Mengapa dikatakan absurd? Karena, lebih nikmat berbicara anti suap, padahal dia sendiri mencobanya. Saya justeru ngilu mendengar cara melacak jejak-jejak di bawah meja alias suap.
Menurut Jacques Derrida, jika sang Lain adalah sang Lain, dan jika seluruh pidato demi sang Lain, maka tidak ada logos sebagai pengetahuan absolut yang dapat memahami dialog dan lintasan menuju sang Lain. Ketidakpahaman ini membuat logos sebagai jejak-jejak yang ditinggalkan pikiran dari mereka sesungguhnya tidak memberi inspirasi untuk memulai pembicaraan mengenai penciuman yang tidak terlihat menjadi sesuatu yang rasional atau irasional (2001 : 121). Â
Dalam paras, sang Lain tidak secara langsung hadir di balik seseorang sebagai yang lain.Â
Dari ketidaknampakan jejak-jejak menjadi sesuatu yang terbuka bagi subyek dapat dilihat menjadi lebih nyata. Sehingga tidak ada lagi celah untuk menjadikan sang Lain berbicara melalui penciumannya mengenai jejak-jejaknya dan jejak-jejak di bawah meja.
Seseorang hanya berbicara pada sang Lain, yaitu dia memanggilnya secara seruan, yang bukan merupakan kaidah, kategori, perkara ucapan, tetapi lebih dari ledakan dan fluktuasi suara yang menggelora dari diri. Kaidah hingga ucapan tidak dapat berperan untuk sang Lain, agar tidak disepelehkan. Dia perlu menampilkan dirinya sebagai alur yang tidak dapat ditebak untuk membentuk ketidakhadiran dirinya dan ketidakhadiran pikiran, nalar atau kesadaran lainnya tanpa realitas.Â
Dia selalu berada di belakang tanda-tandanya dan suara-suara yang memecah kesunyian melalui hasrat, fantasi, nafsu, dan mimpi menandai bibit-bibit ketidakhadiran pikiran.Â
Dalam rahasianya yang menukik, tidak ada lagi totalitas, kecuali mesin penciuman yang tidak terlihat tanpa tersembuyi di balik benda-benda. Pergerakan rahasia dari ketidakhadiran cahaya untuk menghidupkan dirinya, sedikit demi sedikit kegelapan menampilkan dirinya dengan menyelinap dalam keadaan samar-samarnya pikiran. Â Sebelum menghilang bersama jejak-jejak, penciuman yang tidak terlihat menghadapi titik akhir dari dunia dan manusia itu sendiri.
Rahasia ketidakhadiran cahaya dalam pemikiran membuat sang Lain sebagai satu-satunya makhluk yang mereka ingin bunuh dengan satu ucapan halus tetapi menusuk.Â
Tetapi, suara yang bergelora dalam diri sang Lain segera berbicara pada mereka supaya menangguhkan untuk melakukan pembunuhan padanya. Mereka tidak menentang tanpa harus berhadapan langsung, melainkan berbicara dengan perisitiwa yang justeru terjadi disaat pikiran tertidur lelap. Lebih banyak pergerakan sang Lain (Institusi, Ayah, Filsuf-Intelektual, Kritikus) menjadikan permulaan dari penciuman terhadap subyek aneh, yaitu pikiran picik, akal bulus atau nafsu gelap dari penyelenggara negara, politisi, dan pebisnis hitam. Mereka berbicara pada dirinya sendiri dan menentang dunia setelah dibatasi oleh kekuatan penciuman yang tidak terlihat tanpa tersembunyi.
Karena itu, tidak ada yang luput dari konsep kekuatan, yaitu kekuatan yang datang dari luar pikiran. Mereka perlu merefeleksikan kembali kata sang Lain melalui rentetan penciuman tanpa alat penginderaan. Dari penciuman tanpa bentuk dan warna bukanlah eksistensi secara umum, melainkan eksistensi sang Lain. Ataukah kita memulai kembali dari titik tolak? Sang Lain lebih dahulu mencium dirinya sendiri sebelum subyek lainnya tercium tanpa kehilangan jejak-jejak yang tidak pernah ditinggalkannya dan tidak dibuat untuk ditampilkannya. Kehadiran ruang kosong bagi nafsu gelap untuk mengkorupsi sesuatu menjadi bagian dari jejak-jejak ketidakhadiran pikiran jernih, yang tidak bisa dilacak dengan indera penciuman, melainkan tanda hasrat untuk mengetahui. Jenis hasrat tersebut berbeda dengan hasrat yang tertimpah oleh nafsu gelap di balik suap alias uang pelicin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI