Syekh Mahmud ath-Thahan menjelaskan bahwa hadits munkar memiliki banyak definisi. Namun yang masyhur ada dua definisi, yakni:
- Hadits yang didalamnya terdapat kecacatan yang dilakukan oleh seorang rawi dimana kecacatannya itu sudah termasuk parah yakni banyak lupa dan menampakkan kefasikannya;
- Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dhoif yang bertentangan dengan perawi lain yang lebih tsiqah.[3]Â
Kalau kita telusuri jalur sanad hadits di atas, maka jalur sanadnya adalah dari Sallam bin Sawar -- Maslamah bin Shalt -- az-Zuhri -- Abu Salamah -- Abu Hurairah r.a. Menurut Nashiruddin Albani, sumber kecacatan hadits ini lantaran dalam sanadnya terdapat perawi bermasalah bernama Sallam bin Sawar dan Maslamah bin Shalt.
Sallam bin Sawar
Sallam bin Sawar nama aslinya ialah Sallam bin Sulaiman bin Sawwar ats-Tsaqafi. Beliau berasal dari Khurasan. Namun ia tinggal di Damaskus hingga wafat disana. Ia meriwayatkan hadits dari banyak rawi termasuk Abu Atikah dan Maslamah bin Shalt. Artinya ada pertemuan antara Sallam bin Sawar dengan Maslamah bin Shalt.
Ibnu Abi Hatim menyatakan bahwa Sallam bin Sawwar haditsnya tidak kuat. Ibnu Adi mengatakan bahwa haditsnya munkar.[4] Imam adz-Dzahabi menyatakan bahwa lafadz hadits tersebut tidak berasal dari az-Zuhri.[5] Artinya, disini Sallam bin Sawar bukan termasuh perawi tsiqah. Ia wafat pada 210 H.[6]Â
Maslamah bin Shalt
Maslamah bin Shalt memiliki nama asli Maslamah bin ash-Shalt asy-Syaibani. Menurut Ibnu Abi Hatim, Maslamah bin Shalt haditsnya matruk.[7] Dengan penilaian seperti ini, maka jelas perawi ini termasuk bermasalah dan bisa mempengaruhi kualitas suatu hadits.
Dalam ilmu hadits, apabila ada seorang perawi yang haditsnya termasuk kategori matruk, maka bisa dikatakan rawi tersebut tertuduh berdusta. Hal ini karena dalam perilaku sehari-harinya, perawi tersebut merupakan pendusta. Hadits matruk termasuk dalam kategori hadits dhoif parah yang tidak bisa menjadi sandaran dalil agama maupun untuk beramal.
Kedudukan hadits matruk setingkat diatas munkar dalam tingkat hadits dhoif parah. Tentu yang paling parah dhoifnya adalah hadits maudhu'. Apabila ada hadits yang dihukumi dhoif tidak boleh disebarkan kecuali bila dijelaskan sebab dhoifnya.
Setelah kita mengetahui kualitas hadits di atas, baik dalam ceramah ataupun dalam sebuah forum kajian hadits tidak boleh menyebarkan hadits di atas kecuali bila dijelaskan sumber kecacatan hadits di atas. Hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil dalam beramal pada bulan puasa. Wallahu a'lam. Â
Catatan Kaki
- Abu Al-Husain Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), hlm. 1018.
- Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dhoifah al-Maudhuah, jilid 4, cet. ke-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 2002), hlm. 70-71.
- Mahmud ath-Thahan, Taisir Mustholah al-Hadits, cet. ke-12, (Riyadh: Maktabah al-Maarif, 2010), hlm. 119.
- Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma'i Rijal, juz 12, (Beirut: Muasassah ar-Risalah, 1992), hal. 286-287.
- Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, Lisan al-Mizan, juz 4, (Beirut: Maktabah Mathbuah al-Islamiyyah), hlm. 99.
- Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Op. Cit., 287.
- Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim, Kitab al-Jarh wa Ta'dil, cet. ke-1, juz 8, (Beirut: Dar al-Kutub Islamiyyah), hlm. 269.