Jika ada kekecewaan, cobalah tempuh cara yang lebih dialogis, bukan sedikit-sedikit merusak dan bom yang berbicara. Kitab suci suka berdialog dengan orang-orang yang pikirannya jernih dan berhati lapang. Bukan cara-cara kekerasan dan berwajah bengis.
Diakui, ada memang sebagian kalangan Muslim yang secara apologetis mencari-cari alasan "pembenaran," yang secara tidak sadar ingin mengetahui hingga "membenarkan" secara lahiriah dalam aksi bom bunuh diri dan bentuk aksi pengeboman lainnya.
Saya sependapat, jika umumnya pelaku terorisme "pintar," ahli, dan punya tugas yang berbeda.
Buktinya, Agus Sujatno jago merakit bom, sejenis bom panci. Dia berpengalaman dalam kasus bom. Tidak peduli, baru setahun atau bukan lepas dari penjara dalam kasus bom sebelumnya.
Yang penting dia "meledakkan kedalam diri" (bara egonya), terus "meledakkan keluar" bom bunuh diri di tempat yang telah ditentukan.
Sepintar-pintarnya merakit bom dan tahu siapa targetnya juga senafsu-nafsunya membunuh orang-orang tidak berdosa.
Saya yakin, selama orang-orang "mata kalap" melihat ketidakberesan dalam kehidupan, pemikiran, dan kebijakan, maka hasilnya pun "sekejap mata," karena mengambil "jalan pintas" alias aksi teror bom bunuh. Otomatis, usaha jadi sia-sia, fatal, dan konyol, malahan permasalahan semakin runyam, bahkan tidak ada ujung pangkalnya.
***
Berapa banyak ulama seantero dunia Islam yang memfatwakan penentangan atas terorisme.
Tetapi, mata hati jadi buram dan telinga "budek" dari kaum teroris, maka seruan kedamaian sejagat dan petuah agama tidak digubrisnya. "Merah jadinya, baru disebut udang." Ini ungkapan dari kampoeng. Yang terpenting ada korban atau tumbal aksi teror. Hancur-hancuran dan mayat bergelimpangan itu urusan ketujuh belas.
Sedangkan ulama berfatwa menolak dan mengutuk tindakan para pelaku terorisme yang berlabel Muslim ogah-ogahan, apalagi orang-orang yang tidak punya otoritas dan belum melek 24 karat kajian agama. Saya percaya, jika sudah tuntas dan secara bertahap, orang yang dulunya hanya paham agamanya sepotong-potong dan tersekat-sekat akan kembali pada pentingnya 'makna hidup' dirahi dalam kehidupan beragama.