Dilihat dari proses produksinya, gerabah di Kampung Abar hingga saat ini ternyata masih dilakukan melalui teknik konvensional, pembuatan gerabah yang cukup sederhana atau sering dikenal dengan teknik tangan dan penggunaan tatap pelandas, roda putar dan teknik cetak tuang.
Demikian pula dari peralatan yang digunakan untuk pembuatan gerabah Abar, berupa alat-alat yang masih sederhana sebagai warisan dari nenek moyang yaitu: papan persegi (yungmakhe), tatap (yanggalu), batu pelandas (ruka kaliymea), mal ukiran, tugal (yali), pelepah nibung/pinang dan noken.
Proses pembakaran dilakukan setelah gerabah kering, yang sebelumnya telah dijemur kurang lebih selama 2 jam di panas matahari. Sedangkan bahan bakar yang digunakan untuk membakar gerabah adalah alang-alang, jerami, daun sagu, dan daun kelapa sebagai dasarnya. Di atas dasar itulah kemudian dihamparkan bahan bakar kayu hingga merata.
Pembakaran gerabah secara tradisional tidak diatur suhunya, sehingga untuk mengetahui hasil pembakaran hanya dilihat dari warna benda yang dibakar. Pembakaran dianggap sudah sempurna bilamana warna pada bendanya sudah berubah menjadi merah bata. Mengenai lama pembakaran tidak selalu sama waktunya, semuanya sangat bergantung dari jumlah dan besar kecilnya gerabah yang dibakar.
Hasil penggalian informasi termasuk dari warga dan tokoh masyarakat diperoleh keterangan bahwa gerabah di Kampung Abar ini awal mulanya dibuat hanya untuk menyukupi keperluan lokal/warga setempat. Namun mengingat adanya permintaan pasar lantas sebagian gerabah diproduksi dan dijual untuk memenuhi keperluan masyarakat di luar Kampung Abar.
Seiring perkembangannya, ragam dan motif lukisan gerabah ini semakin bervariasi. Gerabah dalam wujud pot, vas bunga, tempat duduk, bermacam souvenir juga diproduksi di Kampung Abar. Gambar di bawah ini merupakan produk gerabah Abar.
Dalam perspektif sosial budaya, dapat dikatakan bahwa bahan, alat dan teknik, serta ragam motif lukisan merupakan suatu kesatuan untuk mencipta sebuah karya seni yang di dalamnya terkandung unsur-unsur keindahan, kepercayaan, kebersamaan, ketaatan, kreativitas dan lain sebagainya seperti yang terdapat pada gerabah  di kampung Abar.
Walaupun pembuatan gerabah di Kampung Abar masih bersifat tradisional, pengerjaan dilakukan dengan tangan dan pembakaran secara terbuka, tanpa pengovenan, dan hasil kerajinan gerabahnya terbilang unik. Meskipun produk gerabah tidak halus dan rapi (tidak seperti keramik/porselin, yang sudah diglasir) namun bernilai seni tinggi karena keunikannya tersebut.
Keberadaan gerabah di Kampung Abar sebagai bukti yang menunjukkan suatu peradaban tinggi pada masa lalu dan memiliki nilai historis bagi masyarakat pendukungnya, serta sekaligus memberi tanggung jawab pada generasi masa kini sebagai pewarisnya untuk terlibat dalam pemanfaatan dan pelestariannya. Karena dengan mengenal/memahami gerabah sebagai peninggalan budaya maka kita dapat belajar untuk lebih arif dan bijak dalam melihat hubungan sosial budaya serta lingkungan sekitarnya.
(erlin novita idje djami).