Ketemporalan fatwa MUI menghadapi alur perjuangan institusional yang ia bentuk sendiri.
Dari fatwa ke fatwa lain memberi kesempatan bagi kaum intoleran dan kenikmatan instan, yang berlangsung sesuai tujuan dan sasaran terencana.
Kematian yang indah datang dari kenikmatan instan melalui serangan bom bunuh diri dan kekerasan lain sebagai jalan menuju kebenaran hakiki.
Fatwa tinggallah fatwa, mungkin karena ucapan dan teksnya yang dimunculkannya sudah hambar, tatkala MUI tidak memiliki kenikmatan instan, kecuali hasrat untuk memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri diantara permasalahan yang dihadapi secara individual dan kolektif dalam kehidupan yang rawan.
Diberi tanda kutip tunggal pada kata 'bebas' untuk menegaskan kedudukan dan peran MUI mengalami perbedaan di 'taraf penanda' kecepatan arus gelombang 'pembaruan pemikiran' di beberapa organisasi Islam.
Meskipun secara perorangan, keanggotaan MUI masih memiliki suatu kecenderungan pada pemikiran yang lebih terbuka dan cukup 'bebas'. Berpikir 'bebas' selalu diidentikkan sebagai bagian dari 'gaya' pembaruan pemikiran.
Memangnya enteng? Dianggapnya kehidupan agama hanya soal percaya atau tidak percaya adalah urusan MUI saja.
Nah, urusan ide, imajinasi, dan mimpi diserahkan kepada para pemikir bebas, yang sudah tentu berbeda dengan sosok teroris dan jaringannya. Saya kira, sudut pandang tidak terhindarkan dan cuma dijamin terjadi perbedaan. Saya juga tidak akan berbicara dari mana sumber dananya.
Bertahun-tahun lamanya, antum bisa menyaksikan suasana sudah berubah, dari hal yang lama ke hal yang baru.
Tetapi, paling repot bagaimana mempertemukan antara ide dan imajinasi, mimpi dan harapan dari terorisme dan institusi keagamaan. Yang jelas, meski kalender tahun berganti, sosok teroris belum berubah. “Toh, ada semacam baby boomer kelompok teroris juga sudah berganti ke generasi berikutnya.
Nyatanya, isi kepala masih sama.” Lalu, mengingat itu semuanya, kita jadi kesal, entah itu aktor lama dan aktor baru tidak jauh beda.