Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

19 Januari 2022   22:34 Diperbarui: 19 Januari 2022   22:41 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Persoalan mengenai jumlah bilangan rakaat shalat tarawih selalu menjadi polemik di masyarakat kita. Bahkan ada orang yang membagi bilangan shalat tarawih menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang tarawihnya delapan rakaat maka ia "dianggap" ikut Muhammadiyyah, sedangkan kelompok kedua yang shalat tarawih nya dua puluh rakaat ia "dianggap" ikut NU (Nahdlatul Ulama). Lalu manakah yang benar? Bagaimana praktik shalat tarawih sesuai dengan hadits-hadits nabi?

Kalau kita lihat dalam kamus bahasa Arab, kata tarawih merupakan bentuk jamak dari tarwihah yang berarti mengistirahatkan[1]. Sedangkan secara istilah, shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dikerjakan khusus di bulan Ramadhan di malam hari[2] 

Memang kalau kita lihat dalam sejarah, shalat tarawih tidak pernah disebutkan istilahnya pada saat Nabi s.a.w. masih hidup. Pada masa beliau hidup, lebih dikenal dengan nama Qiyam Ramadhan. 

Di masyarakat kita perbedaan bilangan rakaat tarawih antara delapan dan dua puluh rakaat didasarkan dari dua riwayat, yakni riwayat dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah.

Hadits shalat tarawih dua puluh rakaat yang berasal dari riwayat Ibnu Abbas kita temukan dalam kitab Mu'jam al-Kabir karangan Imam at-Thabrani di nomor hadits 12.102 sebagai berikut: 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ جَعْفَرٍ الرَّزِيٌّ ثَنَا عَلِيٌّ بْنُ الْجَعَدٌ ثَنَا أبُوْ شَيْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مَقْسَمٍ عَنْ إبن عَبَّاسٍ قَالَ كان النَّبِيُّ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى في رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَ الْوِتْرَ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far ar-Rozi, telah menceritakan kepada kami Ali bin al-Ja'ad, telah menceritakan kepada kami Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman, dari al-Hakam, dari Maqsam, dari Ibnu Abbas berkata, "Nabi s.a.w. shalat di bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir".[3]   

Hanya saja, hadits ini dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami lemah sekali. Hal ini lantaran dalam sanad hadits ini, terdapat seorang rawi bermasalah bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Beliau bernama kunyah Abu Syaibah al-Absiyyu al-Kuffi. Para ulama hadits banyak memberikan komentar negatif mengenai perawi ini atau dengan kata lain men-jarhnya. 

Imam Ahmad menilainya dengan sebutan dhoif. Imam Bukhori tidak mau memberikan komentar terhadapnya. Imam an-Nasa'i mengatakan haditsnya matruk. Bahkan Syu'bah mengatakan ia pendusta.[4] Artinya jelas hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bila kita ingin menyandarkan dalil shalat tarawih dua puluh rakaat menggunakan dalil hadits ini. 

Mengenai shalat tarawih delapan rakaat, ada hadits berasal dari sahabat Ubay bin Kaab r.a. yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih Ibnu Hibban di nomor hadits 2539 sebagai berikut: 

أخْبَرَنَا أبُوْ يَعْلَى, قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الأعْلَى بْنُ حِمَادٍ النَّرْسِيُّ, قَالَ: حَدَّثَنَا يَعْقُبٌ القُمِّيُّ, قَالَ: حَدَّثَنَا عِيْسَى بْنُ جَارِيَةَ, قَالَ: حَدَّثَنَا  جَابِرٍ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ: جَاءَ أبَيٌّ بْنُ كَعَبٍ إلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, كَانَ مِنِّيْ الليْلَةَ شَيْءٌ فِيْ رَمَضَانَ قَالَ: وَمَا ذَاكَ يَا أُبَيٌّ؟ قَالَ: نِسْوَةٌ فِيْ دَرِيْ قُلْنَ: إنَّا لاَ نَقْرَأُ القُرْآنَ, فَنُصَلِّى بِصَلَاةِكَ, قَالَ: فَصَلَيْتُ بِهُنَّ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ, ثُمَّ أوْتَرْتُ, قَالَ: فَكَانَ شَبِهَ الرِّضًا, وَلَمْ يَقُلْ شَيْئاً.

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abu Ya'la, ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la bin Himad an-Narsiy", ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Ya'qub al-Qummiy," ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Isa bin Jariyah," ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Jabir bin Abdillah," ia berkata, " ia berkata, "Ubay bin Ka'ab datang menghadap Nabi s.a.w. kemudian mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang aku lakukan, yakni di bulan Ramadhan."' Rasulullah s.a.w. bertanya, "Apa itu, wahai Ubay?" Ubay menjawab, "Para wanita di rumahku mengatakan bahwa mereka tidak bisa membaca Al-Quran. Mereka lalu memintaku untuk mengimami mereka shalat. Maka aku shalat bersama mereka delapan rakaat lalu shalat witir." Jabir kemudian berkata, "Maka hal ini diridhai oleh Nabi s.a.w. karena beliau tidak berkata apa-apa".[5] 

Namun hadits ini kualitasnya juga lemah. Hal ini lantaran oleh para ahli hadits ada seorang perawi yang dinilai negatif yakni Isa bin Jariyah. Isa bin Jariyah memiliki nama asli Isa bin Jariyah al-Anshori al-Madani.

Yahya bin Main mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui hadits darinya. Abu Ubaid al-Ajuri dari Abu Dawud berkata bahwa haditsnya munkar.[6] Artinya hadits ini tidak bisa kita jadikan sandaran dalam pelaksanaan shalat tarawih delapan rakaat.

Sebenarnya kalau kita mau memahami secara utuh, ada hadits lain yang menyatakan bahwa nabi tidak membatasi jumlah rakaat shalat malamnya. Imam Muslim dalam kitab Shohih Muslim meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Umar yang merupakan  putra dari Umar bin al-Khattab sebagai berikut:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْحَى قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عنْ نَافِعٍ وَ عَبْدِ الله بْنُ دِيْنَارٍ عَنْ ابْنُ عُمرَ أنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلَ الله صَلَى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلاةِ اللَّيْلِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله عَليْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإذَا خَشِيَ أحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Ia berkata, "Aku membacakan  (hadits) kepada Malik (Imam Malik), dari Nafi' dan Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang shalat malam. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda, 'Shalat malam itu dua kali, dua kali. Apabila salah satu dari kalian takut karena telah tiba waktu Subuh, shalatlah dengan satu kali sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya"'.[7]

Dalam hadits ini, memang nabi tidak menyatakan shalat tarawih. Tetapi ini dapat mengindikasikan  bahwa nabi menyatakan shalat malam dilakukan dengan dua rokaat dua rakaat tanpa dibatasi jumlah rakaatnya. Dan apabila takut karena kehabisan waktu mendekati subuh, bisa ditutup dengan shalat witir satu rakaat.

Memang ada hadits yang diriwayatkan dari istri Nabi s.a.w. yakni Aisyah tentang shalat nabi empat rakaat, empat rakaat, lalu ditutup tiga rakaat. Ceritanya, ada seorang tabi'in Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada Aisyah tentang shalat nabi di bulan Ramadhan. Hadits ini terdapat dalam Shohih Bukhori pada nomor 2013 dengan lafadz sebagai berikut:

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاثاً. فَقُلتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أتَنَامُ قَبْلَ أنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَة، إنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي

Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah s.a.w. tidak pernah menambah baik di bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya rakaat tersebut. Kemudian beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan bagusnya dan panjangnya rakaat tersebut. Lalu beliau shalat tiga rakaat. Maka aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?' Beliau menjawab, 'Wahai Aisyah, sesungguhnnya mataku tidur tetapi hatiku tidak.'"[8]

Namun, hadits itu bukan berbicara mengenai shalat tarawih nabi. Hal inilah yang sering dipahami keliru oleh sebagian orang. Kalau kita baca secara utuh hadits ini, konteksnya adalah shalat witir nabi.[9] 

Lalu apakah kita bisa mengatakan bahwa para sahabat memakai hadits palsu bila mereka pernah shalat dua puluh rakaat dan delapan rakaat?

Shalat tarawih memang mulai dilaksanakan secara berjamaah pada masa khalifah Umar bin al-Khattab. Di masa itu, belum ada pemalsuan hadits. Karena belum muncul orang-orang zindiq yang menyebarkan hadits palsu. Hadits palsu mulai tersebar setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan tahun 35 H. Barulah para sahabat memperhatikan secara cermat darimana mereka menerima hadits.

Mengenai riwayat dari sahabat Ubay bin Ka'ab mengimami shalat tarawih di masa Umar bin Khattab yang terkadang pernah kita dengar ini, kita temukan dalam kitab Shohih Bukhori di bab shalat tarawih. Riwayat ini memang shohih. Hanya saja hadits ini termasuk hadits mauquf, yakni hadits yang disandarkan kepada sahabat nabi s.a.w.[10] 

Kemudian darimana para sahabat bisa mendapatkan bilangan shalat dua puluh rakaat padahal nabi tidak pernah mencontohkan?

Jawabannya kita ambil dari pernyataan Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Tadribu Rawi. Beliau menyebutkan bahwa apabila hadits mauquf itu merupakan sesuatu yang bersumber dari nabi s.a.w., bukan dari keterangan orang Yahudi dan  Nasrani, maka status hadits tersebut sama dengan hadits marfu', yakni hadits yang disandarkan hanya kepada nabi s.a.w.[11]

Persoalan bilangan dua puluh rakaat dalam shalat tarawih, tentunya bukan masalah ijtihadiyah dari para sahabat. Kalau ini masalah ijtihadiyah, tentunya para sahabat berbeda-beda dalam pelaksanaannya.

Kenyataannya, pada masa itu, tidak ada dari kalangan para sahabat yang memprotes pelaksanaan shalat tarawih tersebut secara berjamaah. Padahal ada sahabat senior seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Aisyah r.a., Abu Hurairah. Artinya, disini para sahabat sudah melakukan ijma' (kesepakatan) atas hal ini. Ijma' para sahabat bisa dijadikan sebagai dalil dan memiliki kekuatan hukum.

Maka, kalau kita ingin melaksanakan shalat tarawih menggunakan dalil ijma' sahabat dua puluh rakaat, hal itu jelas diperbolehkan. Apabila kita ingin shalat tarawih delapan rakaat pun tidak masalah bila kita pakai dalil hadits nabi shalat malam yang tidak membatasi jumlah rakaatnya.

Namun yang paling penting adalah, bahwa shalat itu akan lebih baik dilakukan apabila kita melakukannya secara tuma'ninah disertai rasa khusyu'. Tentunya seseorang tidak boleh beribadah sesuai seleranya. Hal inilah yang oleh kebanyakan orang belum diperhatikan.

Bahkan kami pernah menanyakan kepada salah seorang ustadz di daerah tempat tinggal kami mengenai bilangan shalat tarawih. Beliau beranggapan bahwa semakin banyak rakaat shalat tarawih, maka semakin menambah banyak pahala. Setelah kami telusuri, tidak pernah kami temukan dalam keterangan hadits-hadits nabi pernyataan demikian.

Nabi pernah menegur seorang laki-laki agar mengulangi shalatnya sampai tiga kali. Hal sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya di nomor hadits 793 sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم  دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى, ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  فَرَدَّ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ, فَصَلَّى، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم  فَقَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seorang laki-laki lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi s.a.w., lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, "Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat." Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi s.a.w.. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, "Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat." Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang Laki-laki tersebut berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Maka ajarilah aku!" Rasulullah s.a.w. kemudian mengajarinya dan bersabda, "Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur'an yang mudah bagimu. Lalu ruku'lah dan sertai thuma'ninah ketika ruku'. Lalu bangkitlah dan beri'tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma'ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma'ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma'ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu."[12]

Dengan pelaksanaan shalat tarawih yang bagus dan tuma'ninah tanpa ada rasa terburu-buru karena banyaknya bilangan rakaat, maka shalat pun akan terasa nikmat. Tentunya hal ini harus dipahami makna dari esensi shalat itu sendiri. Sehingga shalat tarawih tidak hanya sebatas ritual harian ketika puasa ramadhan saja. Tetapi semakin menambah ketaqwaan kita kepada Allah swt.

Referensi

  1. Ibrahim Anis, Mu'jam al-Wasith, cet. ke-4, (Kairo: Maktabah asy-Syuruk ad-Dawaliyah, 2004), hal. 380.
  2. Ali Mustafa Yakub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. ke-1, hlm. 137.
  3. Abu al-Qosam Sulaiman bin Hamad ath-Thabarani, Mu'jam al-Kabir, juz 11, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah), hlm. 393.
  4. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Mizanul I'tidal fi Naqd ar-Rijal, jilid 1, (Beirut: Darul Ma'rifah), hlm.  47.
  5. Ala' ad-Din Ali bin Balbani al-Farisi, Al-Ihsan fi Taqrib Shohih Ibnu Hibban, juz 6, (Beirut: Muasassah ar-Risalah, 1988), hlm. 290.
  6. Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzibul Kamal fi Asma'i Rijal, juz 22, (Beirut: Muasassah ar-Risalah, 1992), hlm. 588-590.
  7. Abu Al-Husein Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1991), hlm. 517.
  8. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Darul Ibnu Katsir, 2002), hal. 483.
  9. Ali Mustafa Yakub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. ke-1, hlm. 143.
  10. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Darul Ibnu Katsir, 2002), hal. 482.
  11. Jalaluddin as-Suyuthi, Tadribu Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, juz 1, (Riyadh: Maktabah al-Kautsar)  hlm. 207-208.
  12. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Darul Ibnu Katsir, 2002), hal. 195-196.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun