Lembaga penyelenggara Pemilu berjaga-jaga untuk menghadapi hasil Sidang Sengketa Pemilihan Presiden Tahun 2024 di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mimpi dan celah ini tidak diharapkan kemunculannya.
Peristiwa politik seringkali membuat kita tidak terangsang akibat kebenaran atas kebenaran yang diracuni oleh "kebenaran." Ia ada dalam diri kita. Saya secara pribadi berbicara bukan sebagai negarawan, pemikir atau pengamat.
Anda sedang membuat ramuan racun yang lebih berbisa dari bisa ular beludak.Â
Racun itu di kemudian hari disebut sebagai kebenaran dari masing-masing pihak, yang menganggap dirinya paling benar bahkan paling suci.
Mengenai kebenaran terluntah-luntah dan sekarat hingga mati tidak memiliki keterkaitan dengan zaman 'pasca kebenaran' sekarang lagi pemikirannnya menjadi tema menarik. Saya tidak sedang berpikir tentang 'pasca kebenaran' apalagi pemikiran tentang ketidakhadiran petanda transendental. Kebenaran seperti juga halnya keyakinan menjadi obyek pengetahuan bagi persemaian pergerakan politik praktis di banyak tempat.
Nah, dari sini, nalar dan analisis diskursus bakal menjadi menciut jika bukan dikatakan titik ketidakhadiran hasrat untuk pengetahuan dihadapan kekuatan berbahaya dari kepentingan politik yang mengatasnamakan keyakinan tertentu. Saya tidak mengatakan satu kelompok keyakinan atau lebih yang memiliki penafsiran baru. Padahal, di balik satu-satunya kebenaran menjurus ke arah kekerasan konsep atas nama keyakinan individu atau kelompok.
Kebenarang yang Bertopeng
Hasya, seorang mahasiswa mati karena ditabrak oleh pensiunan polisi justeru dinyatakan tersangka.Â
Oleh Indonesia Police Watch (IPW), Hasya disebut sebagai double victim, korban ganda. Sudah jatuh, mati, tertimpa tangga lagi. Inilah mungkin kebenaran yang absurd dan bertopeng.
Dikatakan bertopeng karena Hasya dianggap lalai mengendarai kendaraan sehingga tertabrak.Â
Dia akhirnya mati. Hasya mewakili si lemah; si penabrak mewakili rezim kebenaran karena di pihak kuasa.