Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Si Pengendara Vespa Kuning dan Seni Berpolitik

20 Januari 2023   13:39 Diperbarui: 19 Februari 2023   05:48 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Riwan Kamil sedang mengendarai vespa kuning saat tinggalkan kiantor DPP Partai Golkar (Sumber gambar: kompas.com)

Hal yang menggembirakan dari kunjungan politik ke partai politik (parpol) adalah bahwa ia bukan hanya tontonan, tetapi ia juga merupakan ikatan batin. 

Kita sadar, tontonan itu bukan tontonan recehan. Jadi, debut politik berubah dari hal yang biasa menjadi kesan mendalam yang luar biasa.

Begini saja, tontonan sebagai sesuatu yang positif. Jika bukan lebih beken, tontonan diubah menjadi tatapan yang menyenangkan.

Dari sini, kita menemukan suatu tontonan tanpa berlebih-lebihan. Karena itu, kunjungan politik secara resmi tentu saja merupakan karakter khas dari pembesar suatu negeri.

Pada kenyataannya, setiap kunjungan politik sang pembesar negeri juga tidak lebih dari perhatian atas kehidupan orang banyak. Kunjungan  politik melebihi jepretan dan cahaya kamera yang mengabadikan pembesar negeri.

Bukan mustahil, sosok politisi akan bersinar tatkala bergabung di parpol pilihannya. Pembesar negeri justeru tertantang karena ditempa oleh ide dan pengalaman pemerintahan.

Sekali-kali kunjungan politik mengandung tontonan yang menakjubkan. Suatu tontonan yang tidak bisa disembunyikan karena memang mesti dipanggungkan atau dikabarkan ke khalayak.

Bahkan kunjungan politik selalu bersifat penting di bawah banjir cahaya kamera dari media. Ia bukan cahaya yang dipaksakan kemunculan bayangan di balik ruangan tempat di mana kegitan kunjungan politik itu berlangsung.

Dimainkannya cahaya kamera tanpa dibuat candaan. Ia menjadi cahaya yang memilah tanda kegembiraan dan emosi kerinduan.

Apalagi warga berjubel menanti uluran tangan calon pemimpin negeri. Ibu-ibu, bapak-bapak bahkan anak-anak gaul akan berdesakan lantaran kedekatannya dengan politisi merakyat.

***

Di negeri bernama Indonesia, Anda mungkin pesohor jika belum direkam gambar peristiwanya melalui video. Di atas pesohor ada pembesar negeri. 

Dia diorbitkan dari pembesar daerah menuju pembesar negeri. Sang pembesar negeri dimaksud adalah rising star, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Dia banyak dan sering melakukan apa-apa. 

Di banyak kesempatan, kita bisa temui, tanpa sungkam-sungkam menyapanya.

Pria yang jauh dari kesan sebagai pria parlente sepanjang pengalaman kepemerintahan kota Bandung berjulukan Paris van Java telah mengukir prestasi moncer. Tidak disangkal, dia memimpin dengan keberanian yang terukur. Seabrek inovasi yang telah ditorehkan.

Kebetulan saya bersama kawan-kawan sempat berkunjung ke Kota Bandung sekitar tahun 2016. Anak-anak kantoran berkunjung dalam rangka studi banding. Betapa nuansa baru ditemukan di sana.

Menurut info, Kota Bandung selama kepemimpinan Ridwan Kamil mengalami pertumbuhan hotel yang terhampar di kawasan bisnis. Taman-taman tematik dibangunnya.

Saat memasuki halaman kantor Walikota Bandung, tempat Ridwan Kamil berkhidmat terasa nyaman dan asri dipandang mata. Kawan-kawan pun berpose ria. Selebihnya berselfi seperlunya.

Kami pun diterima oleh pejabat setempat dengan ramahnya. Kami berdiskusi terutama soal perencanaan pembangunan daerah. Di sela-sela kegiatan tersebut, saya dan kawan-kawan bergeser di tempat lain. Masih di kompleks walikota yang nampak sederhana tetapi cukup padat ruangan kerja. Ada satu yang menarik bagi tamu dan aparat sipil negara (ASN) bisa menyaksikan dari dekat. Semacam infografis terpajang di dinding, cukup menyolok. Di situ terdapat jenis aktivitas hari dinas dikenakan bagi ASN. Seperti hari dimana ASN dituntut untuk menggunakan bahasa Inggris. Cuma itu yang saya ingat. Bisa dikatakan, Kota Bandung mewakili avant-garde kepemerintahan dan pembangunan yang menggembirakan di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil kala itu.

Kembali ke semula. Sepanjang Ridwan Kamil melaju cepat dengan Kota Bandung yang eksotis, arsitektural, dan intelektualitas. Suatu kota yang ditemukan dalan suasana pagi hingga malam yang menggairahkan.

Suatu kota dan mungkin titik tolak dari ide atau visinya untuk membangun wilayah yang lebih luas berupa provinsi.

Suatu pemikiran metropolis yang sedang dirumuskan. Berkat sosok Ridwan Kamil yang mewariskan visi yang mengguncang berbagai prasangka.

Itulah tujuan dari tatanan geometris Ridwan Kamil. Dia menguasai ruang dan orientasi jauh ke depan. Sembari melihat ke bawah, masyarakat, dia juga melihat ke atas, ke arah bintang-bintang di langit.

Suatu dunia yang kelewat modern membuat tidak abai terhadap alam. Ketika kita lebih menghayati saat nyaman di situ pula rasa bosan menyelimuti.

Sosok Ridwan Kamil terkena ungkapan "dipuji tidak terbang, dihujat tidak tumbang." Dia lebih berada sebagai sosok profesional, ketimbang sosok amatir yang kerap nekat.

Terlepas konstelasi politik dari hari ke hari berubah-ubah, semuanya  masih lazim bagi Ridwan Kamil berhadapan dengan tantangan atau ujian tiba-tiba muncul. Sosok visioner menandakan perpaduan antara pikiran dan tekad membara, hasrat dan kreativitas, renungan dan upaya keras. Dia menemukan kekuatannya dalam sebuah jalur politik yang berseni tinggi.

Boleh saja kandidat atau politisi lain penuh dengan tanda-tanda. Meskipun dinilai ambisi politik, tetapi dia tidak menghiraukannya. Foto-foto di medsos menjadi wajah yang mengandalkan wawasan etis dan realistis sang pemimpin masa depan. Semua yang ada dalam foto merupakan kesederhanaan, ketidakpura-puraan, keterusterangan, dan kerseriusan bekerja dengan pengabdian. Tatapannya tanpa tatapan kebencian pada musuh. Dia tidak berpihak pada haluan kanan dan haluan kiri. Semua bisa hidup berdampingan dalam tatapan yang tulus dan lugu.

Dari kepemerintahan yang telah dia pikirkan masak-masak. Kini, dia harus memilih kehidupan yang menantang, yakni pilihan politik untuk maju beberapa langkah ke depan.

Pilihan politik itu dengan berbagai alasan yang kira-kira masuk akal. Dia harus menempuh jalan itu. Apapun resikonya, dia sudah renungkan begitu mendalam.

Melalui ruang publik dan warganet mengenal siapa sosok, yang berkaitan dengan sosok visioner. Kesepakatan politis dikemas tanpa kompensasi kekuatan laksana kehidupan sang pesolek. Kehingar-bingaran akrab dengan sang pesolek. Dia lebih memilih dalam ketelitian dan kehematan dirinya.

Citra Ridwan Kamil sama sekali bukan aktor yang telah mengganti jubah opurtunis totok yang terlalu digandrungi. Dia tidak mengungkapkan siapa dirinya. Warga yang bisa menguak siapa dirinya. Dia menyatakan esensinya tanpa meniru-niru wajah orang dengan polesan yang melimpah.

Impian tiruan ditanggalkannya dan mengubah penampilan apa adanya sama dengan penampilan di atas panggung politik. Dia tidak mendapatkan keistimewaan saat bergabung partai politik. Kecuali dia menjaga kekuatan jati dirinya agar tidak kepleset dalam ruang kosong.

Bagaikan sang pengantin yang terlebih dahulu melamar pada sang pujaannya. Dia tidak menampilkan kecuali dalam harapan masa depannya. Suatu masa depan yang mengandung titik krusial.

Terhadap parpol yang dilamarnya, Ridwan Kamil menjadi pasangan serasi bisa diterima. Tidak ada yang sempurna dengan siapa yang dilamarnya. Kesempurnaan itu diperolehnya saat berusaha untuk menyesuiakan diri dengan parpol paling eksentris dalam dunia nyata. Dia bersedia menjalani realitas politik melalui pilihan pada parpol.

Sebagai aktor dan sosok publik yang diperankan, maka dia menampilkan dirinya di atas panggung politik. Cuma perlu hati-hati. Hal yang paradoks dalam demokrasi politik, karena panggunglah yang merupakan realitas sekaligus kenikmatan tersendiri. Lewat sekelumit visi dan kreativitas yang sangat layak bagi sosok politisi menjalani periode penyesuaian diri dengan parpol pilihannya.

Pada waktu jeda penampilan di atas panggung politik, Ridwan Kamil enggan memalingkan wajahnya dari ruang publik. 

Pilihannya tetap dari satu panggung ke panggung lainnya. Dia mendapatkan pilihan rasional seiring rasionalitas politik, bahwa ada sosok aktor berbakat di belakang aktor besar. Tetapi, aktor pendatang baru yang berbakat bukan untuk memuaskan aktor besar dalam dunia politik yang dijalaninya.

Pilihan idealnya, empatinya atau intelektualnya berpadu dengan guyonan politik. Ia bergantung pada peran setiap politisi yang ditawarkan olehnya dalam kehidupan. Misalnya, dia harus mewujudkan mimpi dan skenario politiknya di tengah-tengah masyarakat. Jika tidak, dia nyatakan absurd bahkan pembual.

Bagi sang aktor, wajah dan tanda ekspresi lainnya menandakan kekuatan imajiner dan nyata. Ridwan Kamil diyakinkan dan dijantankan sebagai "pria petarung" di atas panggung politik. Ia bukan kenekatan yang bisa diperankan dengan ribuan panggung.

***

Kang Emil sapaan akrab Ridwan Kamil didapuk sebagai Waketum DPP Golkar sekaligus Co-Chair Bappilu.

Begitu percaya dirinya tinggi, kang Emil mampu menghidupkan partai Golkar hanya lewat unggahan di akun media sosialnya. 

Setiap hari dia bisa memanggungkan berita Golkar di medsos.

Muncul pertanyaan. Di balik unggahan di akun medsosnya dengan followers seperti diakuinya sebanyak 30 juta berhadapan politik riil di luar sana. Apakah puluhan juta followers kang Emil menjadi jaminan yang pasti sama dengan suara dukungan publik di perhalatan Pemilu 2024? Bisa saja medsos itu bagian dari instrumen politik. Ia sebagai mesin politik. Tetapi, ia tidak mampu memastikan jumlah pemilik suara dari masyarakat luas dengan hanya bertumpu pada followers. Saya kira kang Emil tahu, jika politik bisa berubah-ubah. Itu saja catatan kecilnya.

Ketika Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto mengatakan: "Secara resmi Pak Ridwan Kamil masuk ke Partai Golkar. Dan masuknya Ridwan Kamil ke Golkar ditandai diberikan KTA. Dan Ridwan Kamil sudah gunakan jas kuning. Tampak Ridwan Kamil semakin ganteng dan cerah." Lantas, para followers dan tim sukses menyatakan "hore!" Entahlah! Yang jelas kang Emil mulai debutnya di Partai Golkar.

Pertarungan sudah mulai kemarin, sejak partai Golkar membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan PPP. Artinya, kang Emil mau tidak mau terlibat keriuhan permainan. Dia terlibat atau ikut mengatur meja catur politik.

Sosok aktor alias sang pemain berusaha keras untuk menunjukkan permainan yang sesungguhnya. Asyik dan mendebarkan. 

Pertarungan politik harus lebih menarik. Bagaimana caranya? Banyak taktik dan strategi politik. Kang Emil bergabung dengan Partai Golkar juga bagian dari taktik dan strategi politik.

Taktik dan strategi politik seakan-akan mantra permainan. Suatu godaan yang murni dari kepentingan politik. Langkah politik yang ditempuh oleh kang Emil selalu menyertai seni bermain bak sang aktor yang tenang.

Permainan sejati diiringi langkah catur politik adalah pertarungan yang spektakuler. Ruang publik menyesuaikan diri secara spontan dengan dunia kontestasi pemilu. 

Layaknya penonton bertindak sebagai pemilih di sebuah bilik suara. Orang bisa gerah dan bosan karena peran aktor melulu memainkan seni tunggal yang tidak berseni di atas panggung. Seragam saja bentuk permainannya di atas panggung politik.

Kita tahu, politik pemilu punya aturan main. Tetapi, publik sungguh tidak begitu tertarik untuk mengetahui apakah permainan politik itu curang atau tidak. Warganet tidak begitu 'kepo' untuk menguntit kang Emil dengan empat alasan mengapa dia bergabung dengan Partai Golkar. Urusannya kental dengan urusan privasi seseorang.

Diakuinya, Partai Golkar sebagai partai terbuka dan Pancasilais. Dari alasan ini, kang Emil sangat dekat gaya kepemimpinan politik yang inklusif, pluralis lagi.

Bagaimanapun juga, ruang publik dan warganet menyajikan tanggapan yang beragam. Mulai biasa-biasa saja, salut hingga kagum bahkan nyinyir.

Sekali publik mencurahkan perhatiannya pada obyek tontonan, maka mereka masih berkutat pada apa yang ditontonnya. Kang Emil dipersilahkan memainkan genre politik ala Rock and Roll, dangdut, nge-jazz hingga keroncong. Semuanya terbuka untuk disimak oleh penonton atau pemilih.

Pergerakan tubuh aktor atau politisi yang diperankan oleh kang Emil diarahkan bukan soal kalah dan menang. Pergerakan politik seiring politik tubuh. Sosok aktor ingin mendisiplinkan dirinya melalui parpol. Pergerakan tubuh dari sosok politisi diserahkan pilihannya dalam pertarungan tentang janji dan harapan bagi kehidupan.

Orang tahu jika politisi ada yang "gigit jari" karena ketidakterpilihannya dalam pemilu. Orang juga bisa tahu jika politisi ada yang gembira bercampur haru. Semuanya merupakan bagian dari seni dalam dunia politik.

Kang Emil di mata publik selalu menginspirasi. Dia dinilai sebagai sosok dalam karakter kesederhanaan. Dia menandai Ars Politica. Seperti itu pula saat usai disematkan jas kuning yang melambangkan Partai Golkar. 

Satu partai sebagai 'guru' merangkap 'ibu' yang melahirkan beberapa partai politik.

Vespa kuning yang dikendarainya menjadi saksi bisu di hari itu. Dia berada pada taraf simbolik dan taraf penandaan sebagai pria apa adanya. Ramah orangnya. Akhirnya, Ars Politica, seni politik permainannya. Dia berusaha keras untuk tidak terjebak oleh kenikmatan instan dalam dunia politik. Seni dan seni diatur seiring irama permainannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun