Demi ilusi ideologi, mereka rela mati. Ataukah jangan-jangan, hanya saya yang menganggap ilusi?Â
Padahal, mereka masih hidup, sekalipun daging dan tulangnya hancur akibat bom bunuh diri. Tidak bisa dianggap sepeleh terhadap tubuh pembom bunuh diri yang berhambur-hamburan. Super ngeri!
Kita bisa bayangkan, tatkala teroris dan terorisme meneror dunia hingga nyawa melayang. Terorisme, baik perorangan maupun kelompok atau jaringannya terlalu nekat bahkan tergila-gila untuk mengatasnamakan perang suci.Â
Ya ampun! Sedangkan, agama dan institusi atau organisasi sosial keagamaan menyerukan pada kedamaian dan keselamatan umat manusia. Saya pikir, di bangku sekolah, kita pun diajari untuk merahi kebahagian, di dunia dan akhirat. Bukan bermain teror bom, iya kan akhi-ukhti?
Bagaimana dengan MUI? Kita lihat, ia perlu berusaha untuk membebaskan dirinya dari dua bentuk ‘kontaminasi’.Â
Pertama, kontaminasi politik kuasa atau kepentingan sesaat lain. Kedua, kontaminasi kebenaran monolitik atau tunggal dan terpusat dan godaan kepentingan status atau gengsi belaka.Â
Di situlah pula ada kemungkinan akan berlangsung episode demi episode kehidupan, dimana ruang komunikasi ditemukan dalam wujud fatwa MUI. Wujud fatwa itu perlu membuka ruang pemikiran baru, yang ditawarkan pada seseorang atau kelompok berhaluan keras dan berpikiran picik.Â
Kita tahu, dari kaum konservatif dan ekstrem selama ini memahami agama dengan realitas secara sepenggal-penggal. Sedikit-sedikit terjadi teror bom dan bentuk kekerasan lainnya kerap ditujukan pada kelompok yang mengatasnamakan Tuhan saat membunuh.Â
Mereka melihat hanya pada sisi lahiriah teks agama. Mereka masih getol meyakini surga balasannya saat melancarkan aksi teror bom bunuh diri. Pokoknya, di otak mereka hanya berdasarkan satu persfektif.Â
Wadduh! Satu hal, bahwa di luar kelompoknya dianggap serba tidak menyenangkan.Â
Enyahlah terorisme! MUI jayalah di bumi, jayalah di langit!