Mengapa terorisme ingin berlangganan di hari-hari Nataru? Adakah angin surga meninabobobokkan kaum teroris saat momen perayaan hari raya agama?
Anda pak, bu tidak nyenyak tidur semalam gara-gara itu dan ini?
Mengapa dilampiaskan di simbol-simbol kuasa dan keagamaan? Apa Anda kurang kerjaan? Begitulah sederet pertanyaan saya. Pertanyaan sepeleh ya.
Agus Sujatno, sang "kambuhan" mungkin wajahnya bengkok saat mendengar desas-desus atau kabar tentang negeri. Kekesalan yang menggumpal menjadi kenekatan yang mematikan.
Apa yang Anda inginkan, wahai kaum teroris? Apakah cuma bekal baca buku jihad dari guru Anda, lalu imajinasi untuk membunuh manusia tidak berdosa merasuki otak Anda, maka semua permasalahan dianggap sudah selesai?
Ingin disebutkan aksi teror dan terorisme lagi? Mulai peristiwa 9/11, Bom Bali I dan II, Bom Katedral di Makassar, dan sebagainya.
Lantas, semua aksi bom bunuh diri atau terorisme atas nama agama.
Lah, terorisme jualan agama bisa laris. Caranya? Doktrin mati-matian. "Cuci otak" dari orang dewasa hingga anak-anak demi melawan thagut alias produk sang zalim. Berbahaya bagi anti terorisme, tenang-tenang saja bagi kaum teroris.
Dasar Muslim. Dasar jingkrang, jidat hitam! Sekian umpatan-umpatan lainnya yang bernada menyakitkan. Itulah fakta-faktanya.
Saya kira, tunjukkan dong, jika kaum beragama mayoritas menjadi rahmat bagi sekalian alam, di negeri ini. Ada kawan yang suka lucu-lucuan. Nama rahmat dimainkan. Ini gegara "Rahmat" (maaf, kutipan nama orang), jadinya urusan beres atau tidak, bergantung padanya. Soalnya, bukan nama Rahmat. Maklum, karena agama mayoritas, pelaku teror kebanyakan bagus-bagus namanya, bernama Islam lagi.
Sumpah! Bukan namanya, tetapi perilakunya. Sama sekali tidak ada hubungannya antara terorisme dan agama. Terus apa? Salah paham atas teks agama atau khususnya dalil-dalil jihad atau perang (qital). Antara jihad dan perang berbeda 360 derajat. Cobalah tanya ke ustadz atau ulama yang mumpuni? Makanya, cara berpikir yang perlu ditata ulang.