MalamÂ
Kamis, ibunda dari anak-anak tiba-tiba mulai berfirasat aneh. Atau mungkin ada getaran rindu pada anak-anak, terutama anak kami yang kedua, laki-laki, kelas dua SMP. Mumtaz, panggilan anak kami.Memang, sekitar tiga pekan lamanya kami tidak menjenguk ketiga anak kami di pondok pesantren, yang jaraknya lebih 90 km dari rumah kediaman kami.
Paling tidak sekali sebulan kami menjenguk anak-anak.Â
Karena ada kebijakan liburan kurang dua pekan, kami langsung merencanakan untuk menjenguk sekaligus menjemput anak-anak di pondokannya.
Sebelumnya, terbaca di layar grup WhatsApp orang tua. Ternyata, ada sebagian orang tua santri menjemput anaknya di pondok karena sakit. Ibundanya anak-anak membatin. Apakah anakku yang laki-laki tidak sakit?Â
Cukup lama ibundanya anak-anak menunggu kabar lewat ponsel. Ibundanya anak-anak mencoba untuk menghubungi pembinanya. Katanya, nanti hari Jumat bisa menghubungi anak-anak. Ok, saya iyakan.Â
Hari Jumat, anak kami yang laki-laki menelpon (via ponsel). Berlangsung percakapan seadanya. "Sakitka bunda," tuturnya dengan suara agak loyo. Kata bundanya: "Sakit apaki nak?" "Demam naik turun bunda," jawab si anak lelakiku. "Coba pergi minta obat di poliklinik," ujar ibunda. "Jarang terbuka bunda," ketus anak lelakiku. "Ambil madu sama adikmu di pondok puteri," saran mendesak dari ibundanya. Sekedar info, pondok puteri letaknya satu kompleks dengan pondok putera. Cuma dipisahkan oleh tembok antara keduanya.
Terus, ibu Hikmah, wali kelasnya yang memfasilitasi pengambilan madu di tangan adiknya, Nida namanya.
Setelah si anak lelakiku yang sakit ngobrol via ponsel, gilirannya lagi Haya dan Nida, si sulung, si bungsu berceriwis ria dengan ibundanya, juga via ponsel. Syukurlah, kedua anak kami cerah ceria dengan ekspresinya yang berbeda karena lucu dan gemas.
Namun, malam Sabtu, kiriman foto si lelaki anak kami yang sakit dari pembinanya. Air mata ibundanya tidak berbendung, berkucuran lantaran sedih melihat anaknya yang sakit. Lalu, kami pun punya inisiatif untuk bersiap-siap menjemput anak-anak di pondoknya. Mumpun cuaca bersahabat, Sabtu malam kami meluncur ke Kota Makassar.
Intinya, ada gelembung rindu yang terpendam dan limpahan kasih sayang yang tidak terkira dari orang tua pada anak-anak.