"Sedangkan kamu tidak punya keduanya."
Pukul 22.00 WIB, aku memasuki mode transportasi darat Transjakarta. Duduk di sudut dekat jendela, sepi, tidak ramai seperti biasanya.
Mungkin karena sudah larut malam, pekerja sudah tersisa sedikit. Kursi yang biasanya penuh, terisi beberapa saja. Tapi guratan kelelahan memang semakin terlihat dalam tiap tarikan nafas.
Di gemerlap malam, teringat ucapan ibuku. Beliau mungkin tidak berniat bilang begitu. Tapi aku yang terlalu perasa hingga beranggapan serius.
Santapan celaka yang membuatku berhenti berpikir untuk pulang. Aku rindu rumah, tapi pada kondisi berbeda sulit melihat pengharapan besar dalam sosok ibu.
Seorang anak yang tidak sesuai harapan, begitulah mungkin yang aku bisa rasakan. Aku tidak tahu, mengapa ibuku senang sekali berharap.
Berbeda denganku yang menjalani hari tanpa banyak pengharapan. Bahkan besok bila mentari terbit, aku hanya berpikir sebentar lalu beranjak.
Tidak seperti kakakku, aku tidak sehebat dia. Ungkapan yang terdengar bahwa aku tidak punya keduanya.Â
Baca juga:Â Hanya Bisa Bersembunyi
Beberapa kejadian memang jauh dari pengharapan, begitu juga denganku. Aku ingin melaju secepat yang kubisa, namun kenyataan menahannya.
Setiap pulang aku ingin sekali membawa kabar bahagia, tetapi berakhir kecewa. Kekecewaan itu membuatku terhenyak dan tak bisa beranjak.
Bu, aku tidak hebat
Di lain sisi aku tidak berniat dianggap hebat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H