Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi

Malam Pertama Ramadhan adalah Rahmat

31 Maret 2022   20:45 Diperbarui: 2 April 2022   07:34 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Ketika hari pertama bulan Ramadhan tiba, kita selalu disuguhkan fakta bahwa banyak sekali orang-orang berbondong-bondong shalat jama'ah tarawih hingga pelataran masjid penuh sesak. Bahkan hingga meluber ke jalan.

Anehnya hal ini tidak hanya terjadi di satu tempat saja. Menurut pengalaman saya, baik ketika saya bertugas di Semarang, Pemalang maupun Brebes, hampir semua masjid ketika hari pertama bulan Ramadhan selalu penuh sesak. Bahkan terkadang di beberapa tempat hingga menutup jalan.

Hanya saja, suasana penuh tersebut hanya terjadi pada minggu pertama saja pada bulan Ramadhan. Mulai minggu kedua, biasanya sudah mulai ada penurunan jama'ah. Apalagi memasuki minggu terakhir. Bahkan ada yang menyisakan satu shaf saja. Inilah sebuah ironi.

Banyak masyarakat kita cenderung mengutamakan ibadah yang sunnah daripada yang wajib. Kita sering jumpai ketika bulan puasa, masjid seringkali penuh karena tarawih. Namun ketika selesai bulan ramadhan, jama'ah yang melaksanakan shalat wajib sedikit. Bahkan ada juga di sebagian tempat seorang muadzin memborong sekaligus jadi imam sholat sendirian.

Rasulullah s.a.w. dalam suatu hadits pernah melarang sahabat untuk duduk di jalan. Hadits ini berasal dari sahabat bernama Abu Said al-Khudri sebagai berikut:

حَدَّثَنَا سُوَيْدٌ بْنُ سَعِيْدٍ حَدَّثَنِيْ حَفْصٌ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنُ أسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنُ يَسَارِ عَنْ أبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إيَّكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِيْ الطُّرُقَاتِ قَالُوْا : يَا رَسُوْلُ اللهِ مَا لَنَا بُدَّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإذَا أبَيْتُمْ إلاَّ الْمَجْلِسَ فَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا : وَ مَا حَقُّهُ ؟ قَالَ : غَضُّ الْبَصَرِ, وَ كَفُّ الْأذَى, وَرَدَّ السَّلَامِ, وَ الْأمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ, وَ النَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَارِ.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Said, telah menceritakan kepada saya Hafshun bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam dari Atha' bin Yasar dari Abu Sa'id al-Khudri dari Nabi s.a.w. bersabda, "Hindarilah dari kalian duduk di jalan." Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah s.a.w., bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk disitu berbicara mengenai hal yang perlu?" Rasulullah s.a.w. menjawab, "Jika kalian perlu untuk duduk disitu, maka berikanlah hak jalanan." Mereka bertanya, "Apa haknya wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Tundukkanlah pandangan, jangan mengganggu (orang yang lewat), menjawab salam (orang yang lewat), menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."[1] 

Hadits ini tidak hanya berlaku secara khusus pada saat Nabi s.a.w. melarang sahabat ketika itu untuk di jalan. Tetapi berlaku juga bagi siapapun yang duduk di jalan sehingga menganggu orang lain untuk lewat. Tentu saja shalat tarawih yang dilaksanakan hingga meluber ke jalan hingga mengganggu orang lain yang punya kepentingan berbeda, melanggar sunnah nabi.

Lucunya, ada orang yang mendasarkan hal itu pada hadits yang sebenarnya riwayatnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan masyarakat kita mudah percaya dan mengamalkan bila ada seorang da'i atau ustadz yang belum tentu da'i atau ustadz tersebut memahami ilmu hadits.

Hadits tentang Ramadhan itu lafadznya ialah:

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ, وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ, وَآخِرُهُ عِتْقُ مِنْ النَّارِ

Artinya: Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah pengampunan, dan akhirnya dibebaskan dari neraka.

Hadits ini terdapat dalam kitab adh-Dhuafa karya al-Uqoili, karya Ibnu Adi, Khotib al-Baghdadi, ad-Dailami dalam Musnad ad-Dailami, dan kitab karya Ibnu Asakir. Menurut Syekh Nashiruddin Albani, hadits ini termasuk munkar.[2] Hadits munkar adalah hadits yang tergolong dhoif dibawah hadits matruk dan maudhu', dimana hadits maudhu' levelnya sudah sangat parah.

Syekh Mahmud ath-Thahan menjelaskan bahwa hadits munkar memiliki banyak definisi. Namun yang masyhur ada dua definisi, yakni:

  1. Hadits yang didalamnya terdapat kecacatan yang dilakukan oleh seorang rawi dimana kecacatannya itu sudah termasuk parah yakni banyak lupa dan menampakkan kefasikannya;
  2. Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dhoif yang bertentangan dengan perawi lain yang lebih tsiqah.[3] 

Kalau kita telusuri jalur sanad hadits di atas, maka jalur sanadnya adalah dari Sallam bin Sawar -- Maslamah bin Shalt -- az-Zuhri -- Abu Salamah -- Abu Hurairah r.a. Menurut Nashiruddin Albani, sumber kecacatan hadits ini lantaran dalam sanadnya terdapat perawi bermasalah bernama Sallam bin Sawar dan Maslamah bin Shalt.

Sallam bin Sawar

Sallam bin Sawar nama aslinya ialah Sallam bin Sulaiman bin Sawwar ats-Tsaqafi. Beliau berasal dari Khurasan. Namun ia tinggal di Damaskus hingga wafat disana. Ia meriwayatkan hadits dari banyak rawi termasuk Abu Atikah dan Maslamah bin Shalt. Artinya ada pertemuan antara Sallam bin Sawar dengan Maslamah bin Shalt.

Ibnu Abi Hatim menyatakan bahwa Sallam bin Sawwar haditsnya tidak kuat. Ibnu Adi mengatakan bahwa haditsnya munkar.[4] Imam adz-Dzahabi menyatakan bahwa lafadz hadits tersebut tidak berasal dari az-Zuhri.[5] Artinya, disini Sallam bin Sawar bukan termasuh perawi tsiqah. Ia wafat pada 210 H.[6] 

Maslamah bin Shalt

Maslamah bin Shalt memiliki nama asli Maslamah bin ash-Shalt asy-Syaibani. Menurut Ibnu Abi Hatim, Maslamah bin Shalt haditsnya matruk.[7] Dengan penilaian seperti ini, maka jelas perawi ini termasuk bermasalah dan bisa mempengaruhi kualitas suatu hadits.

Dalam ilmu hadits, apabila ada seorang perawi yang haditsnya termasuk kategori matruk, maka bisa dikatakan rawi tersebut tertuduh berdusta. Hal ini karena dalam perilaku sehari-harinya, perawi tersebut merupakan pendusta. Hadits matruk termasuk dalam kategori hadits dhoif parah yang tidak bisa menjadi sandaran dalil agama maupun untuk beramal.

Kedudukan hadits matruk setingkat diatas munkar dalam tingkat hadits dhoif parah. Tentu yang paling parah dhoifnya adalah hadits maudhu'. Apabila ada hadits yang dihukumi dhoif tidak boleh disebarkan kecuali bila dijelaskan sebab dhoifnya.

Setelah kita mengetahui kualitas hadits di atas, baik dalam ceramah ataupun dalam sebuah forum kajian hadits tidak boleh menyebarkan hadits di atas kecuali bila dijelaskan sumber kecacatan hadits di atas. Hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil dalam beramal pada bulan puasa. Wallahu a'lam.  

Catatan Kaki

  1. Abu Al-Husain Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), hlm. 1018.
  2. Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dhoifah al-Maudhuah, jilid 4, cet. ke-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 2002), hlm. 70-71.
  3. Mahmud ath-Thahan, Taisir Mustholah al-Hadits, cet. ke-12, (Riyadh: Maktabah al-Maarif, 2010), hlm. 119.
  4. Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma'i Rijal, juz 12, (Beirut: Muasassah ar-Risalah, 1992), hal. 286-287.
  5. Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, Lisan al-Mizan, juz 4, (Beirut: Maktabah Mathbuah al-Islamiyyah), hlm. 99.
  6. Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Op. Cit., 287.
  7. Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim, Kitab al-Jarh wa Ta'dil, cet. ke-1, juz 8, (Beirut: Dar al-Kutub Islamiyyah), hlm. 269.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun