Belakangan muncul polemik dari masyarakat kita tentang bacaan doa buka puasa "Allahumma laka shumtu ..." apakah bacaan doa tersebut dari hadits shahih ataukah bukan. Karena ada anggapan dari masyarakat awam bahwa apabila suatu amalan doa yang tidak didasarkan pada hadits shahih maka amalan tersebut adalah bid'ah.
Padahal sejak kecil, kita diajarkan baik oleh guru kita di sekolah maupun guru kita saat mengaji di TPQ (Taman Pendidikan Quran) doa berbuka puasa dengan lafadz tersebut. Bahkan ketika hendak berbuka puasa, salah satu stasiun televisi juga menayangkan doa tersebut dengan dibacakan oleh seorang anak. Entah kenapa kemudian setelah Ramadhan belakangan ini tidak ditayangkan kembali doa tersebut?
Baik, disini kami akan sebutkan darimana doa tersebut. Sebagaimana kami temukan dalam kitab Sunan Adu Dawud nomor hadits 2358 dalam Bab Doa Menjelang Berbuka Puasa, redaksi hadits beserta sanadnya sebagai berikut:
حَدًّثَنَا مُسَدَّدٌ, حَدَّثَنَا هُشَيْمٍ, عَنْ حًصَيْنٍ, عَنْ مُعَذً بْنُ زُهْرَةَ, أنَّهُ بَلَّغَهُ أنَّ النَبِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ كَانَ إذَا أفْطَرُ قَالَ : "اللهُمًّ لَكَ صُمْتُ, وَعَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ".
Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Musaddadun, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Hushain, dari Muadz bin Zuhrah, bahwasannya dia telah menyampaikan kepadanya, bahwa Nabi s.a.w. ketika berbuka ia membaca doa, "Allahumma laka shumtu wa ala rizqika afthartu (Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan atas rizqi-Mu aku berbuka)".[1]
Dalam kitab Tahdzibul Kamal, disebutkan bahwa Muadz bin Zuhrah memiliki nama Muadz Abu Zuhrah Adh-Dhobi Thabi'u yang berarti ia seorang tabi'in, generasi yang bertemu dengan para sahabat tetapi tidak pernah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. secara langsung. Artinya, secara sanad dari hadits ini, kita bisa katakan bahwa riwayat ini mursal.
Hanya saja, menurut Ibnu Hajar Asqolani, hadits mursal bisa maqbul (diterima) kalau saja tabi'in tersebut adil walaupun tabi'in tersebut tidak pernah bertemu Rasulullah s.a.w. secara langsung.[2] Menurut Ibnu Hibban, Muadz bin Zuhrah termasuk terpercaya (tsiqat). Artinya secara riwayat apabila kita mengikuti pendapat Ibnu Hajar Asqolani, memungkinkan bisa diterima.
Sebenarnya, ada jalur lain yang kami temukan dalam kitab Mu'jam Al-Ausath karangan ath-Thabarani. Hadits ini redaksinya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ إبْرَاهِيْمِ, ثَنَا إسْمَاعِيْلُ بْنُ عَمْرُوْ الْبَجَلِيُّ, نَا دَاوُدُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ, نَا شُعْبَةُ, عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ, عَنْ أنَسِ بْنُ مَالِكٍ قالَ: كَانَ النَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إذَا أفْطَرَ قَالَ: "بِسْمِ اللهِ, اللهًمَّ لَكَ صُمْتُ, وَ عَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْطُ"
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Amr Al-Bajali, telah menceritakan kepada kami Dawud bin Az-Zibriqani, telah menceritakan kepada kami Syubah, dari Tsabit Al-Bunani, dari Anas bin Malik, ia berkata, "Biasanya Rasulullah s.a.w. ketika berbuka membaca doa "Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rizqi-Mu aku berbuka".[3]
Hanya saja ada yang membuat riwayat ini bermasalah. Hal ini dikarenakan ada dua orang perawi yang di-jarh (dinilai negatif) oleh para ulama hadits. Siapakah mereka itu?
- Dawud bin Az-Zibriqani
Ia memiliki nama asli Dawud bin Az-Zibriqani Ar-Raqasyi atau lebih dikenal juga dengan nama Abu Umar Al-Bashri. Yahya bin Ma'in menyatakan lemah (laisa bi syai'in). Kemudian Ibrahim bin Ya'qub al-Juzjani menyatakan ia pendusta (kadzab). Imam Al-Bukhori menyatakan haditsnya muqorib. Lalu ada lagi, Ya'qub bin Syaibah dan Abu Zur'ah menyatakan matruk. Imam An-Nasai mengatakan ia bukan perawi terpercaya (laisa bi tsiqotin).[4]
- Ismail bin Amr Al-Bajali
Nama aslinya Ismail bin Amr bin Najih Al-Bajali Al-Kuffi Al-Isbahani. Abu Hatim dan Daruquthni menyatakan bahwa ia dhoif (lemah). Al-Azdi mengatakan bahwa hadits yang ia sampaikan adalah munkar. Hal senada juga disampaikan oleh Al-Uqoili bahwa halal untuk tidak menerima hadits yang ia riwayatkan. Ia wafat pada 227 H.[5]
Kalau kita bandingkan kedua riwayat tersebut jelas riwayat hadits yang kedua tidak bisa memperkuat riwayat pertama. Hal ini karena pada riwayat hadits kedua, terdapat perawi yang dinilai bermasalah oleh para ulama. Jelaslah hadits "Allahumma lakashumtu.." ini berstatus dhoif. Sebagaimana juga dikatakan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Dhoif Sunan Abu Dawud No. 510. bahwa hadits tersebut dhoif.
Kenyataannya ulama madzhab fiqih Islam seperti Hambali, Maliki dan Syafi'i menganjurkan untuk membaca doa tersebut walaupun kenyataannya hadits tersebut bermasalah. Berikut adalah pendapat para ulama madzhab yang kami kutip dari kitab-kitab mereka.
- Madzhab Hanabaliyah
Kali ini saya akan kutip pernyataan dari ulama madzhab Hambali yang bernama Al-Buhuti. Dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-Qina', beliau berpendapat bahwa dianjurkan ketika berbuka puasa untuk membaca doa "Allahumma laka shumtu ..." sebagaimana dikatakan oleh beliau:
لما روى ابن مجه من حديث عبد الله بن عمرو "للصائم عند فطره دعوة لا ترد". يسن أن يقول عند فطره ( اللهم لك صمت و على رزقك أفطرت, فتقبل منا إنك أنت السميع العليم"
Artinya: Ketika Ibnu Majjah meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Amr "Bagi orang yang berpuasa menjelang berbuka tidak akan tertolak doanya", maka disunnahkan untuk membaca "Allahumma laka shumtu wa 'ala rizqika afthortu, fataqabbal minna innaka anta sami'ul 'alim" (Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan atas rizqi-Mu aku berbuka, maka terimalah dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).[6]
- Madzhab Malikiyah
Lalu ada juga pendapat dari ulama bermadzab Maliki yang Bernama Imam An-Nafrawi. Beliau menuliskan dalam kitabnya sebagai berikut:
ويقول ندبا عند الفطر : اللهم لك صمت و على رزقك أفطرت فاغفر لي ما قدمت و ما أخرت, أو يقول : اللهم لك صمت و على رزقك أفطرك
Artinya: Dan disunnahkan ketika akan berbuka membaca doa, "Allahumma laka shumtu wa ala rizqika afththartu faghfirli ma qaddamtu wa ma akhartu (Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka, maka ampunilah aku apa yang mendahuluiku dan mengakhiriku) atau berdoa "Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizki-Mu, aku berbuka.[7]
- Madzhab Syafi'iyah
Dalam kitab Syarh al-Muhadzab, Imam an-Nawawi justru memperbolehkan untuk membaca doa "Allahumma laka shumtu ..." sebagaimana diterangkan di dalam kitabnya sebagai berikut:
والمستحب أن يقول عند افطاره : اللهم لك صمت و على رزقك أفطرت لما روى أبو هريرة قال : "كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا صام ثم أفطر قال : اللهم لك صمت و على رزقك أفطرت ..."
Artinya: Dan disunnahkan untuk membaca doa sebelum berbuka, "Allahumma laka shumtu wa ala rizqika afthartu (Ya Allah untuk-Mu berpuasa dan atas rizqi-Mu aku berbuka). Ketika Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata, "Dahulu Rasulullah s.a.w. ketika berpuasa lalu berbuka, beliau membaca doa, 'Allahumma laka shumtu wa ala rizqika afthartu (Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan atas rizqi-Mu aku berbuka).
Dari ketiga pendapat ulama yang sudah saya paparkan, maka jelaslah bahwa ketiga ulama madzhab sepakat untuk menganjurkan membaca doa "Allahumma laka shumtu ..." walaupun pada kenyataannya hadits tersebut dinilai oleh ulama hadits dengan dhoif. Tetapi karena mereka bersepakat menerima riwayat tersebut, walaupun memiliki sanad yang lemah, hadits tersebut bernilai shahih.
Bahkan hal ini pun sesuai dengan kaidah yang dituliskan oleh Imam Jalaludin As-Suyuthi dalam kitabnya Tadribu Rawi sebagai berikut:
يحكم للحديث بالصحة إذا تلقه الناس بالقبول و إن لم يكن له إسناد صحيح
Artinya: Hadits dihukumi dengan shahih jika para ulama menerimanya secara kolektif walaupun sanadnya tidak shahih.[8]
Memang dalam berbagai postingan yang kami temukan, ada doa lain untuk berbuka puasa. Hadits ini dinilai hasan oleh ulama hadits sehingga boleh diamalkan haditsnya karena riwayatnya diterima (maqbul).
Redaksi doanya berasal dari hadits yang tercantum dalam kitab Sunan Abu Dawud sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنُ يَحْيَى, نَا عَلِيْ بْنُ الْحَسَنِ بْنُ وَاقِدٍ, نَا مَرْوَانِ – يَعْنِيْ ابْنُ سَالِمٍ الْمُقَفَّعِ – قَالَ رَأيْتُ ابْنُ عُمْرٍ يَقْبِضُ لِحَيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَتْ عَلَى الْكَفِّ, وَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أفْطَرَ قَالَ : "ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ أبْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ, وَ ثَبَتَ الأجْرُ إنْشَاء اللهَ.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Ali bin al-Hasan bin Waqid, telah menceritakan kepada kami Marwan (yakni Ibnu Salim Al-Muqaffa'), ia berkata, "Aku melihat Ibnu Umar memegang jenggotnya lalu memotong yang bertambah di atas telapak tangan, kemudian ia berkata, 'Rasulullah s.a.w. ketika berbuka, beliau membaca doa, 'Dzahaba adz-dzama'u wabtallatil 'uruq wa tsabata al-ajru insya Allah''' (Telah hilang dahaga, urat-urat telah basah, dan telah diraih pahala, insya Allah).'"[9]
Dari penjelasan di atas maka jelaslah bagi kita untuk tidak mempermasalahkan status doa di atas. Walaupun memang hadits berbuka dengan membaca "Allahumma laka shumtu ..." dinilai dhoif, namun karena ulama lain dari ketiga madzhab menganjurkan untuk membacanya, maka hadits tersebut dinilai shohih sebagaimana sesuai kaidah yang dituliskan oleh Imam Jalaludin As-Suyuthi. Tidak dipersoalkan pula jika kita ingin mengamalkan doa "Dzahaba adz-dzama'u ..." karena riwayat hadits tersebut shahih.
Wallahu a'lam
Sumber
[1] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'ats as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1424 H), hlm. 414.
[2] Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzibul Kamal fi Asma'i Rijal, juz 28, (Beirut: Muasassah ar-Risalah, 1992), hlm. 122-123.
[3] Abu Qosim Sulaiman bin Muhammad Ath-Thabarani, Mu'jam al-Ausath, juz 7, (Kairo: Dar Al-Haramain, 1995), hlm. 298.
[4] Op. Cit., juz 8, hlm. 395.
[5] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, Lisanul Mizan, juz 2, (Beirut: Maktabah Mathbuah al-Islamiyyah), hlm. 155-156.
[6] Manshur bin Yunus bin Idris Al-Buhuti, Kasyf al-Qina' An Matan Al-Iqna', juz 2, (Beirut: 1983), hal. 332.
[7] Ahmad bin Ghanim bin Salim bin Muhanna An-Nafrawi Al-Azhari Al-Maliki, Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalah Ibnu Abi Zaid Al-Qarwani, juz 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1997), hal. 468.
[8] Jalaluddin As-Suyuthi, Tadribu Rawi fi Syarh an-Nawawi, juz 1, (Riyadh: Maktabah Al-Kautsar, 1415 H), hal. 66.
[9] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'ats as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1424 H), hlm. 414.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H