Jawabannya kita ambil dari pernyataan Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Tadribu Rawi. Beliau menyebutkan bahwa apabila hadits mauquf itu merupakan sesuatu yang bersumber dari nabi s.a.w., bukan dari keterangan orang Yahudi dan Nasrani, maka status hadits tersebut sama dengan hadits marfu', yakni hadits yang disandarkan hanya kepada nabi s.a.w.[11]
Persoalan bilangan dua puluh rakaat dalam shalat tarawih, tentunya bukan masalah ijtihadiyah dari para sahabat. Kalau ini masalah ijtihadiyah, tentunya para sahabat berbeda-beda dalam pelaksanaannya.
Kenyataannya, pada masa itu, tidak ada dari kalangan para sahabat yang memprotes pelaksanaan shalat tarawih tersebut secara berjamaah. Padahal ada sahabat senior seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Aisyah r.a., Abu Hurairah. Artinya, disini para sahabat sudah melakukan ijma' (kesepakatan) atas hal ini. Ijma' para sahabat bisa dijadikan sebagai dalil dan memiliki kekuatan hukum.
Maka, kalau kita ingin melaksanakan shalat tarawih menggunakan dalil ijma' sahabat dua puluh rakaat, hal itu jelas diperbolehkan. Apabila kita ingin shalat tarawih delapan rakaat pun tidak masalah bila kita pakai dalil hadits nabi shalat malam yang tidak membatasi jumlah rakaatnya.
Namun yang paling penting adalah, bahwa shalat itu akan lebih baik dilakukan apabila kita melakukannya secara tuma'ninah disertai rasa khusyu'. Tentunya seseorang tidak boleh beribadah sesuai seleranya. Hal inilah yang oleh kebanyakan orang belum diperhatikan.
Bahkan kami pernah menanyakan kepada salah seorang ustadz di daerah tempat tinggal kami mengenai bilangan shalat tarawih. Beliau beranggapan bahwa semakin banyak rakaat shalat tarawih, maka semakin menambah banyak pahala. Setelah kami telusuri, tidak pernah kami temukan dalam keterangan hadits-hadits nabi pernyataan demikian.
Nabi pernah menegur seorang laki-laki agar mengulangi shalatnya sampai tiga kali. Hal sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya di nomor hadits 793 sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى, ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَرَدَّ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ, فَصَلَّى، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seorang laki-laki lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi s.a.w., lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, "Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat." Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi s.a.w.. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, "Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat." Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang Laki-laki tersebut berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Maka ajarilah aku!" Rasulullah s.a.w. kemudian mengajarinya dan bersabda, "Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur'an yang mudah bagimu. Lalu ruku'lah dan sertai thuma'ninah ketika ruku'. Lalu bangkitlah dan beri'tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma'ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma'ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma'ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu."[12]
Dengan pelaksanaan shalat tarawih yang bagus dan tuma'ninah tanpa ada rasa terburu-buru karena banyaknya bilangan rakaat, maka shalat pun akan terasa nikmat. Tentunya hal ini harus dipahami makna dari esensi shalat itu sendiri. Sehingga shalat tarawih tidak hanya sebatas ritual harian ketika puasa ramadhan saja. Tetapi semakin menambah ketaqwaan kita kepada Allah swt.
Referensi
- Ibrahim Anis, Mu'jam al-Wasith, cet. ke-4, (Kairo: Maktabah asy-Syuruk ad-Dawaliyah, 2004), hal. 380.
- Ali Mustafa Yakub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. ke-1, hlm. 137.
- Abu al-Qosam Sulaiman bin Hamad ath-Thabarani, Mu'jam al-Kabir, juz 11, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah), hlm. 393.
- Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Mizanul I'tidal fi Naqd ar-Rijal, jilid 1, (Beirut: Darul Ma'rifah), hlm. 47.
- Ala' ad-Din Ali bin Balbani al-Farisi, Al-Ihsan fi Taqrib Shohih Ibnu Hibban, juz 6, (Beirut: Muasassah ar-Risalah, 1988), hlm. 290.
- Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzibul Kamal fi Asma'i Rijal, juz 22, (Beirut: Muasassah ar-Risalah, 1992), hlm. 588-590.
- Abu Al-Husein Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1991), hlm. 517.
- Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Darul Ibnu Katsir, 2002), hal. 483.
- Ali Mustafa Yakub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. ke-1, hlm. 143.
- Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Darul Ibnu Katsir, 2002), hal. 482.
- Jalaluddin as-Suyuthi, Tadribu Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, juz 1, (Riyadh: Maktabah al-Kautsar) hlm. 207-208.
- Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Darul Ibnu Katsir, 2002), hal. 195-196.