Selain pandangan rakyat yang sulit menghargai perbedaan agama dalam salah satu kasus di atas, terdapat juga opini bahwa pemimpin wilayah A haruslah orang yang asli berasal dari wilayah AÂ dan bukan dari wilayah lain. Tidak ada yang salah dari pendapat hal ini, terutama bagi beberapa pengecualian daerah yang memang sifatnya turun temurun, seperti D.I. Yogyakarta. Tetapi apakah sebagai rakyat, kita justru memandang diri kita sebagai rakyat sedikit 'egois' karena tidak memberi kesempatan bagi calon pemimpin baru yang berpotensi memiliki etos pemimpin yang baik dalam memimpin masyarakat?
 Di dalam undang-undang, tidak ada persyaratan bahwa yang dapat menjadi calon kepala daerah adalah putra daerah. Mengenai persyaratan untuk menjadi kepala daerah, terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2015. Selain itu, calon kepala daerah (gubernur, walikota, atau bupati) bias merupakan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik; dan/atau bisa juga merupakan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Sisi positif dari kasus pemimpin daerah yang tidak harus putra daerah adalah, daerah tersebut dapat menjadi mengerti perkembangan baru di luar wilayahnya. Selain itu, daerah yang dipimpin juga merasakan dampak kemajuan yang positif bagi perkembangan daerahnya, sarana prasana dan sumber daya juga dapat pengelolaan yang baik karena pemimpin yang baru ini tidak hanya berpengetahuan lokal mengenai daerah yang dipimpinnya. Selain UU No.8 Tahun 2015, Pemerintah daerah juga diatur dalam Bab IV UUD 1945 mengenai Pemerintah Daerah Pasal 18 ayat 4 bahwa "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis."
Pemilihan secara demokratis ini, dapat diartikan sebagai hal yang positif maupun negatif. Positifnya, demokratis sehingga rakyat dapat terlibat aktif dalam pemerintahan.Â
Sisi negatif, demokratis ini kesempatan bagi golongan tertentu untuk dapat menguasai suatu daerah dan mengindoktrinasi pemikiran dan konsep mereka ke daerah tersebut atau dalam kata lain membujuk masyarakat untuk sepaham dengan apa yang mereka percaya. Ya, itulah realita bahwa oknum-oknum tertentu memanfaatkan hal ini untuk kepentingan golongan masing-masing.
Sebagai rakyat sebuah negara kesatuan, baiklah kita jika bijak dalam terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pedoman dan aturan dalam bernegara tidak akan berjalan jika pemikiran dan konsep pandangan rakyat masih bertingkah 'tradisional' dan mementingkan kepentingan golongan sendiri. Menjadi warga negara di tengah perbedaan janganlah 'fanatik' terhadap apa yang kita pandang baik menurut masing-masing. Tetap menghargai perbedaan dan memberlakukan setiap kasus di negara ini dengan adil dan demokratis serta tidak mementingkan kepentingan kelompok di tengah kepentingan negara.
Salam Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H