Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin cukup dengan mengomentari istilah-istilah yang diajukan. Jelas kita tidak bisa bertanya. Mengapa fenomena tunduk pada ruang dan waktu? Fenomena adalah apa yang kelihatan dan kelihatan adalah harus segera berada dalam ruang dan waktu.
"Karena hanya menjadi sarana dari bentuk sensibilitas murni, seperti itu maka sebuah objek bisa muncul di hadapan kita. Dan karenanya menjadi objek intuisi empiris, ruang dan waktu adalah intuisi murni yang mengandung a priori yang mensyaratkan kemungkinan objek sebagai kenampakan." (Critique of Pure Reason, A89/ B121)
Sintesis yang menghubungkan fenomena dengan fakultas aktif yang mampu melegislasi. Karena itu, imajinasi itu sendiri bukanlah fakultas legislatif.Â
Imajinasi mewujudkan mediasi. Ia membawa sintesis yang menghubungkan fenomena dengan pemahaman sebagai satu-satunya fakultas yang membuat peraturan untuk kepentingan pengetahuan.
Kant menulis: "Akal budi murni meninggalkan segalanya pada pemahaman-pemahaman itu sendiri langsung diterapkan pada obyek intuisi, atau lebih tepatnya pada sintesisnya dalam imajinasi." (Critique of Pure Reason, A326/ B383-4)
Lantaran fenomena tidak tunduk pada sintesis imajinasi, maka ia mengalami sintesis dengan pemahaman legislatif (legislative undestanding). Ia tidak seperti ruang dan waktu. Kategori-kategori sebagai konsep-konsep pemahaman.
Dengan demikian, ia dijadikan objek deduksi transcendental. Ia menangani permasalahan-permasalahan khusus dari penundukan fenomena.
Secara garis besar, permasalahan itu, sebagai berikut: (a) semua fenomena ada di ruang dan waktu; (b) sintesis a priori imajinasi menghasilkan a priori pada ruang dan waktu itu sendiri; (c) fenomena, karenanya harus tunduk pada kesatuan transendental dari sintesis dan kategori yang mewakilinya a priori.
Menurut Kant, pengetahuan harus bersifat 'sintetis'. Maksudnya adalah jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai subjek.Â
Empirisme tentu bukanlah jenis putusan 'sintetis'. Tetapi, ia lebih merupakan putusan a posteriori, dimana predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman.
Tentu saja, ia mengakibatkan putusan kehilangan unsur universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan apapun yang tidak memiliki unsur universalitas dan keniscayaan. Ia tentu bukanlah jenis pengetahuan filosofis yang cukup meyakinkan.