Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sebelum Posmodernisme, Ini Secuil Ikhtisar tentang Sejarah Pemikiran Modern

27 April 2023   09:33 Diperbarui: 20 Agustus 2023   10:15 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh sebelum kelahiran pemikiran posmodernisme dan postrukturalis, di abad-abad silam telah berkembang dan menyebar corak pemikiran filsafat. Entah mengapa pemikiran filsafat identik dengan pemikiran Barat (dimulai dari benua Eropa).   

Baiklah, kita mulai dari corak pemikiran filsafat di zaman modern. Corak pemikiran filsafat modern yang dimaksud adalah hasil adopsi dari pemikiran para filsuf.

Rasionalisme

Satu pertanyaan besar, antara lain hubungan antara 'tubuh' (body) dan 'pikiran' (mind)? Dualisme Rene Descartes (Descourse on Method, 1960) bertumpu pada asumsi (ide-ide), mencakup akal budi (reason) berupa substansi (non-jasmani) yang berbeda atau terpilah dengan substansi material (tubuh).

Substansi dari akal budi dicirikan dengan kesadaran sebagai sesuatu yang memikirkan (res cogitans). Sedangkan ciri substansi material adalah keluasan sebagai sesuatu yang dipikirkan (res extensa). Keluasan merupakan sesuatu yang diukur alias dikuantifikasi, seperti tinggi, berat, volume, dan lebar.

Kata lain, gagasan mengenai realitas luar, misalnya matahari dan bulan ada kemungkinan bahwa itu hanya fantasi. Tetapi, realitas luar juga mempunyai ciri-ciri pasti yang bisa ditangkap dengan akal budi serupa dengam sifat-sifat matematis (dimensi benda-benda yang bisa diukur berdasarkan panjang, luas, dan kedalaman).

Sifat-sifat 'kuantitas' sama jelas dan sama terangnya dengan kenyataan bahwa "aku seorang makhluk pemikir."

Sifat-sifat 'kualitatif, seperti warna, bau, dan rasa, sebaliknya terkait dengan persepsi indera kita dan karenanya tidak menggambarkan realitas luar kita. Pemikiran merupakan sifat hakiki dari jiwa atau pikiran. Sifat hakiki dari pikiran adalah kesadaran. Lalu, hakiki dari tubuh adalah keluasan. Tubuh sebagai sesuatu yang terukur atau terkuantifikasi.

Kebenaran harus dicari dan didasarkan pada rasio dengan menggunakan kriteria clearly and distinctly (jelas dan terpilah). Menurut Descartes, ada tiga ide-ide bawaan (innate ideas).

Pertama, idea pemikiran. Ide yang memungkinkan diri saya sebagai makhluk yang berpikir (pemikiran sama dengan hakikat saya).

Kedua, ide Allah. Dia sebagai wujud yang sempurna dan karena saya mempunyai ide yang sempurna, maka pasti ada sesuatu yang sempurna itu dan wujud yang lebih sempurna itu adalah Allah.

Ketiga, ide keluasan. Suatu ide yang memungkinkan saya mengerti tentang materi (tubuh, benda-benda, obyek-obyek) sebagai dimensi keluasan, sebagaimana hal itu bisa dipelajari secara kuantitatif (matematika, geomertri atau ilmu ukur).

Bagi Descartes, ada sesuatu yang menggerakkan tidak bisa diragukan keberadaannya adalah bahwa saya sedang sangsi (doubt). "Saya berpikir maka saya ada" (cogito ergo sum) sebagai pembuktian adanya saya yang ragu secara langsung. "Aku yang berpikir" merupakan kebenaran filsafat pertama (primum philosophicum). "Aku yang berpikir" ini lebih nyata daripada dunia materi yang kita tangkap dengan indera kita.

Sejalan dengan Decartes, Baruch Spinoza dalam Ethics (1959) pula membagi dua substansi: jiwa dan tubuh. Substansi 'jiwa' dan 'tubuh' merupakan dua substansi yang berbeda. Hanya satu Substansi, yaitu Deus sive natura (Tuhan atau alam). Tuhan dan alam adalah satu dan sama (monis).

Natura naturans (sebagai substansi dan sebab); Natura naturata (sebagai akibat dan mode) saling berhubung. Esensi Tuhan sebagai Naturing Nature (Natura naturans), esensi-Nya terpantul dari alam yang melahirkan dan mengandung esensi mode sebagai Natured Nature (Natura naturata, tercermin dari alam yang dilahirkan). Jadi, Natura naturans memancarkan tanda atau wajahnya dalam Natura naturata.

Menurutnya, tubuh sebagai mode keluasan (extension) dan pikiran sebagai mode pemikiran (thought). Pikiran atau jiwa (mind) individu pertama-tama terdiri dari hal paling pokok dari mode pemikiran, yakni 'ide'. 

Segala sesuatu sekaligus merupakan tubuh dan pikiran, wujud dan ide (monisme/paralelisme). Ide-ide yang memadai membentuk rangkaian sistematis, yang memiliki tiga puncak, yaitu ide tentang diri sendiri, tentang Tuhan, dan hal-hal lain.

Tubuh dan pikiran tidak lebih dari sesuatu yang terjadi pada salah satu dan lainnya secara terpisah, berturutan, karenanya bersifat otonom. Tetapi, ada kesesuaian antara 'tubuh' dan 'pikiran', karena Tuhan sebagai substansi tunggal yang menguasai semua atribut. Tidak menciptakan apapun tanpa menciptakannya pada setiap atribut dengan mengikuti  tatanan yang sama.

Setiap atribut "dipahami melalui dirinya dan pada dirinya." Atribut berbeda-beda dalam realitas. Ciri ketidakterbatasan dari atribut yang terlihat dalam esensi kita, yaitu atribut pemikiran (thought) dan keluasan (extension), karena kita terdiri dari pikiran dan tubuh.

Tubuh menunjukkan keluasan dan keluasan merupakan atribut dari substansi Tuhan. Spinoza melihat segala sesuatu sub specie aeternitatis (melihat segala sesuatu dari persfektif keabadian).

Demikian halnya dengan aliran rasionalisme dalam filsafat, seperti Leibniz. Sosok Leibniz percaya pada ketidakterhinggaan jumlah materi, yang disebutnya sebagai 'monade-monade'. Setiap monade akan memiliki sifat fisik, tetapi hanya ketika dianggap abstrak. Senyatanya, setiap monade adalah sebuah jiwa. Tidak ada dua monade, yang bisa saling memiliki hubungan kausal. Ketika seolah-olah terlihat memiliki hubungan tersebut, penampakan ini menipu.

Bahwa setiap monade mencerminkan alam semesta, bukan karena alam semesta memengaruhinya. Tetapi, karena Tuhan telah memberinya sebuah sifat yang secara spontan menyebabkan pencerminan tersebut.

'Tubuh' manusia seluruhnya tersusun atas 'monade-monade', masing-masing adalah jiwa dan abadi. Tetapi, ada sebuah monade dominan yang disebut jiwa manusia sebagai penyusun tubuh manusia. Monade ini dominan. Ia bukan hanya dalam pengertian memiliki persepsi-persepsi yang lebih jelas daripada lainnya. Tetapi, ia juga dalam pengertian yang lain. Ketika tangan saya bergerak, tujuannya diarahkan bagi nomade domina, yakni pikiran saya, bukan bagi monade-monade yang menyusun tangan saya.

Empirisme

An Essay Concerning Human Understanding (1948) sebagai karya monumental John Locke. Menurut Locke, bahwa semua pikiran dan gagasan kita berasal dari sesuatu yang telah kita peroleh melalui 'indera'.

Sebelum kita merasakan sesuatu, pikiran kita merupakan 'tabula rasa' atau kertas kosong. Jadi, sebelum kita merasakan sesuatu, pikiran itu sama polos dan kosongnya dengan papan tulis sebelum guru masuk dalam kelas.

Dunia yang kita lihat seperti kita mencium, mengecap, merasa, dan mendengar. Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah 'penginderaan sederhana'. Saat kita makan jeruk, misalnya aku tidak merasakan seluruh jeruk itu dalam satu penginderaan saja. Seperti bahwa jeruk adalah benda berwarna oranye, baunya segar, rasanya berair, manis bercampur kecut.

Membedakan antara apa yang disebut kualitas primer adalah luas, berat, gerakan, dan jumlah, dan seterusnya. Jika sampai pada kualitas semacam ini, kita dapat merasa yakin bahwa indera-indera menirunya secara obyektif. Tetapi kita juga merasakan kualitas-kualitas lain dalam benda-benda. Kita mengatakan bahwa sesuatu itu manis atau asam, hijau atau merah, panas atau dingin. Locke menyebut semua ini sebagai kualitas sekunder.

Ide-ide kita berasal dari dua sumber: (i) indera dan (ii) persepsi hasil kerja pikiran kita, yang bisa disebut "indera internal." Karena kita hanya hanya bisa berpikir dengan ide-ide, karena semua ini berasal dari 'pengalaman'.

Nyatalah, bahwa tidak ada pengetahuan kita yang mendahului  'pengalaman'. Semua benda yang eksis adalah fakta-fakta, tetapi kita dapat membingkai ide-ide umum, seperti 'manusia', yang bisa diterapkan pada banyak fakta, dan kita bisa memberi nama pada ide-ide umum tersebut. Ada tiga jenis pengetahuan tentang eksistensi nyata. (i) Pengetahuan tentang eksistensi kita bersifat intuitif, (ii) pengetahuan kita tentang eksistensi Tuhan bersifat demonstratif, dan (iii) pengetahuan kita tentang bende-benda yang ditangkap indera bersifat inderawi. (Buku IV, Bab IIII)

Selanjutnya, esse est percipi, secara sederhana berarti realitas eksternal (obyek) hanya ada jika kita persepsi, begitu kata George Berkeley.  "Obyek penglihatan harus bisa dilihat. A adalah obyek penglihatan. Karena itu A harus dapat dilihat."

Berkeley membedakan antara "pengalaman tentang obyek" (misalnya kuda) dan "obyek" itu sendiri. Pemikiran tentang kuda (obyek) disebabkan oleh kualitas pengalaman kita tentang kuda itu. Kualitas pengalaman (penciuman, penglihatan, rasa) adalah episode-episode mental dan bukan sesuatu yang di luar jiwa/pikiran.

Bahwa yang ada hanyalah yang dapat kita lihat. Tetapi, kita tidak melihat 'material' atau 'materi'. Kita tidak melihat benda-benda sebagai obyek-obyek nyata. Dia berargumen bahwa kita tidak mengindera benda material, namun hanya warna, suara, rasa, dan sebagainya. Semua itu bersifat "mental" atau "ada dalam pikiran" (spiritual/immaterialisme Berkeley membawa arah baru epistemologi).

Dalam pandangan David Hume yang menarik ketika dia membedakan antara dua jenis persepsi, yaitu (i) kesan (impression) dan (ii) gagasan (ideas). "Kesan" yang dimaksudkan adalah penginderaan langsung atas realitas lahiriah. "Gagasan" yang dimaksudkan adalah ingatan akan kesan-kesan semacam itu.

"Jika anda terbakar di atas oven panas, anda mendapatkan "kesan" segera. Setelah itu, anda dapat mengingat bahwa anda terbakar. Kesan yang diingat itulah yang dinamakan Hume "gagasan." Bedanya, kesan itu lebih kuat dan hidup daripada ingatan reflektif tentang kesan tersebut.

Dia membagi 'kesan-kesan sederhana' (simple impression) dan 'kesan-kesan kompleks' (complex impression); 'gagasan-gagasan sederhana' (simple ideas) dan 'gagasan-gagasan kompleks' (complex ideas). 'Kesan-kesan sederhana'  adalah kesan tentang obyek sederhana (sosok berpakaian merah); 'kesan-kesan kompleks' adalah kesan tentang obyek kompleks (sosok berpakaian merah memakai arloji emas). 

'Gagasan-gagasan sederhana'  memiliki kesan sederhana yang menyerupainya; setiap kesan sederhana memunculkan gagasan yang juga sederhana ("negeri impian"-baldatun toyyiban warabbun ghafur, pemimpinnya adil, rakyatnya makmur sejahtera, bahagia lahir dan batin.)

 'Gagasan-gagasan kompleks' tidak mesti menyerupai kesannya. Misalnya, Tuhan sebagai zat Yang Serba Maha (Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Mengetahui, Maha Suci, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Pengampun, dan seterusnya), yang tidak bisa kita membayangkannya. Berbeda dengan contoh Pegasus, seekor kuda bersayap membentuk 'gagasan-gagasan kompleks'. Pikiran telah memotong-motong dan menyambung-nyambung kembali semua potongan itu. Masing-masing unsur sebelumnya telah ditangkap oleh indera dan memasuki panggung pikiran dalam bentuk sebuah 'kesan' yang nyata.

Idealisme/Kritisisme

 Immanuel Kant dianggap filsu yang membuat terobosan dan berbeda aliran pemikiran filsafat sebelumnya (dia dijuluki serupa bahkan melampaui Revolusi Copernican).  Dimulai dari a priori. A priori didefinsikan sebagai wujud yang bebas dari pengalaman, justeru karena pengalaman tidak pernah memberikan kita apapun yang bersifat universal dan niscaya (The a priori is defined as being independent of experience, precisely because experience never 'gives' us anything which is universal and necessary).

Kant pertama-tama bertanya: Apa fakta pengetahuan (quid facti)? Fakta pengetahuan adalah bahwa kita memiliki representasi a priori (yang memungkinkan kita untuk menilai) (Critique of Pure Reason, A100-101).

Terkadang mereka adalah 'presentasi' sederhana, seperti ruang dan waktu, bentuk a priori dari intuisi, intuisi yang juga merupakan a priori, dan berbeda dari presentasi empiris atau dari isi dari a posteriori (misalnya, warna merah). Kadang-kadang juga mereka, secara tegas, 'representasi': substansi, sebab, dan sebagainya. Konsep a priori yang berbeda dari konsep empiris (misalnya, konsep singa). Fakta bahwa ruang dan waktu adalah presentasi dari intuisi a priori adalah subjek dari apa yang disebut Kant sebagai 'eksposisi metafisik' ruang dan waktu.

Representasi tidak berasal dari pengalaman disebut 'representasi a priori'. Prinsip berdasarkan pengalaman harus tunduk pada representasi a priori disebut prinsip 'transendental'. 

Itulah sebabnya mengapa suatu eksposisi metafisik ruang dan waktu diikuti oleh eksposisi transendental, dan deduksi metafisik dari kategori-kategori oleh deduksi transendental. Sesuatu yan 'transendental' memenuhi syarat prinsip penundukan diperlukan dari apa yang diberikan dalam pengalaman bagi representasi a priori. Secara korelatif prinsip penerapan yang diperlukan dari representasi a priori untuk mengalami sesuatu.

Kant mengajarkan bahwa ada jenis putusan lain yang disebut putusan sintetis a priori. Bagi Kant, jenis putusan ini akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar. 

Jenis putusan ini disebut sintetis karena memiliki karakter universalitas dan memenuhi kriteria keniscayaan (necessity) tanpa menjadi tautologis. Putusan yang dihasilkan (sintetis a priori) adalah universal dan niscaya karena forma, dan absah bagi dunia empiris karena materi. Perlu dicatat bahwa kedua elemen ini harus ada dalam setiap pembentukan putusan sintetis a priori: forma (bentuk) tanpa materi adalah hampa; materi tanpa bentuk adalah buta.

Secara garis besar, permasalahan akan diselesaikan, diantaranya: (i) semua fenomena ada di ruang dan waktu; (ii) sintesis a priori imajinasi menghasilkan a priori pada ruang dan waktu itu sendiri; dan (iii) fenomena karenanya harus tunduk pada kesatuan transendental dari sintesis dan kategori yang mewakilinya a priori.

Menurut Kant, pengetahuan harus bersifat "sintetis." Yang dimaksud "sintetis" adalah jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai subjek. Empirisme tentu bukanlah jenis putusan "sintetis", tetapi lebih merupakan putusan a posteriori, di mana predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman. 

Tentu saja ia mengakibatkan putusan tertentu kehilangan unsur universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan apapun yang tidak memiliki unsur universalitas dan keniscayaan tentu bukanlah jenis pengetahuan filosofis yang cukup meyakinkan.

Dengan demikian, kita memiliki subjek absolut (Jiwa) dalam kaitannya dengan kategori substansi. Rangkaian lengkap (dunia) dalam kaitannya dengan kategori kausalitas dan seluruh realitas (Tuhan sebagai ens realissimum) dalam kaitannya dengan kategori komunitas. Secara subyektif, ide-ide dari akal budi  mengacu pada konsep-konsep pemahamansecara maksimal, sehingga memberi mereka suatu kesatuan yang sistematis dan keluasan.

Tanpa akal budi akan pemahaman tidak akan menyatukan kembali seluruh rangkaian gerakannya mengenai suatu objek. Begitulah, ada sebabnya mengapa, pada saat ia meninggalkan kuasa legislatif (legislative power) demi kepentingan pengetahuan pada pemahaman, tetapi mempertahankan peran, atau lebih tepatnya menerima sebagai imbalan, dari pemahaman itu sendiri, fungsi yang asli: yang membentuk pengalaman yang ideal menuju ke arah dimana konsep-konsep pemahaman bertemu (Critique of Pure Reason, Dialectic, Appendix).

Sementara, hukum moral memerintahkan kita untuk memikirkan pepatah kehendak kita sebagai 'prinsip legislasi/peraturan universal'.

Eksistensialisme

"Existence" is Prior to "Essence" (Eksistensi mendahului esensi), begitu kata Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialisme abad ke-20. Kita ingin mengada dan pada saat yang sama mewujudkan citra kita, citra tersebut valid untuk semua manusia dan semua zaman dimana kita hidup.

Menurut Sartre, ada dua cara 'mengada': (a) "Ada dalam dirinya" (etre-en-soi, being-in-itself) dan (b) "Ada bagi dirinya" (etre-pour-soin, being-for-itself). "Ada dalam dirinya" itu sama sekali identik dengan dirinya. Ia tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif: kategori-kategori semacam itu hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia.

Manusia adalah manusia itu sendiri. Bukan bahwa dia adalah apa yang dianggap sebagai dirinya, tetapi dia adalah apa yang dia ingini, dan ketika dia menerima diri setelah mengada. Manusia adalah sebuah proyek, yang memiliki kehidupan subyektif. Dia bukanlah sejenis lumut, jamur atau bunga kol. Sebelum proyeksi diri itu, dia bukanlah apa-apa, bahkan dalam dunia ide sekalipun.

"Ada bagi dirinya" menunjuk pada kesadaran. Inilah cara berada manusia. "Ada bagi dirinya" berarti menyadari adanya sendiri. Manusia hanya menjadi 'ada' apabila dia menjadi apa yang dia inginkan. Bagaimanapun juga, manusia bukanlah apa yang diinginkan. Karena apa yang biasanya kita pahamai sebagai harapan atau keinginan adalah keputusan yang diambil secara sadar, lebih sering disadari daripada tidak.

Pragmatisme

Tokoh penting filsafat aliran pragmatisme, diantaranya William James. Bagi James, ada dua perbedaan model atau kondisi dalam filsafat pragmatism, yaitu (i) lemah, lunak (tender-minded) dan (ii) filsafat keras, kuat (tough-minded).

Lemah dan lunak (tender-minded) berupa aliran rasionalisme, intelektualisme, monistis, religius, dinamis, dan indeterminis. Filsafat keras atau kuat, seperti empirisme, sensasionalisme, materialisme, pluralis, profan, dan sejenisnya.

Pragmatisme merupakan perpaduan atau jalan tengah dari dua kecenderungan. James menginginkan filsafat yang ilmiah dan terbuka, tidak terjebak idealisme absolut, seperti Hegel, serta filsafat yang lebih berwajah manusiawi. James menolak gagasan tentang dualisme, seperti dikemukakan oleh Rene Descartes. Baginya, kesadaran (self) adalah proses dinamis yang bekerja terus-menerus.

Sebagai "filsafat tindakan," maka manfaat, kepuasan, makna, dan tujuan hidup menjadi permasalahan penting dalam pragmatisme. Karena itu, tokoh pragmatisme atau pragmatisme itu sendiri lebih sebagai alat daripada teori. Jika dikatakan teori, ia teori yang fleksibel (tidak kaku) dan praktis. Teori yang benar dalam kaum pragmatis adalah instrumen yang baik untuk bertindak. Ide yang paling benar adalah paling berhasil, berguna, efektif untuk diterapkan. Jadi, verifikasi melalui tindakan menjadi penting.

Fenemenologi

Teks filsafat Martin Heidegger, Being and Time (1962) membicarakan diantaranya tentang Ada-dalam-dunia. Heidegger mengarahkan pada dunia manusia atau "Ada-dalam-dunia" (being-in-the world). "Ada-dalam-dunia" (being-in-the world) menunjukkan keterlibatan (concerned with), keterikatan (preoccupation), komitmen (commitment), dan keakraban (familiarity) manusia dengan lingkungan alam dan budayanya.

Mereka mesti dilihat dan dipahami sebagai a priori yang tumbuh di atas keadaan yang telah Ada yang disebut "Ada-dalam-dunia" (Being-in-the-world). (BT, 78)

"Ada-dalam" adalah ungkapan eksistensial secara baku bagi Ada Dasein, dimana "Ada-dalam-dunia" sebagai keadaan esensial ("Being- in" is thus the formal existential expression for the Being of Dasein, which has Being- in-the- world as its essential state.). (BT, 80)

Yang mengetahui adalah mode Ada Dasein sebagai "Ada-dalam-dunia," dan ia ditemukan secara ontik pada status Ada. Tetapi, seperti kita tergugah, kita menemukan secara fenomenal bahwa mengetahui adalah jenis Ada yang termasuk "Ada-dalam-dunia," satu obyek yang tangguh yang seperti sebuah interpretasi untuk mengetahui (that knowing is a mode of Being of Dasein as Being-in-the-world , and is founded ontically upon this state of Being. But if, as we suggest, we thus find phenomenally that knowing is a kind of Being which belongs to Being-in-the-world, one might object that with such an Interpretation of knowing). (BT, 88)

Dasein (Ada-di sana) adalah sebuah entitas dimana setiap berada dalam Aku diriku sendiri; Ada berada dalam setiap kasus yang dimiliki. Inilah definisi yang menunjukkan sebuah status pembentuk secara ontologi, tetapi tidak lebih dari apa yang diindikasinya. (Dasein is an entity which is in each case I myself; its Being is in each case mine. This definition indicates an ontologically constitutive state, but it does no more than indicate it). (BT, 150)

Dasein selalu menjadi permasalahan atau pertanyaan yang tidak pernah berakhir atau tidak pernah tuntas.

Filsafat Analitis

G.E. Moore dan Bertrand Russel mengemukakan istilah "data inderawi" (sense data) sebagai suatu hal yang tidak dapat diragukan oleh semua aliran filsafat ilmu pengetahuan (realisme epistemologi dan idealisme epistemologi). Di sini, kesadaran saya mengenai bau wangi mawar, warna hijau dedaunan, tingginya tugu Monumen Nasional (Monas) dan beratnya satu kilogram misalnya, adalah sama. Obyek adalah tetap sama, entah kita mempersepsi atau tidak kita mempersepsi.

Moore, Russel, dan Ludwig Wittgenstein berupaya untuk menekankan pandangan realisme dengan menyatakan bahwa ada kesamaan antara data inderawi dengan obyek yang dipersepsi. Pernyataan (proposisi) berdasarkan data-data inderawi tidak lebih dari bahasa ilmiah yang bisa dianalisi benar tidaknya verifikasi.

Taruhlah misalnya, "Tidak ada kuda di hamparan rumput." Orang lain menyatakan, "Tidak ada kuda di hamparan rumput," maka benar dan salahnya pernyataan itu dapat diuji atau diverifikasi dengan mengacu pada fakta.

Ada dua model bahasa yang rasional (maksudnya yang bisa dibuktikan benar atau salahnya), yaitu (i) kalimat atau proposisi analitis dan (ii) proposisi sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika dan matematika; proposisi sintetis pembenarannya berdasarkan fakta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun