Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Carilah Ilmu Walau Sampai ke Negeri Cina

30 Juni 2021   22:41 Diperbarui: 31 Maret 2022   20:12 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ada sebuah ungkapan yang cukup masyhur kita dengar. Bahkan ungkapan ini tersebar di buku-buku pelajaran sekolah. Yang lebih mengagetkan lagi, ada sebagian orang yang mengatakan kalimat ini adalah sebuah hadits nabi. Bunyi kalimat ini ialah, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina".

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar kalimat ini sebuah hadits? Kalaupun sebuah hadits, siapa yang meriwayatkan? Bagaimanakah kualitas hadits ini? Apakah hadits ini shohih, hasan, dhoif atau ini sebuah hadits palsu? Kita akan bahas berikut ini.

Setelah saya telusuri asalnya, ternyata ungkapan ini tertuang dalam kitab Ar-Rihlah karangan Khatib Al-Baghdadi. Bahkan ungkapan ini ternyata diriwayatkan oleh beberapa ulama lain dalam berbagai karangannya antara lain: Ibnu Adiy dalam Al-Kamil, Ibnu Abdul Bari dalam Jami' Bayanul Ilmi wa Fadhlihi, Al-Uqoili dalam Ad-Dhuafa'. Semua yang mereka riwayatkan lafadznya adalah:

"اطلبوا العلم ولو بالصين, فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم"

Artinya: "Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina, maka sesungguhnya menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim".

Sementara bila kita telusuri sanad riwayat tersebut, maka kita akan temukan beberapa jalur sanad yakni:

  • Abu Al Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Utsman At-Thurazi - Abu Al-Abbas Muhammad bin Ya'qub Al-Ashim - Al-Hasan bin Ali bin Affan Al-Amiriyyu - Al-Hasan bin Athiyah - Abu Atikah - Anas bin Malik - Rasulullah s.a.w. Ungkapan dengan jalur sanad ini diriwayatkan oleh Khotib Al-Baghdadi dalam Ar-Rihlah.
  • Ja'far bin Muhammad Az-Za'farani - Ahmad bin Abu Syarih Ar-Razi - Hamad bin Kholid Al-Khoyyath - Thorif bin Salman Abu Atikah - Anas bin Malik - Rasulullah s.a.w. Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oleh Al-Uqoili.
  • Muhammad bin Al-Hasan bin Qutaibah - Abbas bin Ismail - Al-Hasan bin Athiyah Al-Kufi - Abu Atikah.
  • Ahmad bin Abdullah - Maslamah bin Qosim - Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim Al-Asqolani - Ubaid bin Muhammad Al-Firyabi - Sufyan bin Uyainah - Az-Zuhri - Anas bin Malik - Rasulullah s.a.w. Jalur sanad ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bari.
  • Ibnu Karram - Ahmad bin Abdullah Al-Juwaibari - Al-Fadhl bin Musa - Muhammad bin Amr - Abi Salamah - Abu Hurairah - Rasulullah s.a.w.[1]

Bagaimanakah kualitas sanad di atas? Mari kita bahas.

Disini, saya tidak akan menuliskan biografi masing-masing perawi satu per satu. Tetapi saya akan menuliskan perawi yang bermasalah dari masing-masing jalur sanad di atas. Siapakah mereka yang bermasalah itu?

  

Abu Atikah

Di jalur yang pertama hingga ketiga, ada rawi bernama Abu Atikah dan Al-Hasan bin Athiyyah. Untuk Abu Atikah, nama aslinya Thorif bin Salman. Dikatakan juga Salman bin Thorif. Ia berasal dari Kufah. Bahkan ada yang menyebut dia penduduk Bashrah. Dia memperoleh riwayat hadits dari Anas bin Malik.

Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits darinya diantaranya: Al-Hasan bin Athiyah Al-Qurasiyyun, Hamad bin Kholid Al-Khoyyath, Sallam bin Sulaiman Al-Madainiyyun, Ali bin Yazid Al-Shudoiyyun.

Para ulama banyak memberikan penilaian negatif terhadapnya. Abu Hatim dalam kitabnya Jarh wa Tadil mengatakan bahwa haditsnya termasuk dzahibul hadits dan dhoif.[2] Imam Bukhori mengatakan bahwa haditsnya mungkar. Imam An-Nasai mengatakan bahwa dia tidak tsiqoh (terpercaya). Ibnu Hibban mengatakan bahwa haditsnya sangat mungkar. Ad-Daruquthni mengatakan dia dhoif.[3] Apabila seorang perawi dinilai negatif oleh para ulama, maka perawi tersebut memenuhi unsur jarh

Al-Hasan bin Athiyyah

Nama aslinya adalah Al-Hasan bin Athiyyah bin Najih Al-Qurasyiyyun. Nama kunyahnya adalah Abu Ali Al-Kuffi Al-Bazzari. Ia memperoleh riwayat dari banyak rawi dan tidak akan semuanya saya sebut, diantaranya: Israil bin Yunus, Ja'far bin Ziyad Al-Ahmar, Ya'qub bin Abdillah Al-Qummiyyi, dan Abu Atikah. Jadi, disini ada pertemuan antara Abu Atikah dengan Al-Hasan bin Athiyyah. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits darinya diantara yang terkenal ialah termasuk Muhammad bin Ismail atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhori. Namun, tidak ada nama Al-Hasan bin Ali bin Affan Al-Amiriyyu.

Dalam kitab Tahdzibul Kamal, hanya ada satu saja penilaian seorang ulama yang menilainya dengan penilaian positif, ialah Abu Hatim. Abu Hatim mengatakan, ia perawi yang jujur (shoduq). Namun, menurut Ibnu Hibban, ia termasuk perawi yang dhoif.[4] Jadi jelas disini ada pertentangan dalam penilaian rawi tersebut. Dikatakan bahwa ia wafat pada tahun 210 H.[5] 

Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim Al-Asqolani

Kita temukan di jalur sanad yang keempat seorang rawi bermasalah bernama Yaqub bin Ishaq. Nama aslinya ialah Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Yazid bin Hajar bin Muhammad Al-Asqolani. Ia lahir pada tahun 224 H. Adz-Dzahabi dalam Mizanul I'tidal dan Lisanul Mizan mengatakan dia rawi yang kadzab, yakni pendusta.

Disebutkan oleh Maslamah bin Qosim dalam kitabnya "Ash-Shilah" bahwa dia menyebutkannya secara keseluruhan dari guru-gurunya bahwa terjadi perselisihan penilaian diantara ahli hadits. Sebagian ada yang menilainya majruh (inkredibel), sebagian lagi ada yang menilainya tsiqoh (terpercaya). Menurut Maslamah, dia termasuk sholih jaizul hadits (baik rawinya).[6] Ya'qub bin Ishaq wafat pada tahun 320 H.

 

Ahmad bin Abdullah Al-Juwaibari

Di jalur kelima, ada nama seorang perawi yang bernama Ahmad bin Abdullah Al-Juwaibari. Dia ini termasuk seorang pemalsu hadits.[7] Apabila ada seorang perawi dinilai sebagai pemalsu hadits, fasiq, ataupun berdusta oleh para ulama, maka status hadits itu memenuhi syarat jadi hadits dhoif. Bahkan bisa jadi hadits maudhu' (palsu).   

 

Kedudukan hadits

Dari sanad yang kita bahas di atas, ternyata semua sanad hadits di atas lemah. Hadits di atas termasuk dhoif yang tidak bisa diubah kedudukannya. Biasanya, apabila ada suatu hadits dhoif, namun ada riwayat lain yang punya kedudukan sanad yang dhoif juga, maka kedudukan hadits itu bisa meningkat menjadi hasan li ghairihi. Namun dengan catatan apabila perawi dalam sanad yang lain itu bukan seorang yang berbuat fasiq, berdusta ataupun pemalsu hadits.

Hadits "Carilah Ilmu Walau Sampai ke Negeri Cina" ini tidak bisa dinaikkan statusnya menjadi hadits hasan li ghairihi. Karena ada rawi yang ternyata berdusta dan di riwayat lain, ada lagi seorang rawi yang juga pemalsu hadits.

Dalam kaidah ilmu jarh wa ta'dil, apabila ada seorang rawi dinilai dengan penilaian positif dan negatif oleh para kritikus hadits, maka pendapat penilaian negatif ini diunggulkan bila dijelaskan sebab-sebabnya.

Dalam kasus ini, ada seorang rawi yang cukup kontroversial, yakni Ya'qub bin Ishaq. Di atas, saya sudah jelaskan bahwa terjadi perselisihan penilaian diantara ahli hadits mengenai perawi ini. Namun, Adz-Dzahabi menjelaskan sebabnya dia dinilai majruh ialah karena dia kadzab (berdusta). Dalam hal ini, penilaian negatif jelas diunggulkan.

Dari segi matan, para ulama mengatakan bahwa ungkapan ini tidak memiliki asal usul yang jelas. Bahkan Ibnu Hibban mengatakan ungkapan ini bathil, laa ashluhu.[8] Ini bila kita tinjau berdasarkan Al-Quran, jelas bertentangan. Apalagi menurut akal dan panca indera kita. Apakah mungkin, nabi menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu harus sampai ke negeri yang sejauh itu pada masa itu? Apalagi perintahnya spesifik ke negeri tertentu.

Menurut mayoritas para ulama, bila ada suatu hadits yang kedudukannya dhoif maka hadits itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam berdalil. Namun bisa dijadikan sebagai motivasi, ancaman, dan fadhailul amal dengan pengecualian. Apabila hadits itu dhoif sangat parah (maudhu'), maka hadits itu tidak bisa dijadikan sebagai fadhailul amal. Apalagi dijadikan hujjah sebagai dalil. Jelas tidak bisa.

Karenanya kita tidak perlu menanyakan lagi mengapa nabi bersabda mencari ilmu harus sampai ke negeri Cina. Sebab ungkapan ini jelas tidak ada asalnya. Kalau dikatakan hadits, maka hadits ini termasuk hadits yang maudhu' (palsu). Wallahu a'lam.  

Catatan kaki

  1. Al-Imam Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit, Ar-Rihlah fi Tholab al-Hadits, cet. ke-1, 1975, hlm. 72.
  2. Al Imam Al-Hafidz Syaikh Al-Islam Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim, Kitab al-Jarh wa Tadil, cet. ke-1, (Beirut: Darul Kutub Islamiyah), hlm. 494.
  3. Al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma'i Rijal, juz ke-34, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), hlm. 5.
  4. Al Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Ahaadits Al-Maudhuah, jilid 1, (Beirut: Dar al-Ma'rifat), hlm. 193.
  5. Al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, juz ke-6, cet. ke-1, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), hlm. 213-214.
  6. Al-Imam Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolani, Lisan al-Mizan, jilid 8, (Beirut: Maktabah Mathbuah al-Islamiyyah), hlm. 525-527.
  7. Al Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Ahaadits Al-Maudhuah, jilid 1, (Beirut: Dar al-Ma'rifat), hlm. 193.
  8. Muhammad Nashirudin Al-Albani, Silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah wa al-Maudhu'ah, jilid 1, cet. ke-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif), hlm. 602.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun