Koalisi partai politik (parpol) yang dipandu oleh hasrat dan ide adalah hal yang lumrah. Jika tidak, ya biasa-biasa saja.
Karena ingar bingar dibicarakan orang, kita sudah tahu semua, bahwa KIB dan Gerindra-PKB muncul dari proses koalisisasi.Sedikit sekali dibumbui dialog imajiner seperti ini. “Mengapa kalian bertiga merasa cukup?” Mengapa kalian berdua bertahan di tengah tarik menarik kepentingan?” PDIP berkata: “Dimana saja kalian berada akan mendapatkan aku.”
Demi kehidupan yang dinamis dan cair, KIB dan Gerindra-PKB masing-masing membuka kemungkinan koalisi bagi parpol lain.
Kehadiran koalisi parpol bukan untuk memiliki, tetapi hasrat untuk kuasa. Selain itu, tidak ambil pusing. Politik kurang dari cara hasrat untuk kuasa akan hambar. Bak sayur tanpa bumbu garam.
Sejak Sokrates (kita menoleh ke zaman baheula, sebelum masehi), parpol memilih bersama dengan yang lain untuk membentuk koalisi didorong bukan secara fisik atau tubuh murni, melainkan kepentingan terselubung dalam bentuk ide, mimpi, kesenangan, hasrat, dan selera. Koalisi parpol berpijak di atas landasan rasionalitas yang mengarah ke setiap kepentingan.
KIB ingin membangun semacam politik persatuan. Justeru rasionalitas itu beserta adu permainan kehidupan politik yang berlangsung didalamnya.
Bertahan atau tidak, pecah kongsi atau tidak dalam koalisi juga merupakan bagian dari rasionalitas, yang kadangkala membingungkan. Koalisi parpol tentu memiliki jangkauan nalar politik tersendiri.
Kata lain, tidak ada kewajiban dari koalisi parpol untuk mempertahankan keberadaannya tanpa akhir. Secara individu mungkin ingin merawat koalisi. Institusi parpol tertuju pada bagaimana merawat kehidupan politik secara individu, apalagi ketika ada usulan dan dukungan pada calon presiden di Pemilu 2024.
Seni mengatur koalisi dalam pemikiran politik sebenarnya sederhana. Bagaimana seni mengatur parpol melalui representasi elite politik atau ketua bersifat rasional. Itulah makanya, ada parpol tidak ingin tergesa-gesa untuk mengambil keputusan tentang pembentukan koalisi. Betapa pun tarikan godaan politiknya, koalisi ada nalarnya.
Kemungkinan-kemungkinan itu bisa terjadi seiring rasionalitas politik. Acapkali titik perkembangan koalisi tidak bisa dijangkau dengan hanya aritmetika politik.
Yang menggagas koalisi tidak memaksakan dirinya untuk menggunakan aritmetika politik dan untuk mengetahui sejauh mana parpol perlahan-lahan ditarik dalam koalisi.