Sungguh tragis nasib Malin Kundang. Â Ia tak pernah ingin terlahir ke dunia. Â Namun ketika keinginannya tidak tercapai terkutuklah menjadi batu. Â Malin Kundang hanyalah seorang anak. Â Ketika seorang anak berbuat salah, siapakah yang salah?
Tentu saja, setiap anak yang baik adalah harapan orang tuanya dan orang tua yang penuh kasih sayang adalah dambaan anak-anaknya. Â Sejauh hubungan keduanya harmonis, maka tak akan ada bencana. Â Anak-anak menghormati orang tuanya dan orang tua menyayangi anak-anaknya. Â Â Â
Namun jika terjadi kemelut antara anak dan orang tua, siapakah yang salah? Â Sebagian orang tua beranggapan bahwa mereka telah bersusah payah membesarkan anak-anak mereka. Â Mereka berhak atas seluruh atau sebagian rasa hormat dan kasih sayang anak-anaknya.Â
Sementara anak-anak dapat beranggapan bahwa keberadaannya di dunia adalah karena perbuatan orang tuanya. Â Anak-anak tak pernah berharap lahir ke dunia.
Tentu saja, cerita Malin Kundang adalah cerita orang tua pada anak-anaknya.  Cerita tentang keinginan dan harapan orang tua mengenai  bagaimana seorang anak harus berbuat pada mereka. Â
Orang tua memang pandai membuat cerita.  Tapi pandaikah mereka membuat cerita untuk diri mereka sendiri tentang bagaimana seharusnya mereka memperlakukan seorang anak?  Adakah hikayat tentang nasib buruk orang tua yang menelantarkan anaknya?  Menjadi batu! Kalau ada, itu berarti saya kurang bacaan.  Tapi kalau tidak ada, itu karena  orang tua memang pandai membuat cerita.
Di luar kemelut hubungan antara Malin Kundang dengan orangtuanya, kelahiran Malin Kundang itu bermakna. Â Tidak untuk orangtuanya, tapi untuk jutaan anak yang lahir kemudian. Â Mungkin orang tua sekarang harus berterimakasih pada Malin kundang karena ia rela menjadi manusia antagonis. Â Terkutuk menjadi batu.
Sekarang, apakah kita masih akan menciptakan batu-batu yang terbuat dari manusia? Â Anak-anak membatu karena kemasabodohan kita sebagai orang tua? Sebagai pendidik? Â Tentu tidak! Â Lihatlah wajah mereka, mata mereka, hidung bahkan upil mereka. Â Mereka itu anak-anak. Â Â
Anak-anak akan selalu menyerap pengetahuan dan keterampilan dari lingkungannya.  Sekalipun itu dari binatang.  Banyak kisah-nyata tentang  Feral Child yaitu seorang anak  yang  terpaksa hidup bersama binatang.  Walaupun sebagian kisah itu adalah bohong namun tidak semuanya. Â
Anak-anak ini ada yang hidup bermasyarakat dengan srigala, monyet, anjing, bahkan burung. Â Terisolasi dari kehidupan manusia, mereka meniru prilaku binatang-binatang yang dekatnya. Â Meniru cara makan, cara berjalan, cara berkomunikasi. Cara mereka hidup!Â
Jangan membayangkan anak-anak ini seperti tokoh bernama Mowgli dalam novel fiksi karya Rudyard Kipling: The Jungle Book yang kemudian dibuatkan filmnya oleh Walt Disney Pictures. Â
Mowgli yang ditinggal mati oleh ayahnya, yang sejak bayi dipelihara oleh sekumpulan srigala, Â namun tetap manusiawi. Â Mowgli yang walaupun tidak lagi berinteraksi dengan manusia, namun tetap memiliki kesadaran sebagai anak manusia, lengkap dengan kemampuannya. Â Sehingga ketika harus berkelahi dengan harimau bernama Shere Khan, Mowgli memilih berkelahi dengan menggunakan kemampuannya sebagai manusia bukan sebagai srigala.
Tentu kenyataan sesungguhnya tidak seperti itu. Tidak seperti di film, mereka  Menyedihkan!  Feral Child yang berhasil ditemukan kembali berada dalam ketidakmapuan konitif maupun perilaku.  Salah satu contoh adalah John Ssebunya yang dikenal sebagai anak monyet dari Uganda.  Ssebunya ditemukan pada tahun 1991. Â
Candland, seorang primatologis, menduga bahwa Ssebunya selama ini hidup bersama kumpulan monyet vervet di dalam hutan. Â Saat ditemukan ia tidak dapat berbicara dengan baik. Â Suara yang ia keluarkan lebih mirip suara mesin tik. Â Ssebunya akhirnya mendapat perawatan. Â Kini ia dikenal ornag dengan kemampuan bernyanyi dan atletiknya.
Shamdeo lain ceritanya. Â Ia seorang anak laki-laki yang ditemukan di suatu hutan di India tahun 1972. Â Saat ditemukan, Shamdeo hidup bersama serigala. Â Kulitnya hitam, gigi dan kukunya runcing. Â Dia senang berburu ayam dan menyukai darah. Â Tak pernah berbicara. Â Meninggal 1985.
-()-
Jadi mari!. Jangan biarkan anak-anak tumbuh dan berkembang tanpa sentuhan kasih sayang kita, manusia!! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H