Mohon tunggu...
erlin novita idje djami
erlin novita idje djami Mohon Tunggu... Ilmuwan - peneliti arkeologi

Jayapura, Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gerabah Abar, Peninggalan Budaya yang Masih Dilestarikan hingga Kini

27 Februari 2020   13:28 Diperbarui: 28 Februari 2020   04:31 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu peninggalan budaya di tanah Papua yang hingga kini masih dilestarikan dan diproduksi yaitu dikenal dengan sebutan Gerabah Abar. Sentra industri gerabah ini berada di kawasan Danau Sentani, tepatnya di Kampung Abar, Distrik Ebungfau, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Kampung Abar berada di area pesisir Danau Sentani tengah sisi Selatan. Untuk sampai di lokasi ini bisa menggunakan sarana transportasi air seperti perahu jonson atau speed boat dari Pelabuhan Yahim selama +30 menit. Atau bisa ditempuh melalui jalur darat menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat, dengan menyusuri pesisir Danau Sentani sisi selatan melalui daerah Puai.

Keadaan lingkungan Kampung Abar berupa area tepi danau yang dimanfaatkan penduduk untuk mendirikan beberapa bangunan rumah tinggal, ada juga yang mendirikan rumah sedikit ke arah darat, ditemui sebuah  gereja, sarana listrik, dan pusat kerajinan gerabah di atas bukit. Selain itu terdapat rawa hutan sagu dekat danau dan lahan perkebunan masyarakat lokal.

Dalam sejarahnya, kerajinan gerabah di Kampung Abar dibawa/dimulai oleh marga Felle dari suku Assatouw yang bermigrasi ke kawasan ini. Kerajinan gerabah tersebut diperkenalkan oleh nenek moyang marga Felle yang kemudian berkembang dalam kebersamaan dan persekutuan antarsuku sehingga semua suku di Kampung Abar memroduksi gerabah hingga kini.

Kekhasan yang juga dimiliki Kampung Abar adalah jenis tanah liat yang ada di sana cukup bervariasi yaitu warna merah kecoklatan, kuning, hitam dan  mengandung pasir kwarsa, sehingga untuk membuat  gerabah yang berbahan dasar tanah liat tersebut tidak membutuhkan campuran apapun, langsung bisa diolah.

Kampung Abar, Distrik Ebungfau, Sentani, Kab.Jayapura (dokpri)
Kampung Abar, Distrik Ebungfau, Sentani, Kab.Jayapura (dokpri)

Berkunjung ke Kampung Abar tentunya banyak hal yang dapat dipetik, di samping keramahan tetua adat dan masyarakat setempat juga mengamati secara langsung proses pembuatan gerabah beserta peralatan yang digunakan -- telah memberikan gambaran tentang seluk beluk terciptanya gerabah dan arti penting produk budaya bendawi ini dalam kehidupan masyarakatnya.

Gerabah sebagai salah satu benda hasil kebudayaan manusia sering disebut dengan istilah keramik, porselin, tembikar, atau di kawasan Sentani disebut sempe, yaitu perkakas yang terbuat dari tanah liat yang dibetuk kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang berguna membantu kehidupan.

Dalam Ilmu Kepurbakalaan atau Arkeologi, penggunaan kata gerabah untuk menyebut semua bentuk wadah, nonwadah maupun fragmen-fragmen (kereweng) tanah liat yang dibakar seperti periuk, cawan, tempayan, kendi, bandul jala, piring, anglo, cobek, manik-manik dan lainnya.

Perlu diketahui bahwa di wilayah Papua tradisi membuat gerabah ditemui di beberapa tempat, seperti di Kayu Batu (Jayapura), Abar (Sentani), Mansinam (Manokwari), Saberi (Sarmi), dan Kurudu (Teluk Cenderawasih). Akan tetapi yang masih bertahan/masih berlanjut produksinya dan dilestarikan hingga sekarang hanya berada di Abar, Sentani. Sedangkan yang lainnya sudah punah karena tersaingi peralatan rumah tangga yang terbuat dari bahan plastik maupun logam.

Proses produksi dan peralatan membuat Gerabah Abar

Dilihat dari proses produksinya, gerabah di Kampung Abar hingga saat ini ternyata masih dilakukan melalui teknik konvensional, pembuatan gerabah yang cukup sederhana atau sering dikenal dengan teknik tangan dan penggunaan tatap pelandas, roda putar dan teknik cetak tuang.

Demikian pula dari peralatan yang digunakan untuk pembuatan gerabah Abar, berupa alat-alat yang masih sederhana sebagai warisan dari nenek moyang yaitu: papan persegi (yungmakhe), tatap (yanggalu), batu pelandas (ruka kaliymea), mal ukiran, tugal (yali), pelepah nibung/pinang dan noken.

Proses pembakaran dilakukan setelah gerabah kering, yang sebelumnya telah dijemur kurang lebih selama 2 jam di panas matahari. Sedangkan bahan bakar yang digunakan untuk membakar gerabah adalah alang-alang, jerami, daun sagu, dan daun kelapa sebagai dasarnya. Di atas dasar itulah kemudian dihamparkan bahan bakar kayu hingga merata.

Pembakaran gerabah secara tradisional tidak diatur suhunya, sehingga untuk mengetahui hasil pembakaran hanya dilihat dari warna benda yang dibakar. Pembakaran dianggap sudah sempurna bilamana warna pada bendanya sudah berubah menjadi merah bata. Mengenai lama pembakaran tidak selalu sama waktunya, semuanya sangat bergantung dari jumlah dan besar kecilnya gerabah yang dibakar.

Hasil penggalian informasi termasuk dari warga dan tokoh masyarakat diperoleh keterangan bahwa gerabah di Kampung Abar ini awal mulanya dibuat hanya untuk menyukupi keperluan lokal/warga setempat. Namun mengingat adanya permintaan pasar lantas sebagian gerabah diproduksi dan dijual untuk memenuhi keperluan masyarakat di luar Kampung Abar.

Seiring perkembangannya, ragam dan motif lukisan gerabah ini semakin bervariasi. Gerabah dalam wujud pot, vas bunga, tempat duduk, bermacam souvenir juga diproduksi di Kampung Abar. Gambar di bawah ini merupakan produk gerabah Abar.

vas bunga, souvenir produksi Kampung Abar (dokpri)
vas bunga, souvenir produksi Kampung Abar (dokpri)

Dalam perspektif sosial budaya, dapat dikatakan bahwa bahan, alat dan teknik, serta ragam motif lukisan merupakan suatu kesatuan untuk mencipta sebuah karya seni yang di dalamnya terkandung unsur-unsur keindahan, kepercayaan, kebersamaan, ketaatan, kreativitas dan lain sebagainya seperti yang terdapat pada gerabah  di kampung Abar.

Walaupun pembuatan gerabah di Kampung Abar masih bersifat tradisional, pengerjaan dilakukan dengan tangan dan pembakaran secara terbuka, tanpa pengovenan, dan hasil kerajinan gerabahnya terbilang unik. Meskipun produk gerabah tidak halus dan rapi (tidak seperti keramik/porselin, yang sudah diglasir) namun bernilai seni tinggi karena keunikannya tersebut.

Keberadaan gerabah di Kampung Abar sebagai bukti yang menunjukkan suatu peradaban tinggi pada masa lalu dan memiliki nilai historis bagi masyarakat pendukungnya, serta sekaligus memberi tanggung jawab pada generasi masa kini sebagai pewarisnya untuk terlibat dalam pemanfaatan dan pelestariannya. Karena dengan mengenal/memahami gerabah sebagai peninggalan budaya maka kita dapat belajar untuk lebih arif dan bijak dalam melihat hubungan sosial budaya serta lingkungan sekitarnya.

(erlin novita idje djami).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun