Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahkan Berbicara Porno Saking Berapi-Api di Aksi Unjuk Rasa

5 September 2022   19:33 Diperbarui: 8 Oktober 2022   21:07 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari sebelum pemerintah mengumumkan secara resmi mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) (03/09/2022).

Ada penampilan nyentrik dari sosok orator yang menggelikan sekaligus menyebalkan. Sang orator itu berbicara lantang saat menyampaikan tuntutan penolakan atas kenaikan harga BBM.

Kata-kata yang meluncur deras dari sang orator diluar dugaan sebelumnya.

Hari itu, Jumat, aksi unjuk rasa berlangsung di suatu daerah. Suara kritis diselingi dengan ngerocos di hadapan kepala massa mahasiswa yang membludak. Kata-kata dan gambar sosok orator ditampilkan dalam video yang diunggah melalui akun instagram @memomedsos, yang mempertontonkan massa mahasiswa sedang berunjuk rasa.

Mulanya aksi unjuk rasa yang menuntut penolakan atas kenaikan harga BBM tersebut berlangsung cukup aman dan tertib.

Berselang lama kemudian, salah satu dari massa mahasiswa tampil ke depan, yang berperan sebagai orator. Dia mengambil posisi tertentu.

Sang orator itu berdiri di atas kendaraan roda empat, pick up. Lalu, serta merta massa mahasiswa menyambut pekikan semboyan dari sang orator. “Sepakat lawan! Hanya ada satu kata, lawan,” seru sang orator dengan suara meyakinkan di hadapan massa mahasiswa.

Cuma disayangkan, terdapat selipan kata-kata yang terkesan meledak begitu saja, tetapi bernada jorok, yang tidak pantas diucapkan oleh kaum intelek muda. Kaum yang dieluk-elukan masyarakat karena perannya sebagai agen perubahan.

Tanda aura kekerasan yang kalem dibalik masyarakat ilmiah, seperti energi dipancarkan oleh massa mahasiswa bersama ujaran sang orator yang memecah keheningan setelah melontarkan secuil kata yang tidak utuh di ujung kalimat bernada cabul alias porno. Kata-kata porno itu bukanlah dalam bentuk gambar anatomis, tetapi melalui lafaz, secara lisan.

Yang mana dimaksud kata-kata jorok itu, bermuatan porno tanpa bentuk, ketika sang orator mengucapkan satu kalimat yang bisa bikin merah kuping sekaligus terasa geli kedengaran. “Presiden Republik Indonesia kon!” Balasan sorakan dan tepuk tangan pun datang dari massa mahasiswa.

Sang orator berbicara tajam dengan menyelinapkan kata-kata porno di tengah kerumunan.

Satu potongan kata di ujung kalimat tersebut menandakan bahasa porno tanpa persetubuhan dan tanpa kecabulan. Potongan kata itu jika dilengkapi atau disambungkan sebetulnya menjadi organ seks, MR P. Sebuah kata yang tidak utuh dianggap parodi politik.

Kata-kata yang menyebar di ruang publik datang dari politik yang terseksualkan. Politik kuasa memang tidak bisa dipisahkan dengan tanda seks. Politik seks, begitulah kira-kira namanya.

Berkat zaman kebebasan berbicara, ujaran porno yang dianggap jorok dan kotor tidak mampu disensor, termasuk tidak bisa diinterupsi begitu saja di media sosial. Sudah banyak tulisan mengenai hubungan media, kuasa, dan seks.

Ada juga orang memahami peristiwa aksi unjuk rasa atas kenaikan harga BBM dengan kata-kata jorok atau bernuansa porno yang menciptakan ‘kekerasan bahasa’ dan ‘kekerasan pikiran’, terutama melalui ujaran sang orator. Berani bicara, berani juga bertanggungjawab atas ucapannya.

Begitu berkobar-kobar sang orator berbicara di hadapan ratusan orang, tiba-tiba lidah tanpa tulang menjurus pada kata-kata organ seks. Akhirnya, sang orator itu berbicara dengan pilihan kata-kata spontan tanpa disadari justeru menimbulkan konsekuensi hukum.

Kata-kata jorok ditolak, aparat bertindak. Wauw! Bisa diadukan sebagai delik penghinaan terhadap presiden. Ya ampun!

Mungkin sudah atau belum pernah mendengar istilah phalogosentris (Derridian).

Phalogosentris atau lingga kelamin serupa kata-kata tidak utuh yang dimainkan oleh sang orator. Organ seks atau main-main cilukba?

Bukan saja sebelumnya, sekarang saja jika kita melihat dan mendengar pembicaraan orang, malahan seseru gosip emak-emak lebih mengandalkan bahasa lisan atau ujaran. Tetapi, perhatikan jika ada seseorang berbicara sesuatu yang mengarah ke soal seks, sontak saja pada terangsang.

Dari semua kasus aksi unjuk rasa sejak sebelum dan setelah kenaikan harga BBM, hanya ‘ketidaksensoran kata seks’ melalui sang orator yang berbicara porno dengan kata-kata tidak tuntas cukup mendapat sorotan.

Sang orator telah menyentuh fantasi kekerasan bahasa dan kekerasan pikiran. Baginya mungkin tidak jadi soal. Dia tidak bermain dengan seks yang menyimpang, melainkan satu pendekatan etika. Dia membuat makna yang berbeda hingga titik kelenyapan makna dari ucapannya sendiri.

Dia, sang orator memasuki rambu-rambu biru, ruang-ruang hijau yang menggantikan zona merah ujaran bagi politik kuasa. Dia mengikat kekasaran kata-kata lebih dari saluran dan ledakan berbicara.

Ruang biru atau hijau dari kata-kata porno nan jorok tidak pernah dibayangkan oleh sang orator. Kata-kata itu tidak pernah didengar orang sebelumnya, bahkan dekade 70-an hingga 90-an. Sang orator tidak bermaksud untuk mencemooh dengan kata-kata tersebut.

Pesona sang orator redup di hadapan dirinya sendiri. Terdengar kabar, dia mengajukan permintaan maaf atas “kelancangan” keluar dari mulutnya.

Sisa dari adegan itu, sang orator yang piawai memainkan ‘mainan orgastik’ tanpa gambar melampaui organ seks, yang bisa didekatkan dengan bola mata mereka. Sang orator dan massa mahasiswa bisa melihat lebih awas. Memaafkan, tetapi tidak melupakan?

Dalam adegan sang orator tidak melakukan pemotongan visual dari secuil potongan kata-kata yang tidak rampung. Kata-kata yang dianggap jorok atau ucapan porno juga tidak menyimpan definisi tunggal.

Ia bukanlah permasalahan secuil potongan kata-kata yang bertaraf penanda. Ia dianggap sebagai gangguan di mata kuasa negara.

Sekadar saran. Sang orator masih perlu belajar pada sang orator besar dan ulung sekaliber Soekarno. Atau dia juga perlu belajar pada sosok Soe Hok Gie bersama Catatan Seorang Demonstran.

Terima kasih orator atas bicara porno nan joroknya! Apa tidak ada pilihan kata-kata lain, selain yang sang orator ucapkan saat aksi unjuk rasa penolakan atas kenaikan harga BBM? Sekali lagi, ia bukan kata-kata jorok, melainkan ‘berbicara porno’, semacam ‘kekurangajaran kreatif’ (mungkin ini urusan etika). Karena itu, kritisisme dan idealisme dinetralkan oleh kata-kata yang ngehek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun