Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Carilah Ilmu Walau Sampai ke Negeri Cina

30 Juni 2021   22:41 Diperbarui: 31 Maret 2022   20:12 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedudukan hadits

Dari sanad yang kita bahas di atas, ternyata semua sanad hadits di atas lemah. Hadits di atas termasuk dhoif yang tidak bisa diubah kedudukannya. Biasanya, apabila ada suatu hadits dhoif, namun ada riwayat lain yang punya kedudukan sanad yang dhoif juga, maka kedudukan hadits itu bisa meningkat menjadi hasan li ghairihi. Namun dengan catatan apabila perawi dalam sanad yang lain itu bukan seorang yang berbuat fasiq, berdusta ataupun pemalsu hadits.

Hadits "Carilah Ilmu Walau Sampai ke Negeri Cina" ini tidak bisa dinaikkan statusnya menjadi hadits hasan li ghairihi. Karena ada rawi yang ternyata berdusta dan di riwayat lain, ada lagi seorang rawi yang juga pemalsu hadits.

Dalam kaidah ilmu jarh wa ta'dil, apabila ada seorang rawi dinilai dengan penilaian positif dan negatif oleh para kritikus hadits, maka pendapat penilaian negatif ini diunggulkan bila dijelaskan sebab-sebabnya.

Dalam kasus ini, ada seorang rawi yang cukup kontroversial, yakni Ya'qub bin Ishaq. Di atas, saya sudah jelaskan bahwa terjadi perselisihan penilaian diantara ahli hadits mengenai perawi ini. Namun, Adz-Dzahabi menjelaskan sebabnya dia dinilai majruh ialah karena dia kadzab (berdusta). Dalam hal ini, penilaian negatif jelas diunggulkan.

Dari segi matan, para ulama mengatakan bahwa ungkapan ini tidak memiliki asal usul yang jelas. Bahkan Ibnu Hibban mengatakan ungkapan ini bathil, laa ashluhu.[8] Ini bila kita tinjau berdasarkan Al-Quran, jelas bertentangan. Apalagi menurut akal dan panca indera kita. Apakah mungkin, nabi menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu harus sampai ke negeri yang sejauh itu pada masa itu? Apalagi perintahnya spesifik ke negeri tertentu.

Menurut mayoritas para ulama, bila ada suatu hadits yang kedudukannya dhoif maka hadits itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam berdalil. Namun bisa dijadikan sebagai motivasi, ancaman, dan fadhailul amal dengan pengecualian. Apabila hadits itu dhoif sangat parah (maudhu'), maka hadits itu tidak bisa dijadikan sebagai fadhailul amal. Apalagi dijadikan hujjah sebagai dalil. Jelas tidak bisa.

Karenanya kita tidak perlu menanyakan lagi mengapa nabi bersabda mencari ilmu harus sampai ke negeri Cina. Sebab ungkapan ini jelas tidak ada asalnya. Kalau dikatakan hadits, maka hadits ini termasuk hadits yang maudhu' (palsu). Wallahu a'lam.  

Catatan kaki

  1. Al-Imam Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit, Ar-Rihlah fi Tholab al-Hadits, cet. ke-1, 1975, hlm. 72.
  2. Al Imam Al-Hafidz Syaikh Al-Islam Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim, Kitab al-Jarh wa Tadil, cet. ke-1, (Beirut: Darul Kutub Islamiyah), hlm. 494.
  3. Al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma'i Rijal, juz ke-34, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), hlm. 5.
  4. Al Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Ahaadits Al-Maudhuah, jilid 1, (Beirut: Dar al-Ma'rifat), hlm. 193.
  5. Al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, juz ke-6, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), hlm. 213-214.
  6. Al-Imam Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolani, Lisan al-Mizan, jilid 8, (Beirut: Maktabah Mathbuah al-Islamiyyah), hlm. 525-527.
  7. Al Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Ahaadits Al-Maudhuah, jilid 1, (Beirut: Dar al-Ma'rifat), hlm. 193.
  8. Muhammad Nashirudin Al-Albani, Silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah wa al-Maudhu'ah, jilid 1, cet. ke-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif), hlm. 602.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun