dan seluruh tanda hasrat menjelma dalam layar kekerasan yang tidak terkira sebelumnya. Hanya satu titik temu gairah tubuh yang ditandai dengan adegan-adegan yang ditampilkan sebagai permainan kekerasan tanda di tengah fantasi dan hasrat untuk menghancurkan kehidupan.

Untuk itu, kita mengharapkan adegan dan layar memiliki tanda bahaya sebelum sang teroris melancarkan kekerasannya. Seluruh adegan dan layar kekerasan menampilkan dirinya sebagai obyek tatapan yang nyata sebelum lainnya bergerak secara teracak dan tumpang tindih. Adegan dan layar kekerasan bukan serta-merta bermuara pada sesuatu wujud yang bisa dipadatkan dalam benda-benda. 

Melalui obyek tatapan yang dimilikinya, adegan dan layar dengan segala rahasia yang dimilikinya bakal terkuak. Akhir dari representasi gambar keluarga teroris yang bermain tiba-tiba sirna dihadapan layar kekerasan mengantarkannya pada penampilan wujud nyata yang mengguncang sekaligus menyebalkan. 

Adegan kekerasan melalui terorisme. Dari sekian lama pentolan atau sekadar kader ideologis tidak hanya diletakkan kembali di layar tontonan sebagai obyek, yang setiap saat menghantui negara. 

Obyek tatapan dibangun kembali melalui fragmen-fragmen tubuh ke permainan kekerasan cahaya yang menyilaukan fantasi sang teroris. Di balik layar kekerasan teroris justeru terpesona dalam kelenyapan makna kehidupan.

Berbeda dengan khayalan, obyek tatapan dengan adegan dan layar tidak akan muncul tanpa melepaskan beban-beban yang memusingkan kepala.  Adegan Densus 88 Antiteror Polri begitu awas dalam menatap gambar, suara, dan tulisan adegan ”yang tersembunyi” dari pihak tersangka teroris. Baiat-baiat menjadi ’bait-bait’ lagu pengantar kekerasan. Teror sebagai teater kekerasan. Teks, baiat atau medsos Facebook DE tersangka teroris sebagai jejak dan tanda. Ingatan melalui jejak dan tanda tersebut berganti menjadi layar. 

Layar dengan adegan yang tertunda karena DE ketahuan belangnya. Dia ketahuan lebih dahulu sebelum beradegan kekerasan. Adegan dan layar saling menopang dan saling berinteraksi satu sama lainnya.

Obyek tatapan ditandai dengan dan hal-hal yang menjadi akar-akar kekerasan tulisan atau gambar melalui sebuah jaringan medsos sang teroris. Fantasi ideologis dari terorisme ditemukan dalam tubuh virtual, yaitu medsos. 

Pergerakan adegan dan perpindahan layar kekerasan hanyalah satu momentum senyap dibuat supaya titik kelengahan fantasi lebih cepat ditanggulangi dengan  tatapan yang teliti. Jejak-jejak yang berbeda melalui medsos sebelum mencapai titik kefatalan adegan dalam layar kekerasan. Hal itu sudah menandai kekerasan lebih awal. Kekerasan dalam layar medsos ditandai begitu jeritan yang belum terdengar dari jauh. 

Sementara, berbagai adegan kekerasan mengangkat layar putih untuk melahap mimpi buruk. Ia bukan tanda kehidupan yang ingin kita gapai.

Di sini, tidak ada kesamaran layar yang memiliki kekuatan untuk membatasi dan menyibak setiap obyek tatapan melalui adegan dan layar kekerasan dirinya sendiri. Tatapan yang teliti akan menengahi ketidakhadiran rujukan antara cahaya dan kegelapan layar kekerasan. 

Di tempat lain, dari kekerasan pikiran menjadi kekerasan tanda, yaitu diantaranya tanda kehidupan menuju tanda kelaparan. Adegan dan layar yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Titik ledak kelaparan yang menjauhi tanda kehidupan di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. 

Dikabarkan, ada 6 (enam) orang meninggal karena kelaparan. Layar begitu miris. Juli 2023, ada sekitar 7.500 jiwa terkena dampak bencana kekeringan dan kelaparan. Adegan dan layar mengantarkan kembali pergerakan senyap yang telah ditutup obyek tatapannya tiba-tiba terbuka kembali. Layar kelaparan melalui media online menumpangi jaringan sel ingatan sebelum dibersihkan dari kedalaman fantasi yang kosong. Layar yang meruntuhkan nalar, layar yang menjerit. Kelaparan menjadi tatapan kosong dari kecepatan penanganan di tengah bentangan alam yang berat. Layar kelaparan memantulkan bayangan langkah kaki anak-anak yang tertatih-tatih menelusuri lorong-lorong waktu. Sebentar lagi badai, di lain waktu tanda kelaparan mengancam. Layar yang bagaimana yang kita hindari?

Inilah kewaspadaan! Layar kelaparan di Papua Tengah tanpa lelucon dan tanpa permainan. Dalam tatapan yang sama, adegan kelaparan yang memancing hasrat untuk peduli sesama. 

Suatu kekuatan dari hasrat untuk peduli sesama. Adegan kelompok individu lebih memicu tatapan terhadap layar kelaparan membuat uluran tangan bisa disebarkan melalui layar medsos.

Adegan yang berbahaya bagi kehidupan, ketika kelaparan berhenti di antara peristiwa dan pesan yang diboncenginya. Kelaparan yang leluasa menjauhi kelimpahan kebutuhan pangan dan pemerataan pembangunan. 

Dari mimpi dan khayalan dengan ingatan muncul dari adegan dan layar kelaparan. Akibat kelimpahan kebutuhan pangan sejelas-jelasnya dapat diterangkan melalui tanda-tanda, dimana obyek tatapan datang dari layar kelaparan. Sebuah layar datang dari jarak jauh, tetapi dekat dengan gambar adegan kelaparan melalui medsos dan medium lainnya.

Untuk melihat gambar adegan kelaparan, maka layar yang kita tatap menjadi bagian-bagian yang terkecil. Pada saat tatapan muncul di tengah benda-benda yang tidak tembus cahaya, maka layar kelaparan menjadi kecepatan tangkapan mata melebihi suara jeritan anak-anak. Kehidupan memang sebagai adegan dan layar sebagaimana peristiwa kelaparan berbanding terbalik dengan ruang ‘kemakmuran bangsa-bangsa’ dalam teks Adam Smith (The Wealth of Nation, Volume I-II, 1958). Jeritan orang-orang sebagai layar merobos obyek tatapan. Tanda kehidupan tanpa pesona kelimpahruahan obyek tatapan. Siapa juga yang peduli dengan judul buku tersebut ketika orang-orang dalam kelaparan.

Teks tertulis dari layar medsos sebagai jeritan melebihi pesan melalui layar lainnya tentang kelaparan. Tetapi, ada juga jeritan dalam bentuk yang berbeda, yaitu kesenangan. 

Hasrat untuk peduli sesama sejalan dengan kesenangan untuk menatap adegan di layar medsos. Kesenangan bukan semacam menari-nari di atas penderitaan orang lain. Kesenangan semu dari jeritan di balik layar keserakahan. Mengapa jeritan? Keserakahan adalah kesenangan semu yang terjatuh dalam kekosongan. 

Sayangnya, keserakahan berada dalam kelupaan di tengah kesenangan semu. Layar yang satu ada karena layar lainnya begitu nyata.

Lalu, jangan dibayangkan di kepala kita tiba-tiba bertengger pihak perusahaan umum milik negara yang bergerak di bidang logistik pangan (BULOG) dan pihak terkait lainnya untuk segera melayani orang-orang lapar di Papua Tengah. Bukan itu yang kita maksud bantuan besar. Kita juga tidak berani untuk menolak pihak terkait untuk peduli sesama. Bersyukurlah, warganet yang gesit mengontak Kementerian Sosial. Oh iya, jika sodara-sodara menemukan masalah bansos kelaparan, tolong kontak nomor 0811 XX XXX XX! Hotline alias call center ini setiap saat dibuka layanan informasinya. Hei kawan, jangan ketawa dulu! Jangan pula 6 (enam) orang lapar di Papua Tengah dijadikan bahan gosip. Namanya juga kelaparan, jelas tanpa lelucon. Terserah, dicap sok moralis atau bukan. Yang jelas, kelaparan cukup diketahui melalui adegan dan layar.

Warga Papua Tengah mungkin sedikit memelas ketika menjelaskan kondisi kelaparaan. Kita tidak tahu persis berapa kali mereka menjelaskan kondisi kelaparan kepada pihak terkait. 

Kisah pilu dari penduduk yang dilanda kelaparan menggetarkan nurani. Bukan dompet yang amblas. Cukup itu dulu. Kita tidak butuh jargon belaka. Kita juga jangan repot-repot mencari pendekatan analisis statistik terhadap kondisi kelaparan. Biarkanlah adegan dan layar yang berbicara!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun