Aku terus merajuk seperti anak kecil pada Nila agar dia mau memberitahuku tentang keberadaan gadis itu. Lalu, pandanganku mengarah pada pintu utama yang baru saja terbuka, mataku melebar saat tahu siapa yang datang kali ini. Ah itu gadis yang ku tunggu selama tiga setengah tahun ini. Penantianku membuahkan hasil, aku segera beranjak dari kursi dan menghampirinya yang menuju pada kasir, mengabaikan teriakan dari Nila. “Aku merindukanmu Sel,” kataku dan langsung memeluknya erat. Gadis itu tidak langsung membalas pelukanku, ia masih diam.
“Pergi!” katanya tegas, tapi malah seperti orang yang menahan tangis. Aku tidak menggubrisnya, tetap memeluknya erat. Gadis itu meronta ingin dilepas tapi aku melakukan hal yang biasa aku lakukan padanya dulu, membelai rambut panjangnya, “Aku sangat merindukanmu Sel,” bisikku dan tanganku masih setia membelai rambutnya yang lurus itu. Kemudian terdengar isakan tangis dari mulutnya tapi tetap saja gadis itu tidak membalas pelukanku.
“Aku bilang pergi!” katanya lirih, aku menggeleng.
“Maafkan aku,” Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya dengan penuh penyesalan.
“Aku sudah memaafkanmu, sekarang pergilah dan jangan temui aku lagi,” katanya sambil menundukkan kepalanya.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat dagunya, “Lihatlah aku, tatap aku, sebut namaku Sel,” pintaku lirih merasakan sakit hati seperti yang dirasakan Seli.
“Pergi, aku tidak ingin menemuimu,” katanya yang tetap kukuh menyuruhku pergi.
“Maafkan aku Sel, aku tahu aku memang berengsek. Maafkan aku,” pintaku dan tetap menatapnya. Seli balik menatapku dengan tatapan tajam dengan air mata yang terus berjatuhan, “Setelah kamu melakukan hal haram di depanku dalam keadaan mabuk dengan gadis itu, kau masih saja mengejarku? Apa kau tidak tahu sakit yang terus menggorogoti hatiku? Apa kau merasakannya juga? Apa kau juga merasakannya Adam?!” Ia membentakku, dan baru kali ini aku mendengarnya membentakku. Aku diam dan tetap menatapnya sendu, aku menyesal.
“Kenapa kau diam? Apa kau tidak merasakannya? Aku sudah bahagia selama tiga tahun tidak bertemu denganmu, dan kali ini aku bertemu lagi denganmu dan kau dengan mudahnya meminta maaf dan langsung memelukku mengatakan kalau kau merindukanku?!” tanyanya membentak.
“Aku benar-benar menyesal Sel, maafkan aku, maaf Sel, maaf,” aku tidak tahu harus mengatakan apalagi selain menyesal dan meminta maaf.
Dua detik berikutnya, ia memelukku erat meletakkan dagunya pada bahuku dan dengan segera aku membalas pelukannya. Tak lama, gadis itu melepaskan pelukannya.
“Sekarang pergilah, jangan pernah temui aku lagi, aku sudah bahagia tanpamu,” katanya.
“Aku mencintaimu Sel,” kataku lantang. Lalu, gadis itu tersenyum, “Tapi sudah tidak denganku, cintai aku dalam diammu saja,” katanya dan pergi.
“Apa tidak ada kesempatan kedua untukku?” tanyaku setengah berteriak. Gadis itu menoleh padaku dan menggeleng, “Tidak ada, karena aku sudah mempunyai kekasih dan itu bukan dirimu.”
Tubuhku lemas, mataku memanas, bingung ingin melakukan hal apa, dan dengan berat hati aku mendorong tubuhku untuk ke luar dari toko kue ini, melupakan ransel dan pesananku di sana. Aku ke luar dari toko, tatapanku kosong ke depan ‘Tidak ada, karena aku sudah mempunyai kekasih dan itu bukan dirimu.’ kalimat yang diucapkan gadis itu membuatku tehenyak ke belakang dan membentur tembok dengan kuatnya. Ini yang aku dapatkan, aku menyesal, menyesal, menyesal, menyesal, dan kata menyesal terus berputar bersamaan dengan ucapan gadis itu. Ini yang aku dapatkan setelah tiga tahun penantianku. Aku mendapatkan maafnya, entah ia benar-benar mengucapkannya dengan tulus atau tidak. Aku bisa memeluknya walaupun dia tidak membalas pelukanku. Aku merutuki kebodohanku, kesalahanku padanya. Entah mau berbuat apalagi, dia mengusirku dan tidak memberiku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku benar-benar menyesal Tuhan, maafkan aku Tuhan.
Aku melakukan hal itu lagi setelah empat tahun menahan agar tidak melakukannya karena gadis itu, gadis yang amat sangat aku cintai yang sudah aku sakiti karena kebodohanku. Aku kembali mengingat kejadian itu dimana saat aku aku berada di dalam night club tanpa sepengetahuan Seli gadisku. Aku meminum banyak alkohol dan aku tidak sadar melakukan hal intim pada gadis lain di dalam clubbing ini. Aku melakukannya, ya tanpa aku ketahui jika Seli sedang mengikutiku dan melihat apa yang aku lakukan pada gadis lain. Seli menatapku dengan tatapan tak percaya, air matanya sudah mengalir lalu ia pergi tanpa berucap mengabaikan teriakanku.
“Argh!” aku mengerang saat ujung pisau sudah membuat goresan luka pada lengan kiri, aku tidak berniat untuk bunuh diri, aku hanya melakukan ini saat aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Aku kembali membuat goresan pada lengan kiri yang masih bersih. Ini alasanku mengapa aku selalu memakai pakaian berlengan panjang agar orang orang tidak tahu tentang luka goresan yang aku buat sendiri kecuali gadis itu, Seli. Lagi-lagi, gadis itu selalu muncul di otakku. ‘Kau jangan melakukan hal ini lagi, ini membahayakan dirimu sendiri. Lihat lukanya semakin membesar, apa kau tidak merasakan sakit saat ujung pisau itu menggores lenganmu?’ kalimat itu kembali terngiang di otakku bersamaan dengan suara teriakan dan gedoran pada pintu kamarku.
“Kau sedang apa di sana? Mengapa kau berteriak? Buka pintumu Adam! Sebelum aku mendobraknya,”
Ah aku kenal suara itu, Nila ternyata dari tadi gadis itu mengikutiku. Aku tetap pada posisi membiarkan Nila terus berteriak mengatakan jika ia akan mendobrak pintu kamarku kalau aku tidak akan membukanya. Aku tak percaya dengan ucapannya mana ada gadis yang kuat mendobrak pintu? Huh. Darah itu bercucuran dan aku senang melihatnya, kalian bisa mengatakan aku gila saat ini. Tapi ini yang aku rasakan selama empat tahun tidak aku rasakan, “Biarkan saja aku mati!” teriakku. Ah, ini balasan untukku, menyakitinya dan sekarang aku merasakannya yang lebih darinya. Laki-laki bodoh yang melakukan hal ini pada gadis pujaannya dan melukai diri sendiri saat aku tidak tahu harus melakukan apa. Maafkan aku Tuhan aku benar-benar menyesal.