Berbeda sekali dengan sentilan pengamat dan pihak lain terhadap "air mata buaya." Bukan pula buruh 'tagih' air mata atas nasib rakyat kecil di masa pemerintahan sebelumnya.
Mereka yang diingatkan soal air mata atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di masa lalu bukanlah dari ratapan si miskin alias orang yang memegang perutnya karena lapar.
Pihak yang menyentil dan yang disentil soal air mata atau tangisan dari petinggi sama-sama berekspresi untuk menolak kenaikan harga BBM.
Hanya ruang dan waktu yang berbeda menyangkut air mata. Tetapi, sasaran sindiran dan sentilan pada orang yang sama.
Lain halnya, saat aksi unjuk rasa penolakan mahasiswa atas kenaikan harga BBM ditembakkan gas air mata oleh aparat kepolisian.Â
Air mata dalam kehidupan adalah teater kebenaran.
Linangan air mata atau tangisan dan sedih merupakan hal yang nyata dalam kehidupan.
Air mata itu manusiawi sebagaimana kegembiraan. Haru itu nyata sebagaimana bercampur gembira juga ada dalam diri seseorang. "Ah, kenapa saya jadi sedih begini?:
Saya ingat petuah bijak orang tua dulu mengatakan: "Kehidupan bagaikan ombak di laut. Ada saatnya pasang, ada kalanya ombak surut di pantai. Kehidupan seperti kopi. Pahit dan manis melebur dalam kehangatan." Bukan namanya hidup dan kehidupan, jika tidak ada air mata dan gembira, susah dan senang. Tawa dan tangis silih berganti dalam kehidupan. Yes, yes!
Apa memang ada kamus yang peduli atau membela wong cilik? Â Kamus perikehidupan dan perikemanusiaan menyentuh peristiwa pro dan kontra kenaikan BBM.
Siapa juga yang peduli?