Mohon tunggu...
Erman jaya
Erman jaya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyesal

1 Juni 2016   09:46 Diperbarui: 1 Juni 2016   10:02 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengingat kembali ucapan gadis itu yang benar-benar memutuskan untuk meninggalkanku di tengah keramaian. Menyesal? Jangan tanyakan itu lagi apakah aku menyesal atau tidak yang pasti aku sangat menyesal atas kejadian itu yang membuatku kehilangannya. ‘Apa dia bahagia bersama orang lain di sana?’ kalimat itu selalu lewat dalam otakku, entah mengapa aku harus menanyakan seperti itu pada diriku, memangnya aku siapanya? Masih pantaskah aku disebut sebagai kekasihnya? Masih pantas aku bersanding dengannya sekedar mengobrol atau berjalan-jalan sebentar? Ku rasa tidak, aku bukan lagi pemilik hatinya, mendiami hatinya, mengunci rapat ruang hatinya. Aku hanyalah laki-laki bodoh, berengsek yang melakukan hal seperti saat itu pada gadis itu.

Seperti biasa, aku duduk sendirian di dalam toko kue milik ibunya dengan secangkir cappucino hangat. Aku akan ke luar dari toko kue ini saat akan ditutup, dan akan datang setiap hari setelah pulang sekolah menghabiskan sepanjang waktuku di toko kue ini hanya untuk satu tujuan yaitu menunggunya, ya menunggu kehadirannya lagi di sini bertatap muka denganku lagi, berbincang tentang keseharian kita, menceritakan kisah masa lalu, keluarga kita, tingkah laku kita dan semuanya yang menyangkut denganku dan dia akan bercabang sampai salah satu dari kita mulai lelah. Bahkan, aku pernah menghabiskan lima cangkir cappucino hangat dan tiga kue cokelat kesukaanku. Tapi itu dulu, aku akan tertawa saat mengingat kebiasaan yang pernah aku dan dia lakukan saat masih bersama.

Pintu utama toko terbuka, aku segera mengalihkan pandanganku ke arah pintu tapi sama seperti sebelumnya bukan dia yang masuk tapi orang lain yang tidak aku kenal. Aku menghela napas dan mengalihkan pandanganku ke arah luar toko yang dilapisi kaca. Cuaca sedang bersahabat dengan perasaanku saat ini, hujan di luar sana turun dengan derasnya dan tentu saja banyak orang yang memasuki toko kue ini sekedar menghindar hujan atau mengisi perut dan menghangatkan tenggorokan dengan beberapa menu yang disajikan. Yang aku tahu dari dulu sejak aku memasuki toko kue ini adalah, toko ini tidak pernah sepi, selalu ramai pengunjung. Pantas saja gadis sering sibuk dengan membatu ibunya di toko kue ini.

“Kau masih menunggunya?” tanya seorang pelayan yang memang dekat denganku. Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum seperti biasanya tanpa menjawab, toh dia sudah tahu jawabanku. Terdengar helaan napas dari mulutnya lalu kembali berucap, “Dia tidak akan kembali ke sini kecuali dia–”
 “Kecuali apa?” tanyaku memotong ucapan pelayan itu cepat. Tapi pelayan itu malah menggelengkan kepalanya dan menundukkan kepalanya, ia menyembunyikan sesuatu dariku.

“Beritahu padaku La!” desakku. Tapi lagi-lagi, dia menggeleng.
 “Aku sudah berjanji untuk tidak memberitahumu,” katanya dan menatapku sendu. “Pulanglah, tenangkan pikiranmu.”
 Aku menggeleng dan melihat pintu utama terbuka. Tapi, lagi-lagi bukan dia yang datang, “Aku lebih tenang di sini, aku ingin menemuinya aku ingin minta maaf,” ucapku dengan semua perasaan menyesal. Aku menunduk, membendung air mataku agar tidak terjatuh, “Aku tahu dia tidak akan memaafkanku.”

“Dia gadis pemaaf, dia pasti memaafkanmu,”
 “Walaupun dia memaafkanku, dia juga menginginkanku pergi dari kehidupannya,” kataku yang benar-benar menyesal. Sangat. “Cinta tidak harus memiliki kan? Harusnya kau tahu itu. Kalau kalian memang jodoh, Tuhan punya seribu satu cara untuk mempersatukan kalian kembali, Adam.”
 “Penantianmu kali ini sia-sia, dia tidak ingin menemui untuk beberapa tahun selanjutnya sampai ia siap bertemu denganmu.” katanya lagi

Aku merenungi ucapan Nila barusan. Memang, kalau aku dengannya jodoh pasti kita akan dipertemukan. Tapi kalau tidak, apa Tuhan mau mempertemukanku lagi dengannya sekedar meminta maaf dan menjelaskan semuanya? Atau hanya bertemu dengannya tanpa saling tegur sapa? Atau Tuhan mempertemukan ku saat dia sudah mempunyai penggantiku? Atau bahkan tidak mempertemukanku dengannya sama sekali? Ah, sepertinya aku mendapatkan karma yang setimpal dengan perbuatanku dulu padanya. Harusnya aku tidak melakukan hal berengsek itu yang menyakitinya. Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin duduk dalam ayunan waktu yang membawaku padanya lagi, dan tidak melakukan kesalahan yang sama lagi padanya, sebentar saja pun tidak apa-apa, aku hanya ingin memperbaiki semua kesalahan itu. Tapi itu mustahil jika waktu dapat diputar kembali. Aku benar-benar menyesal saat ini. Penyesalan memang ada di akhir. Dan kisah cintaku yang berhenti di tengah jalan karena kesalahanku sendiri. Aku menyesal Tuhan.

Sudah dua tahun penantianku setelah, kejadian di toko kue itu malamnya aku memutuskan untuk pergi dari kota mencari suasana baru. Dan kali ini aku kembali menginjakkan tanah di kota ini bersama dengan semua rasa penyesalan yang masih melekat, usahaku ke luar kota sama saja. Dengan berani, aku kembali pada toko kue itu. Sedikit ada perubahan, pikirku lalu mendorong pintu utama dengan lengan kekarku, mencari kursi yang dulu menjadi kepemilikanku, tidak ada pergi ke mana kursi kepemilikanku itu? Pikirku lagi dan berjalan ke arah kursi pojok arah kanan. Aku menduduki kursiku dan meletakkan tas ranselku pada kursi kosong lainnya, lalu pelayan toko kue itu datang.

“Anda mau pesan apa, Tuan?” tanyanya setelah memberikan buku menu padaku. Tanpa diberi buku menu pun aku masih hapal dengan pesanan kesukaanku.
 “Secangkir cappucino hangat dan kue cokelat caramel,” kataku tanpa membaca buku menu.
 “Baiklah, pesanan anda akan diantar oleh rekanku, permisi,” katanya dan pergi.

Oh itu bukan Nila, pelayan yang sering mengajakku mengobrol saat tidak ada gadis itu. Lima menit kemudian, pesananku datang dengan pelayan yang lain. Yang mengalihkan pandanganku dari ponsel dan menatap pelayan itu, “Kau Nila bukan?” tanyaku. Pelayan itu menatapku dengan menyipitkan matanya.
“Dari mana kau tahu namaku?” tanyanya. “Ku kira yang mengenalku hanya Adam, cowok yang sudah dua tahun tidak berkunjung ke mari,” sambungnya.

Aku tersenyum lebar, “Ternyata kau masih mengingat namaku La,” ucapku dan membuatnya duduk di hadapanku, alis kanannya terangkat dengan ucapanku tadi.
“Benarkah kau Adam? Ah kau semakin tampan,” Gadis ini masih saja suka memuji ketampananku.
“Oh terima kasih atas pujianmu,”
“Aku tidak mengganggu pekerjaanmu?” tanyaku dan dia menggeleng.
Aku memajukan tubuhku mendekati Nila, “Gadis itu belum kembali ke sini juga?” tanyaku pelan.
Tapi Nila malah mengangkat bahunya, dia masih tidak mau memberitahuku ya!

Aku terus merajuk seperti anak kecil pada Nila agar dia mau memberitahuku tentang keberadaan gadis itu. Lalu, pandanganku mengarah pada pintu utama yang baru saja terbuka, mataku melebar saat tahu siapa yang datang kali ini. Ah itu gadis yang ku tunggu selama tiga setengah tahun ini. Penantianku membuahkan hasil, aku segera beranjak dari kursi dan menghampirinya yang menuju pada kasir, mengabaikan teriakan dari Nila. “Aku merindukanmu Sel,” kataku dan langsung memeluknya erat. Gadis itu tidak langsung membalas pelukanku, ia masih diam.

“Pergi!” katanya tegas, tapi malah seperti orang yang menahan tangis. Aku tidak menggubrisnya, tetap memeluknya erat. Gadis itu meronta ingin dilepas tapi aku melakukan hal yang biasa aku lakukan padanya dulu, membelai rambut panjangnya, “Aku sangat merindukanmu Sel,” bisikku dan tanganku masih setia membelai rambutnya yang lurus itu. Kemudian terdengar isakan tangis dari mulutnya tapi tetap saja gadis itu tidak membalas pelukanku.

“Aku bilang pergi!” katanya lirih, aku menggeleng.
“Maafkan aku,” Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya dengan penuh penyesalan.
“Aku sudah memaafkanmu, sekarang pergilah dan jangan temui aku lagi,” katanya sambil menundukkan kepalanya.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat dagunya, “Lihatlah aku, tatap aku, sebut namaku Sel,” pintaku lirih merasakan sakit hati seperti yang dirasakan Seli.

“Pergi, aku tidak ingin menemuimu,” katanya yang tetap kukuh menyuruhku pergi.
“Maafkan aku Sel, aku tahu aku memang berengsek. Maafkan aku,” pintaku dan tetap menatapnya. Seli balik menatapku dengan tatapan tajam dengan air mata yang terus berjatuhan, “Setelah kamu melakukan hal haram di depanku dalam keadaan mabuk dengan gadis itu, kau masih saja mengejarku? Apa kau tidak tahu sakit yang terus menggorogoti hatiku? Apa kau merasakannya juga? Apa kau juga merasakannya Adam?!” Ia membentakku, dan baru kali ini aku mendengarnya membentakku. Aku diam dan tetap menatapnya sendu, aku menyesal.

“Kenapa kau diam? Apa kau tidak merasakannya? Aku sudah bahagia selama tiga tahun tidak bertemu denganmu, dan kali ini aku bertemu lagi denganmu dan kau dengan mudahnya meminta maaf dan langsung memelukku mengatakan kalau kau merindukanku?!” tanyanya membentak.
“Aku benar-benar menyesal Sel, maafkan aku, maaf Sel, maaf,” aku tidak tahu harus mengatakan apalagi selain menyesal dan meminta maaf.

Dua detik berikutnya, ia memelukku erat meletakkan dagunya pada bahuku dan dengan segera aku membalas pelukannya. Tak lama, gadis itu melepaskan pelukannya.
 “Sekarang pergilah, jangan pernah temui aku lagi, aku sudah bahagia tanpamu,” katanya.
 “Aku mencintaimu Sel,” kataku lantang. Lalu, gadis itu tersenyum, “Tapi sudah tidak denganku, cintai aku dalam diammu saja,” katanya dan pergi.
 “Apa tidak ada kesempatan kedua untukku?” tanyaku setengah berteriak. Gadis itu menoleh padaku dan menggeleng, “Tidak ada, karena aku sudah mempunyai kekasih dan itu bukan dirimu.”

Tubuhku lemas, mataku memanas, bingung ingin melakukan hal apa, dan dengan berat hati aku mendorong tubuhku untuk ke luar dari toko kue ini, melupakan ransel dan pesananku di sana. Aku ke luar dari toko, tatapanku kosong ke depan ‘Tidak ada, karena aku sudah mempunyai kekasih dan itu bukan dirimu.’ kalimat yang diucapkan gadis itu membuatku tehenyak ke belakang dan membentur tembok dengan kuatnya. Ini yang aku dapatkan, aku menyesal, menyesal, menyesal, menyesal, dan kata menyesal terus berputar bersamaan dengan ucapan gadis itu. Ini yang aku dapatkan setelah tiga tahun penantianku. Aku mendapatkan maafnya, entah ia benar-benar mengucapkannya dengan tulus atau tidak. Aku bisa memeluknya walaupun dia tidak membalas pelukanku. Aku merutuki kebodohanku, kesalahanku padanya. Entah mau berbuat apalagi, dia mengusirku dan tidak memberiku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku benar-benar menyesal Tuhan, maafkan aku Tuhan.

Aku melakukan hal itu lagi setelah empat tahun menahan agar tidak melakukannya karena gadis itu, gadis yang amat sangat aku cintai yang sudah aku sakiti karena kebodohanku. Aku kembali mengingat kejadian itu dimana saat aku aku berada di dalam night club tanpa sepengetahuan Seli gadisku. Aku meminum banyak alkohol dan aku tidak sadar melakukan hal intim pada gadis lain di dalam clubbing ini. Aku melakukannya, ya tanpa aku ketahui jika Seli sedang mengikutiku dan melihat apa yang aku lakukan pada gadis lain. Seli menatapku dengan tatapan tak percaya, air matanya sudah mengalir lalu ia pergi tanpa berucap mengabaikan teriakanku.

“Argh!” aku mengerang saat ujung pisau sudah membuat goresan luka pada lengan kiri, aku tidak berniat untuk bunuh diri, aku hanya melakukan ini saat aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Aku kembali membuat goresan pada lengan kiri yang masih bersih. Ini alasanku mengapa aku selalu memakai pakaian berlengan panjang agar orang orang tidak tahu tentang luka goresan yang aku buat sendiri kecuali gadis itu, Seli. Lagi-lagi, gadis itu selalu muncul di otakku. ‘Kau jangan melakukan hal ini lagi, ini membahayakan dirimu sendiri. Lihat lukanya semakin membesar, apa kau tidak merasakan sakit saat ujung pisau itu menggores lenganmu?’ kalimat itu kembali terngiang di otakku bersamaan dengan suara teriakan dan gedoran pada pintu kamarku.

“Kau sedang apa di sana? Mengapa kau berteriak? Buka pintumu Adam! Sebelum aku mendobraknya,”

Ah aku kenal suara itu, Nila ternyata dari tadi gadis itu mengikutiku. Aku tetap pada posisi membiarkan Nila terus berteriak mengatakan jika ia akan mendobrak pintu kamarku kalau aku tidak akan membukanya. Aku tak percaya dengan ucapannya mana ada gadis yang kuat mendobrak pintu? Huh. Darah itu bercucuran dan aku senang melihatnya, kalian bisa mengatakan aku gila saat ini. Tapi ini yang aku rasakan selama empat tahun tidak aku rasakan, “Biarkan saja aku mati!” teriakku. Ah, ini balasan untukku, menyakitinya dan sekarang aku merasakannya yang lebih darinya. Laki-laki bodoh yang melakukan hal ini pada gadis pujaannya dan melukai diri sendiri saat aku tidak tahu harus melakukan apa. Maafkan aku Tuhan aku benar-benar menyesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun