Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskursus Kemiskinan

13 Desember 2022   09:05 Diperbarui: 4 Maret 2024   16:11 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilusatrasi  salah satu kondisi kemiskinan di Indonesia (Sumber gambar: detik.com)

Dari sekian bentangan diskursus kemiskinan, perhatian tertuju pada kemiskinan struktural. Selain jenis kemiskinan struktural, dikenal pula kemiskinan absolut dan kemiskinan produksi. Istilah kemiskinan paling anyar, yakni kemiskinan ekstrem.

Istilah kemiskinan ekstrem jadi bahan candaan anak-anak kantoran. Gara-gara nama "ekstrem" disandingkan dengan cuaca ekstrem, olah raga ekstrem, kelompok ekstrem kanan dan kiri hingga fenomena ekstrem. 

Kemiskinan ekstrem muncul lantaran paling gawat, dibandingkan tingkatan kemiskinan lainnya.

Saya cuma ingin terbuka tentang istilah. Bagi bestie asal suka silahkan plesetkan kata ekstrem.

Kita tahu, kemiskinan menjadi isu global, nasional, dan lokal. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara adalah menyangkut angka kemiskinannya. Apakah angka kemiskinan suatu negara meningkat atau menurun dari tahun ke tahun.

Indikator global menetapkan nol orang kemiskinan di tahun sekian. Terutama negara-negara berkembang dan negara-negara terkebelakang memacu dirinya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin.

Sayangnya, sebagian dari kepentingan tertentu, kemiskinan dijadikan kampanye demi meraup keuntungan alias dukungan suara. Kemiskinan sekadar angka-angka. Kemiskinan menjadi pembenaran atas kebijakan dan program pembangunan. "Kita tidak dapat program bantuan jika berkurang apalagi nol kemiskinan." Satu pernyataan yang sangat disesalkan. Sudah sekian kali saya mendengar pernyataan yang serupa.

Sementara, kita menggunakan istilah ekstrem perlu ekstra hati-hati dan kerja ekstra. Pekerjaan rumah kita, diantaranya bagaimana kemiskinan ekstrem punya capaian kinerja dan target yang ingin dirahi pada tahun tertentu.

Kata ekstrem membuat kita tidak nekat dan jika bisa jauh dari "bantal tidur." Misalnya, ketika Anda mengurungkan niat untuk bepergian karena cuaca ekstrem. Ibarat "kerak" nasi liwet, kata Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia, yang mengkiaskan kemiskinan ekstrem di negeri kita.

Orang bisa mengaminkan target nol kemiskinan ekstrem. Harapannya tentu laksana seberkas cahaya di ujung lorong kegelapan. 

Bersama kawan-kawan yakin bisa bebas dari kemiskinan, jika kita serius. Di tingkat atas ke tingkat bawah siap lahir batin sesuai tahapan, maka target kemiskinan ekstrem Indonesia nol persen tahun 2024 bisa tercapai. 

Permasalahannya, tersediakah dan validkah data kemiskinan yang dimutakhirkan guna mendukung pencapaian target? Berapa banyak rumah tangga miskin yang sudah keluar dari indikator kemiskinan? 

Ketegasan dari pengambil kebijakan juga diperlukan. Semakin sering ke lapangan untuk memantau program, makin banyak permasalahan kemiskinan. Ini baru soal data. 

Bagi yang ingin kepo habis soal kemiskinan nyerempetnya dimana? Jika ditelisik, kemiskinan terjalin kelindang dengan ketimpangan dan kekuatan oligarki di Indonesia, yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.

Diskursus

Ada yang seru soal kemiskinan ini dan itu. Ujung-ujungnya juga lari ke data. Saya ingin cerita sedikit.

Beberapa bulan lalu, ponsel saya tiba-tiba berdering. Muncul nomor tanpa nama. Saya sementara di atas kendaraan saat ponsel berulang kali berbunyi. Jadinya penasaran. 

Saya terima telpon dari seorang yang tidak saya kenal. Halo dengan siapa saya bicara? Dia menyahut. Saya pak dari pers anu (lupa namanya, siapa ya?). Awak pers melanjutkan pembicaraan.

Awak media online itu melanjutkan pembicara via ponsel. Saya sudah bicara dengan bapak Sekretaris Daerah soal kemiskinan, ujarnya. Sudah bicara dengan Kepala Bidang blablabla. Katanya, awak media itu mendengar informasi agar diarahkan ke saya. 

Boleh saya mengajukan beberapa pertanyaan pada bapak, pinta awak media bernada izin.

Silahkan, jawabku seadanya pada awak media. Berapa persentase penduduk miskin di kabupaten blablabla? 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi anu tahun sekian (maaf tidak menyebutkan daerah atau  ruang dan waktunya), persentase penduduk kabupaten anu sebesar blablabla persen tahun sekian. Masih di posisi buritan alias buntut dari sekian kabupaten dan kota. 

Cuma naik nol koma sekian persen. Tetapi, belum terdongkrak untuk menaiki anak tangga peringkat kemiskinan berikutnya. Angka kemiskinan disebut sekenanya saja.

Tidak banyak obrolan dengan pertanyaan seputar tema kemiskinan di daerah kami. Awak media itu mengucapkan terima kasih atas kesediaan mengobrol via ponsel.

Esok harinya, saya bertemu dengan kawan di ruang kerjanya. Saya mulai ngobrol seputar apa yang saya alami kemarin. 

Ternyata, awak media itu yang menanyakan kondisi kemiskinan di daerah kami, ternyata sudah merilis beritanya di hari ini.

Saking penasaran, saya coba membuka link situs media online itu. Langsung ke mbah google. Saya googling beritanya. 

Wow, dapat beritanya, berjudul kabupaten ini merupakan  daerah yang peringkat kemiskinannya tertinggi di provinsi anu.

Dalam konten berita media online didukung dengan angka, persis hasil wawancara awak media kemarin. Dia menyebut nama-nama pejabat yang diminta konfirmasi soal kondisi kemiskinan lengkap bersama angka-angkanya.

Bisa jadi, pemberitaan media soal kemiskinan membuat jajaran pimpinan daerah kami cukup tersentak. Jika bukan terusik dengan pemberitaan itu, maka diadakanlah pertemuan yang membahas perkembangan kondisi kemiskinan daerah.

Yang lucu, ada anggapan data kemiskinan tidak penting. Buktinya apa? Setiap permintaan data kemiskinan di perangkat daerah terkait acapkali tidak tersedia. Paling banter dua hingga tiga perangkat daerah yang terakses datanya. Sisanya, tiba masa tiba akal.

Orang juga tahu, diskursus kemiskinan memerlukan sudut pandang atau pendekatan multidisipliner. Pendekatan tersebut memerhatikan rujukan pada metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Paling tidak, diantaranya ada persfektif sosiologi, psikologi, antropologi, kependudukan, politik, statistik, dan ekonomi.

Diskursus kemiskinan sekarang juga belum mampu melepaskan dari pendekatan individu dan keluarga, wilayah perkotaaan dan perdesaan menjadi suatu struktur logika dan bahasa, yang pada akhirnya memiliki keterkaitan dengan kerangka analisis diskursus kemiskinan dengan ketimpangan.

Meskipun institusi negara penyedia data secara resmi tidak mengeluarkan angka kemiskinan absolut dan kemiskinan menengah dilihat dari sisi pendapatan, analisis diskursus melebihi suatu definisi kemiskinan ditopang oleh ketidakhadiran dimensi konsumsi, pendidikan, kesehatan, dan akses infrastruktur dasar.

Rangkaian dimensi tersebut akan diganti dengan meruangnya struktur wilayah pembentukan kemiskinan yang menjangkau tatanan perkotaan dan perdesaan. Tetapi, dalam satu kesempatan terbatas ini, diskursus kemiskinan tidak melepaskan definisi dan indikator kemiskinan. Belum lagi berbicara  penggunaan analisis deskriptif, dimana wajah atau gambaran umum kemiskinan dalam jangka waktu tertentu menampilkan kecenderungan peningkatan atau penurunan angka kemiskinan.

Wilayah perkotaan dan perdesaan menerima diskursus kemiskinan yang berinteraksi dengan ketimpangan dan kemungkinan keterlibatan oligarki menampilkan data gambaran umum dimensi tersebut. Pergerakan teks tertulis atau kata-kata membentuk arus pemikiran lainnya yang berbeda dengan obyek pengetahuan sebelumnya setelah penanda yang membentuknya ditanggulangi oleh diskursus yang menyembunyikan angka atau matriks dibalik teks narasi kemiskinan.

Satu sisi, tidak sedikit pihak menilai, bahwa kompleksitas permasalahan kemiskinan tidak hanya dilihat dari angka. Pada sisi lain, satu pendekatan analisis kuantitatif mengenai kemiskinan perlu memiliki syarat ketersediaan data sebagai bagian dari tahapan awal pembentukan analisis diskursus yang dibiarkan berkembang ke dimensi dan jejak baru. A priori diskursus mendahului pengumpulan dan analisis data.

Suatu pertimbangan lain, dimana kerangka diskursus ilmu pengetahuan tidak dapat dihindari disaat kemunculan data berubah menjadi jejak-jejak perbedaan tingkat kemiskinan. Ketersediaan data dan analisis data itulah akan memasuki perbedaan tingkat kemiskinan. Di situlah peran diskursus kuasa disipliner dari ilmu pengetahuan yang memberi bentuk atau gambaran nyata kemiskinan sesudahnya. Berkat diskursus, gambaran kemiskinan bisa terkuak, sekalipun analisis data kuantitatif muncul sesudahnya menjadi obyek pengetahuan.

Setelah itu, pembentukan relasi kuasa disipliner ilmu pengetahuan yang mencoba menengahi antara bentuk-citra sebagai penanda dan konsep-isi sebagai petanda kemiskinan. Ada hal yang menarik pergerakan analisis akan menyesuaikan dengan satu jejak ke jejak lainnya melalui suatu perbedaan diskursus kemiskinan yang tidak terelakkan.

Perbedaan diskursus kemiskinan tersebut saling memengaruhi bentuk-bentuk ketimpangan, karena kemiskinan multidimensi dengan istilah menjurus pada hiperbolik sebagai “monster berkepala banyak,” yang dilihat oleh sebagai kemiskinan yang masih berada pada isu utama Indonesia.

Pembentukan dari satu relasi ke relasi lain meletakkan kuasa disipliner ilmu pengetahuan akan menuai permasalahan tentang ide dan pemikiran menjadi perbedaan diskursus kemiskinan. Setiap perbedaan diskursus kemiskinan ditandai perbedaan karakteristik penduduk miskin sesuai relasi antara kuasa dan pengetahuan.

Kelenyapan atas ketunggalan diskursus berubah menjadi perbedaan diskursus kemiskinan melalui jejak yang berasal dari penolakan terhadap penerima manfaat program penanggulangan kemiskinan akibat mereka tidak memenuhi definisi, ukuran atau indikator kemiskinan.

Dari titik ini, muncul perbedaan diskursus melalui ukuran, kriteria atau indikator kemiskinan akan saling menggeser dan saling menetralisir antara satu dengan yang lain. Ada kecenderungan yang muncul melalui penanda kemiskinan yang ditampilkan oleh definisi dan indikator, dimana data atau matriks yang mendukungnya semakin jelas dan pasti.

Perbedaan diskursus kemiskinan dicoba tidak mengapa. Ia dihubungkan dengan ketimpangan bersifat terbuka dan menyebar. Sehingga perbedaan diskursus tersrbut yang ditampilkan melalui kriteria, indikator, dan data dalam matriks kemiskinan memungkinkan terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan perkembangan kondisi rumah tangga miskin.

Jika ada seorang atau kelompok yang berada mengatasi perbedaan diskursus akibat mereka tidak menerima manfaat program penanggulangan kemiskinan tanpa alasan yang jelas dan pasti, berarti mereka memungkinkan untuk mengajukan keberatan pada pihak pelaksana dan penerima manfaat program. Sebaliknya, dalam relasi diskursus antara pelaksana program dan seseorang atau kelompok penerima manfaat sudah tidak menerima lagi program karena ketidakhadiran indikator kemiskinan menandai perbedaan diskursus yang baru.

Pada suatu daerah terdapat seratusan jumlah penduduk miskin, karena B bukan penerima program, padahal ia termasuk kategori dari seratusan penduduk miskin menandai dirinya sebagai sumber perbedaan diskursus dengan A, C dan D. Jadi, dalam persfektif Foucaldian, relasi kuasa antara individu dan individu lainnya menciptakan realitas dirinya masing-masing. Pertanyaan yang muncul. Apakah antara satu orang dengan orang lainnya benar-benar masih berada dalam kemiskinan atau tidak?

Suatu diskursus akan mengalami perbedaan bukan sekadar pertimbangan akibat perbedaan karakteristik atau indikator kemiskinan. Tetapi juga perbedaan akibat yang silih berganti dan saling menghilang antara satu diskursus dengan diskursus lainnya.

Setelah terjadi pembentukan relasi kuasa yang menjaringnya, dimana ia mampu menyerap seseorang atau kelompok tertentu dalam penerima manfaat program kemiskinan, maka di situ akan dihubungkan dengan ketimpangan. Kekuatan diskursus yang baru menghilang dan muncul kembali dalam diskursus kemiskinan. Kemiskinan berbarengan dengan ketimpangan yang lain saat diskursus kemiskinan yang lama tidak tegak berdiri lagi.

Pembentukan diskursus akan mengatasi ketunggalan, homogenitas dan kepastian kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan diubah dalam kemajemukan dan perbedaan diskursus. Dari diskursus sebelumnya dibentuk dari ruang yang terisi ke ruang yang kosong dengan jangka waktu tertentu.

Sementara, permasalahan dan akar permasalahannya yang berbeda nampak beririsan pada ketimpangan sebagai bagian obyek pengetahuan yang dibentuk sesudahnya.

Setelah perhatian kita diarahkan pada pembentukan diskursus, kemiskinan, dan ketimpangan yang dimasukkan dalam relasi kuasa disipliner ilmu pengetahuan melalui angka-angka statistik. Data indikator yang dirilis oleh BPS dilihat berdasrkan persentase penduduk miskin Indonesia.

Meskipun jumlah penduduk miskin terus berkurang, kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia nampaknya masih jauh dari kecukupan. Rata-rata penduduk miskin hidup di wilayah perdesaan.

Masih dari sumber data yang sama, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada bulan sekian dan sebesar sekian persen (satuan jiwa), turun menjadi blablabla persen (satuan jiwa) pada bulan dan tahun sekian.

Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada bulan sekian dan tahun sekian sebesar blablabla persen (satuan jiwa), turun menjadi sekian persen (satuan jiwa) pada bulan dan tahun sekian.

Data yang ditampilkan tersebut menandakan disparitas kemiskinan perkotaan dan kemiskinan perdesaan masih relatif tinggi. Inilah mungkin sebuah struktur diskursus atau bahasa, yang bisa digunakan dalam dokumen yan baku.

Oleh karena itu, dari sebagian pandangan para ahli, bahwa kunci pengentasan penduduk miskin adalah pembenahan pembangunan pertanian dengan penyediaan tenaga kerja produktif yang seimbang ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat dan industrialisasi di perdesaan dengan menggunakan teknologi tepat guna serta pembangunan infrastruktur di perdesaan.

Berdasarkan data tersebut menandakan peristiwa perlambatan penurunan jumlah penduduk miskin diantaranya disebabkan oleh lebih sulitnya menurunkan kemiskinan di perdesaan. Kita mengetahui, bahwa hampir dua pertiga penduduk miskin tinggal di perdesaan.

Dalam dua tahun terakhir, persentase penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan secara kuantitatif. Tetapi, bagaimana dengan Ayah, Ibu, dan Anaknya tidak lagi berhubungan dengan mesin kapitalis dan kaum pekerja, kecuali dalam pergulatan untuk memenuhi kebutuhan beras, ikan, daging, telur, susu, gula pasir, dan sebagainya kurang dari satu kali seminggu.

Kita bisa membayangkan satu keluarga mencoba menjanggal perutnya dengan hanya asap mengepul di dapurnya selama dua kali dalam seminggu demi melangsungkan kehidupannya yang tertatih-tatih.

Mereka tidak mengenal apa yang dimaksud dengan efisiensi, hemat atau istilah kencangkan ikat pinggang. Mie instan tidak memberinya perbedaan nafas penduduk miskin di perdesaan yang sama atau paling tidak memiliki kemiripan mengkonsumsi barang, obyek atau ilusi secara instan dari penduduk miskin perkotaan.

Orang-orang yang punya luas bangunan kurang 8 m2 per orang dan kurang atau sama dengan 8 m2 per orang. Di tempat lain atau rumah tetangga punya jenis lantai bangunan rumah berupa tanah, bambu, dan kayu murahan. Masih adakah luas dan jenis lantai rumah seperti itu?

Dari rumah yang sama, jenis dinding rumah berupa bambu, rumbia, kayu kualitas rendah, dan tembok tidak diplester. Ditambah dengan jumlah jenis fasilitas buang air hingg jumlah jenis penerangan lampu rumah tangga berupa listrik dan non listrik.

Berapa banyak rumah tangga dengan jumlah pakaian baru dibeli dalam jangka satu tahun: satu stel pakaian baru dalam setahun dan lebih dari satu stel pakaian. Kemudian, sumber penghasilan kepala rumah tangga: petani, luas lahan 0,5 Ha atau kurang, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, dan buruh perkebunan.

Belum lagi, rumah tangga yang diperhadapkan dengan tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/buta aksara/tidak tamat SD, hanya SD, tamat SMP/sederajat. Semuanya itu mengambarkan sebagian indikator rumah tangga miskin.

Yang kontras, kita bisa melihat di bawah kolong langit. Mereka tidak sepi untuk mengusap dahinya tanpa menggerutu memikirkan nasib hidupnya.

Tentu masih ada indikator kemiskinan yang tidak diperbicangkan. Kita juga tidak habis pikir tentang kemiskinan ekstrem memiliki kerawanan diri pribadi yang tercampakkan atau mengalami alienasi mental dan alienasi sosial.

Kita melihat seseorang hanya beralaskan tanah, berpakaian seadanya. Mereka tidak mampu menyendiri yang menempatkan dirinya sebagai mesin yang luas, luasnya melebihi bumi. Pada aspek kehidupan, saya dan yang lainnya tidak bekerja penuh. Tetapi, saya dan yang lainnya juga menikmati suasana kehidupan bersama anak-anak, cinta, pikiran, fantasi, dan seni.

Wajarlah, setiap orang akan merasakan ancaman kelenyapan sosial, diantaranya kemiskinan. Setiap orang dapat saja mengatakan pada kita. “Anda akan memilih sisi kehidupan yang lain”. Bagaikan monster yang bangun kesiangan. “Jika kemiskinan akan merenggut kita, kemana lagi kita akan berlari untuk menghindarinya?” Setiap orang tidak pernah bermimpi berada dalam kemiskinan.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pengukuran kemiskinan tidak hanya dilihat dari indikator persentase dan jumlah penduduk miskin Indonesisa, tetapi juga terdapat dua indeks. Pertama, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) mengindikasikan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Kedua, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengindikasikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Kedua indeks tersebut tidak lebih dari metonimi kemiskinan (bagian yang menunjukkan keseluruhan).

Jejak-Jejak

Dari dua indeks yang disebutkan sebelumnya, maka Indeks Keparahan Kemiskinan memiliki keterkaitan dengan indikator ketimpangan, yaitu Gini Ratio.

Pergerakan data empiris yang menunjukkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia dalam pertumbuhan yang belum berarti. Gini ratio melambat. Kesenjangan antara desa dan kota masih ternyata sulit diatasi.

Rasio gini di perdesaan yang sedikit lebih rendah bukan karena ada perbaikan kesejahteraan, tetapi karena semakin menurun pendapatan yang sebelumnya berada di menengah ke atas. Di situlah gejala kemiskinan bersama-sama dibentuk.

Marilah kita kembali bermain dengan gambaran mengenai tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia. Bulan dan tahun sekian diukur dengan Gini Ratio adalah sebesar blablabla. Angka mengalami penurunan sekian poin, jika dibandingkan dengan Gini Ratio bulan dan tahun sekian sebesar blablabla dan menurun sekian poin. Dibandingkan dengan Gini Ratio bulan dan tahun sekian sebesar blabalabla (BPS, tahun sekian).

Nilai Gini Ratio berada diantara 0 dan 1. Sudah bukan rahasia umum, bahwa semakin tinggi nilai Gini Ratio berarti semakin tinggi ketimpangan. Indeks Gini yang berada di bawah 0,4 dikategorikan sebagai ‘ketimpangan baik’, 0-4 sampai 0,5 ‘ketimpangan sedang’ dan di atas 0,5 ‘ketimpangan buruk’.

Coba kita bayangkan! Bagaimana kalau angka kemiskinan menurun, Gini Ratio menanjak?

Dalam struktur ruang wilayah, Gini Ratio perkotaan pada bulan dan tahun sekian tercatat sekian angka, naik dibanding Gini Ratio bulan dan tahun sekian sebesar blablabla dan turun dibanding Gini Ratio bulan yang berbeda dan tahun yang sama sebesar blablabla.

Gini Ratio di wilayah perdesaan pada bulan dan tahun sekian sebesar blablabla, turun dibanding Gini Ratio bulan dan tahun sebelumnya sebesar sekian. Gini Ratio bulan sebelumnya dan tahun yang sama sebesar sekian. Pengukuran ketimpangan yang dilakukan oleh Bank Dunia maupun BPS berdasarkan pengeluaran atau konsumsi, bukan kekayaan atau pendapatan.

Sudah tentu, perhitungan berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan jauh lebih rendah dibandingkan berdasarkan ukuran ketimpangan pendapatan (income inequality) atau ketimpangan kekayaan (wealth inequality). Kita melihat pergerakan angka-angka berdasarkan pengukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok sekian persen dan terbawah adalah sebesar sekian persen.

Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada bulan dan tahun selanjunta berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Apabila dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar sekian persen berarti pada kategori ‘ketimpangan sedang’. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 20,59 persen, yang berarti tergolong dalam kategori ‘ketimpangan rendah’.

Sebagaimana Faisal Basri (2019) yang mengutip data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, dimana satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada tahun 2017. Posisi Indonesia tahun 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India.

Namun demikian, benarkah tingkat ketimpangan pendapatan begitu rendah? Berbeda dengan persepsi masyarakat awam terhadap data yang ada. Selain itu, pengamatan sekilas terhadap kondisi jalanan di ibu kota Jakarta menimbulkan keraguan menyangkut keakuratan data.

Ibu kota Jakarta dipenuhi dengan pusat-pusat perbelanjaan kelas atas atau perumahan yang sangat mewah dari kalangan jet set. Tidaklah aneh, dimana kita akan melihat di mana-mana mobil-mobil mewah, seperti Jaguar dan Mercedes berseliweran dan berjejer bersebelahan dengan bus-bus metro mini yang sudah usang.

Dalam kondisi tidak layak sesungguhnya merupakan sarana angkutan umum utama di Jakarta, dibanding dengan daerah-daerah tertinggal dan terisolir. Ada kemungkinan penjelasan mengenai perbedaan nampak antara angka statistik pemerintah dan pengamatan yang dilakukan secara sederhana adalah karena survei rumah tangga Susenas tidaklah cukup menggambarkan tingkat pengeluaran penduduk kaya.

Fenomena Indonesia mengalami ketimpangan kesejahteraan yang masih sulit dikurangi, karena pertumbuhan ekonomi tidak cukup pesat. Struktur ekonomi Indonesia yang masih dalam tahap awal masuk ke ambang negara yang berpendapatan menengah dengan apa yang disebut fenomena middle income trap membuat pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar 5 persen tidak semestinya dibanggakan karena tingkat pertumbuhan sebesar itu belum cukup untuk mendorong perbaikan kesejahteraan.

Supaya menyerap seluruh tenaga kerja baru setiap tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia setidak-tidaknya 7 (tujuh) persen (dalam kondisi tanpa krisis atau resesi ekonomi). Bisa dikatakan, bahwa ada kesalahan kebijakan struktural berlangsung sejak lama membuat ekonomi Indonesia mengalami deindustrialisasi atau hilirisasi industri.

Ekspor Indonesia relatif masih bergantung pada beberapa komoditas, kalau tidak boleh dikatakan hanya dua: sawit dan batu bara. Kita ditunjukkan pada alur distribusi nilai tambah di kedua sektor itu masih terpusat pada pemilik modal dengan daya ungkit yang kecil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai akibat kekeliruan kebijakan struktural terjadi karena tidak ada konsistensi kebijakan yang baik dan benar dalam jangka panjang. Harus diakui, kebijakan restrukturisasi ekonomi yang baik dan perlu efeknya baru terasa pada jangka panjang.

Sang Pelahap?

Apa yang terjadi di Indonesia? Sebelum efek krisis alias resesi memengaruhi kehidupan masyarakat, telah ada pergantian kebijakan karena perubahan pemerintahan maupun karena tekanan kelompok-kelompok kepentingan. 

Apakah itu kepentingan politik dan ideologis maupun kepentingan ekonomi kroni tertentu.

Kita diberitahu melalui pernyataan, dimana kehidupan berbangsa dan bernegara terus didera dengan berbagai ujian berat. Setelah itu, pada saat yang sama peran ekonomi kroni memainkan suatu permainan terutama dalam perekonomian justru semakin besar.

Saya dan mungkin Anda ingat. Dulu, corak ekonomi kroni semakin memusatkan distribusi nilai tambah pada sekelompok kecil orang yang dekat dengan penguasa. Keadaan Indonesia berdasarkan indeks ekonomi kroni seperti yang dibuat The Econimist. Dalam sembilan tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk.

Belajar dari jejak-jejak masa lalu, mengapa tidak? Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Indeks crony capitalism Indonesia berada di urutan ke-7 terburuk di dunia. Lantas, peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 2007 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016.

Kita mengedipkan mata sejenak terhadap praktik bisnis kroni yang memiliki kecenderungan menguat karena akses pengusaha kakap atau kuasa negara semakin mudah. Berdasarkan analisis media menyebutkan bahkan pengusaha makin banyak yang merangkap menjadi politisi.

Tidak ada lagi batas antara kuasa dan pengusaha nampak lebih memiliki keintiman. Dalam pikiran, fantasi dan mimpi generasi kita terhadap wakil rakyat par excellence di parlemen, ternyata tidak lebih dari kelahiran spesies nomadik ditandai dengan wajah sekawanan pebisnis didalamnya.

Kita perlu merefleksikan apa-apa yang menjadi penelusuran Tempo dan Auriga Nusantara menemukan sedikitnya 262 nama Anggota DPR (2019-2024) berlatar belakang pengusaha yang akan memasuki tahapan pembahasan rancangan undang-undang dinilai oleh masyarakat kritis begitu kontroversial.

Mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris hingga menduduki kursi direksi di lebih dari seribu perusahaan. Hasrat pengusaha untuk berbisnis mencakup sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif. Hasrat itulah yang bernama oligarki menjadi suatu genre pemikiran nomadik yang berkembang dan menyebar ke seluruh Fraksi di parlemen.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor mengatakan oligarki politik yang menguat di Indonesia bersumber pada dua hal.

Pertama, ketimpangan ekonomi dengan 0,0000000002 persen masyarakat menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.

Kedua, lanjutnya lagi,  “..... adanya warisan Orde Baru dalam sistem ekonomi politik. Aktor politik, bisnis, dan birokrasi berkoalisi untuk menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat.”

Relasi antara kuasa negara dan pemilik modal besar akan bermetamorfosis menjadi suatu lingkaran oligarki yang perkasa, yang pada akhirnya membajak demokrasi. Sehingga kemiskinan dan ketimpangan tidak lebih dari langkah “bunuh diri” dibentuk oleh diskursus yang memikat dan menantang terutama dari kaum intelektual. Siapa sang pelahap itu? Oligarki.

Belakangan, saya heran. Lima ratus trilyun rupiah yang digelontorkan oleh pemerintah, 2022, dampaknya hanya 0,6 persen penurunan angka kemiskinan. Pada lari kemana duit segunung itu, tanyaku membatin.

Tidak heran juga, ratusan trilyunan pronangkis ludes di kegiatan seminar, perjalanan dinas, biaya operasional, dan sebangsanya. Apa tidak ada yang lebih prioritas dan paling mendesak daripada hal-hal yang tidak bisa mengurangi jumlah penduduk miskin.

Sang pelahap dalam jumlah tidak banyak. Tetapi, pengaruh mereka sangat kuat dan luas jangkauannya. JIka kita ingin membayangkan kekuatan mereka. Kita harus melewati tembok-tembok besar, yang menghalangi kita dan rumah tangga miskin untuk menyetarai kekuatan besar mereka.

Saya mencoba mengakhiri permasalahan kemiskinan dengan obrolan biasa yang mirip obrolan di warung kopi. Lingkaran oligarki tidak bisa menyentuh warung kopi karena bukan kelasnya. Kecuali, kebutuhan dasar warga, terutama rumah tangga miskin ikut dipengaruhi oleh oligarki. Coba bayangkan, seandainya semua kebijakan pemihakan pada orang-orang miskin di Indonesia "dibeli" oleh oligarki. Apa yang terjadi? Dari sini kita, saya termangu dengan keadaan rumah tangga miskin.

Momen Oktober 2022, saya bersama kawan-kawan setim dari dua tim melakukan kegiatan monitoring program penanggulangan kemiskinan (pronangkis) di sekian desa dan kelurahan yang peringkat kemiskinan tinggi. Pertama-tama obyek kegiatan monitoring diarahkan ke rumah tangga miskin di kawasan pesisir. Dua rumah tangga miskin. Dari wawancara dengan pertanyaan yang terstruktur ditemukan jawaban polos dari mereka. Sudah berapa lama menerima program tersebut? Baru sekitar enam bulan, jawab mereka.

Padahal ada pronangkis sudah sekian tahun lamanya tidak tersentuh oleh rumah tangga miskin tersebut. Progran keluarga harapan (PKH), misalnya.

Pada rumah tangga miskin yang diwawancarai itu masih layak dan masuk indikator rumah tangga miskin. Bertubi-tubi pertanyaan kami ajukan ke orang tua penerima manfaat pronangkis.

Pokoknya, mereka layak menerima pronangkis lainnya, seperti BLT BBM.

Apakah ada perubahan kondisi kehidupan keluarga semenjak menerima pronangkis? Jawaban orang tua itu ada untuk beli beras dan cukup memenuhi kebutuhan pangan kurang dari sebulan lamanya.

Hasil bincang-bincang lepas dengan pihak pendamping di desa itu menyimpulkan kendala pada tahapan pemutakhiran data. Dia mengatakan jika selama ini terkendala dari tim pendata pronangkis. Seorang pendata ditengarai punya hubungan keluarga. Sehingga pendata itu sulit mengeluarkan sebagai penerima manfaat, sedangkan rumah tangga itu sudah tidak layak menerima pronangkis.

Kendala dan permasalahan tersebut rupanya secara umum dijumpai di tempat lain. Saya sendiri bersama kawan tim monitoring bertanya-tanya dalam hati. Mengapa bisa seperti itu? Mengapa jadinya ribet? Dulunya mereka tergolong rumah tangga miskin, kini sudah hidup layak. Berarti mereka sudah tidak dikategorikan miskin. Terus terang, saya melihat petugas di lapangan terjadi benturan psikologis. Antara ingin melepaskan sebagai penerima manfaat dan mempertahankan sebagai penerima pronangkis karena ada hubungan keluarga.

Kondisi rumah mereka menunjukkan sudah tidak layak lagi sebagai rumah tangga miskin. Kata lain, mereka sudah tidak bisa menjadi penerima manfaat pronangkis lantaran ada peningkatan taraf hidup yang lebih baik.

Tiba di tempat sasaran monitoring lain juga terdapat pemandangan dan kasus yang serupa. Tim monitoring justeru malah menemukan kondisi yang menggelikan.

Dalam satu rumah tangga dapat semua pronangkis. Katakanlah dalam satu rumah tangga terdapat lima hingga enam anggota rumah tangga. Masing-masing dari enam orang tersebut dapat pronangkis. Kawan-kawan tim monitoring cukup kesal dengan kasus seperti itu.

Lalu, muncullah satu kesimpulan. Pantasan jumlah penduduk miskin di daerah kami tidak turun-turun. Ternyata begitu kondisi lapangan, semakin ruwet dan kompleks permasalahannya.

Untuk beberapa kasus di lapangangan, kami temukan gejala lain, dimana lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal datang dari pendata. Mengapa demikian? Semestinya para pendata yang ngeudate secara berkala rumah tangga miskin di masing-masing wilayah kerjanya.

Lain halnya, ketika saya menyampaikan permasalahan kemiskinan daerah di meja rapat koordinasi ada sisi lain yang saya soroti. Satu diantaranya. Selama masih bercokol bantuan dan subsidi untuk rumah tangga miskin, maka selama itu pula tidak akan memecahkan permasalahan kemiskinan. Memang betul, bantuan pronangkis akan mengurangi beban hidup mereka. Tetapi, sifatnya sesaaat alias jangka pendek. Terus, bantuan pronangkis berpotensi menimbulkab konflik karena muncul kecemburuan sosial di antara mereka.

Termasuk di depan tamu sebagai tim monitoring kemiskinan ANU (Universitas Nasional Australia), saya sampaikan permasalahan yang senada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun