Prostitusi merupakan masalah sosial dan perbuatan yang menyimpang yang sudah terjadi sejak jaman dahulu, bahkan sudah ada sejak jaman kerajaan. Prostitusi dapat dikatakan juga pelacuran yang artinya adalah suatu pekerjaan menyerahkan diri kepada umum dengan melakukan perbuatan-perbuatan seksual untuk mendapatkan upah atau uang. Atau juga dapat didefinisikan prostitusi adalah melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang bukan suami atau istrinya dengan melakukannya di tempat tertentu.Â
Prostitusi dikatakan sebagai masalah sosial karena perbuatannya menyimpang dari nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Dikarenakan masalah sosial adalah hasil dari nilai dan norma dalam masyarakat yang tidak berjalan sebagaimana harusnya dan juga tindakan atau perilaku masyarakat tidak sesuai dengan nilai dan norma. Prostitusi masih dianggap sebuah pekerjaan yang haram, hal tabu, tidak beretika, rendah moral, dan juga bertentangan dengan nilai keagamaan dan kesusilaan.
Prostitusi sudah ada sejak jaman kerajaan, prostitusi dilakukan atas kepentingan tradisi dan kekuasaan raja. Raja yang mempunyai para selir-selir telah memberikan landasan prostitusi bagi era sekarang karena perempuan dinilai masih sama sejak dahulu yaitu diumpamakan sebagai barang yang bisa diperjualbelikan untuk memenuhi nafsu laki-laki, memperlihatkan adanya kekuasaan, dan nilai patriarkis yang kuat. Perempuan masih dianggap sebagai objek dari laki-laki terutama objek seksualitas. Nilai patriarki dan menjadikan perempuan posisi rendah dalam suku Jawa terlihat pada ungkapan konco wingking yang artinya perempuan hanya berperan pada sektor domestik yaitu dapur (masak), sumur (mengurus anak), dan kasur (seksualitas).
Keberadaan prostitusi pun semakin jelas di era sekarang, bahkan lebih terang-terangan. Hampir setiap daerah Indonesia memiliki tempat prostitusi. Tempat prostitusi tersebut biasa dikatakan sebagai lokalisasi. Di Surabaya terkenal dengan lokalisasi Dolly. Bahkan lokalisasi Dolly diyakini sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Lalu, di Jogjakarta terkenal dengan lokalisasi Sarkem, di Solo terkenal dengan lokalisasi RRI, di Kediri terkenal dengan lokalisasi Semampir, dan di Semarang terkenal dengan lokalisasi Sunan Kuning. Namun, tempat prostitusi juga terletak pada tempat-tempat tertentu seperti diskotik, hotel, apartemen, tempat karaoke, dan tempat pijat. Tempat untuk melakukan prostitusi juga tergantung dari golongan para pekerja seks komersil tersebut. Golongan yang paling rendah berada di jalanan atau lorong-lorong. Golongan selanjutnya golongan menengah yaitu yang bekerja di rumah-rumah bordil. Dan golongan tertinggi yaitu biasa disebut gadis panggilan. Mereka hanya bekerja jika ada panggilan dari pelanggan. Pelanggan yang memanggil juga biasanya yang mempunyai status tinggi dan uang banyak.
Di dalam praktek prostitusi terdapat beberapa pelaku atau aktor kegiatan prostitusi yang terdiri dari pekerja seks komersial, mucikari, dan pelanggan yang mayoritas adalah laki-laki berhidung belang. Tidak ada kriteria khusus untuk menjadi pelaku atau aktor dalam praktek prostitusi, hanya berasal dari kemauan diri sendiri. Namun, terdapat beberapa penyalahgunaan seperti umur dari pekerja seks komersial yang masih dibawah umur. Hal tersebut illegal untuk dilakukan dan menjadi salah satu kegiatan perdagangan manusia. Tempat berlangsungnya prostitusi juga tidak ada perizinan dari daerah setempat sehingga bisa menimbulkan keamanan dan kenyamanan lingkungan sekitar.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktor prostitusi untuk melakukan hal tersebut. Dimulai dari pekerja seks komersial yang biasanya adalah perempuan. Mereka melakukan  prostitusi yang utama adalah faktor ekonomi. Mereka didesak dengan keadaan ekonomi yang ada, karena kebutuhan hidup semakin meningkat. Mereka ingin melepaskan diri dari belenggu kemiskinan yang diderita. Faktor mental juga mempengaruhi seperti korban dari broken home, korban dari pelecehan seksual, korban drop out sekolah. Faktor lingkungan juga seperti ajakan dari teman. Dan juga tidak kalah penting yaitu faktor struktural yaitu sulitnya mencari pekerjaan bagi wanita, lowongan pekerjaan untuk wanita yang masih sedikit, kurang perhatian untuk skill yang lebih bagi perempuan, dan juga masih banyak aturan yang mengikat gerak bebas perempuan.
Adapun solusi ataupun program yang sekiranya dapat meminimalisir terjadinya prostitusi yaitu penegasan tindak pidana prostitusi seperti mucikarinya dan pelanggan. Lalu, pemberdayaan perempuan pekerja seks komersial. Tujuan dari penegasan tindak pidana mucikari dan pelanggan agar dapat menimbulkan efek jera. Dikarenakan biasanya tindakan mucikari dan pelanggan selalu bersifat memaksa, membohongi, dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Lalu, kenapa perempuan pekerja seks komersial hanya dilakukan pemberdayaan? Karena pihak pekerja perempuan lebih banyak dirugikan dibandingkan dengan mucikari dan pelanggannya.
Pemerintah sudah mengatur hukum tentang prostitusi dalam hukum pidana yang isinya melarang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, seperti tertera pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 296, pasal 297 KUHP, pasal 506 KUHP juga melarang perdagangan wanita dan anak-anak di bawah umur. Â Demikian pula dalam Rancangan KUHP 2006, Bab XVI mengenai "Tindak Pidana Kesusilaan". Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo. Selain itu, diatur juga dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.Â
Tindakan prostitusi dapat dikategorikan sebagai eksploitasi orang, yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil dalam pasal 1 angka 7 UU No. 21 tahun 2007.Â
Sanksi bagi orang yang melakukan eksploitasi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU 21 tahun 2007 adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Hukum yang mengatur tindak pidana prostitusi sudah mengikat, hanya saja pengimplementasiannya belum dilakukan dengan tegas oleh pihak yang berwenang. Sudah seharusnya implementasi dari hukum tersebut dilaksanain dengan benar agar fungsi dari hukum tersebut berjalan baik. Pelaksanaan yang dilakukan oleh pihak berwenang bisa berupa penertiban dan penutupan tempat-tempat diduga prostitusi dilakukan. Setelah penertiban dan pentutupan, pengecekan rutin secara berkala juga harus dilakukan. Pihak berwenang juga wajib untuk melakukan proses hukum kepada mucikari dan pelanggan yang illegal.
Solusi selain penegasan tindak pidana bagi mucikari dan pelanggan adalah pemberdayaan bagi perempuan pekerja seks komersial. Pemberdayaan yang dilakukan adalah pengecekan kesehatan terlebih dahulu apakah para perempuan pekerja seks komersial mengalami penyakit menular. Lalu, setelah dilakukan pengecekan kesehatan, dilakukan pembelajaran atau sosialisasi tentang penyakit seksual menular yang akan merugikan para perempuan. Tujuannya agar para perempuan pekerja seks komersial lebih memperhatikan kesehatan tubuhnya dibandingkan dengan uang yang mereka dapat dari hasil bekerja secara seksual.
Pemberian akses dan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan bagi perempuan merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan menanggulangi masalah prostitusi yang terjadi. jika lapangan pekerjaan dan ruang untuk bekerja lebih diperluas bagi perempuan, maka perempuan akan mempunyai penghasilan bukan dari hasil kerja secara seksual.
Analisis saya mengenai hal ini adalah masalah prostitusi cukup memprihatinkan. Banyak hal yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Sehingga prostitusi tidak boleh terjadi lagi di kalangan masyarakat. Dampaknya kepada para perempuan juga sangat besar, mulai dari hilangnya harga martabat diri seorang perempuan, dicemooh, penyakit seksual yang mengerikan, dan yang pasti dampak kepada sosial sangat besar. Kehidupan para aktor prostitusi akan berdampak pada kehidupan sosialnya.
Dalam sosiologi, mereka akan dicemooh, dihina, dilabeling kata negatif. Mereka dianggap sebagai pembawa nama buruk bagi kehidupan lingkungannya. Dalam sisi pendidikan, prostitusi sebagai demoralisasi. Dari sisi kewanitaan, prostitusi sebagai kegiatan yang merendahkan harga martabat perempuan. Dari sisi ekonomi, prostitusi disalahgunakan untuk pemerasan tenaga kerja.
Namun, dalam kasus prostitusi tidak boleh melihat dari satu sisi saja seperti selalu menjudge para perempuan pekerja seks komersial. Mereka juga manusia dan makluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Alasan mereka melakukan pekerjaan seperti itu pasti ada alasan di balik itu semua, entah pahit atau apapun itu.
Sumber referensi :
Laksono, Puji & Riska Magfiraini. 2014. Cyber Prostitution: Bergesernya Masalah Sosial Ke dalam Ruang Virtual. Jurnal Analisa Sosiologi Vol. 3 No.1, 52-69.
Pemayun, Cok Istri Anom. 2017. Upaya Pemerintah dalam Memberantas Prostitusi. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/b5fb44f8a0edaa7e9932df550e919d51.pdf
Santoso, Topo. 1996. Masalah Prostitusi. Jurnal Hukum dan Pembangunan No.4, 325-333.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H