Indonesia adalah negara Kesatuan. Negara yang memiliki banyak sekali keberagaman baik agama, ras, dan golongan. Perbedaan tersebut disatukan oleh semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tetapi, keberagaman tersebut dikonotasikan sebagai aspek kehidupan yang positif atau negatif? Keberagaman sebagai satu untuk saling memperkaya dan menjalin solidaritas, atau keberagaman untuk saling menjatuhkan dengan mengatasnamakan SARA?Â
Sebuah pemimpin pemerintahan dengan rakyat yang kaya akan perbedaan dan keberagaman; Apakah memiliki kemampuan dan integritas sebagai pemimpin yang menjunjung kesatuan di tengah perbedaan yang ada; atau justru memimpin karena dukungan dari golongan yang sama lalu melatarbelakang kan SARA dan menjadi dukungan kuat tetapi tidak memiliki kemampuan memimpin dengan baik? Bagaimana dengan cara pandang rakyat terhadap pemikiran pemimpin yang melatarbelakang kan SARA sebagai dukungan kuat dan bukan dari kemampuannya dalam memimpin suatu keberagaman?; atau justru terkadang pemerintah sudah menjunjung kesatuan, namun rakyat bersuara bahwa ada ketidakadilan yang disampaikan dengan mengatasnamakan SARA?
Pada artikel mengenai "Pemerintahan, Pancasila / Berdasar Golongan?" kali ini, penulis akan menggaris bawahi beberapa kasus di negara ini, mengenai agama dan golongan, di dalam pemerintahan, terutama dalam masa-masa krusial seperti masa kampanye pemilu, atau ketika pemimpin pemerintahan terjerat suatu kasus dan justru tidak diadili dengan adil, tetapi segalanya mengatasnamakan SARA.
Sebagai dasar negara, di dalam Pembukaan UUD terdapat Pancasila yang isinya:Â
Pancasila sebagai sumber dari hukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, telah terlaksana di dalam peraturan perundang-undangan. Segala peraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diatur di dalamnya, dan UUD bersumber dari Pancasila, begitu pula pemerintahan di Indonesia.Â
![steemit.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/01/isi-uud-5c0232c6677ffb58b4606a6a.png?t=o&v=770)
Begitulah seorang pemimpin yang memiliki integritas serta kemampuan memimpin dengan baik. Ketika suatu hasil dari pekerjaan telah terbukti baik dan masyarakat puas, maka kesimpulan dari kepemimpinan yang menjabat adalah baik. Etos kerja seorang pemimpin pemerintahan dilihat dari latarbelakang dia memimpin dan selama pemimpin tersebut menjabat dalam pemerintahan, baik dari skala kecil dari, Walikota/Bupati, Gubernur, maupun Presiden.
Bagaimana jika pemimpin rakyat melakukan kesalahan dalam bekerja dan tersangkut suatu kasus dan dituduh mengatasnamakan SARA? Seperti kasus yang belum lama terjadi, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang dituduh menodai agama. (sumber)
![kasus-ahok-1-5c023304c112fe605f27e427.png](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/01/kasus-ahok-1-5c023304c112fe605f27e427.png?t=o&v=770)
![steemit.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/01/kasus-ahok-2-5c0233126ddcae7e926cef76.png?t=o&v=770)
Hakim dalam pengadilan telah memutuskan dengan adil sesuai tingkatan kasus menurut Hukum Penistaan Agama di Indonesia (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_penistaan_agama)Â
![steemit.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/01/kuhp-penistaan-agama-5c02331eab12ae6a50341974.png?t=o&v=770)
Selain pandangan rakyat yang sulit menghargai perbedaan agama dalam salah satu kasus di atas, terdapat juga opini bahwa pemimpin wilayah A haruslah orang yang asli berasal dari wilayah AÂ dan bukan dari wilayah lain. Tidak ada yang salah dari pendapat hal ini, terutama bagi beberapa pengecualian daerah yang memang sifatnya turun temurun, seperti D.I. Yogyakarta. Tetapi apakah sebagai rakyat, kita justru memandang diri kita sebagai rakyat sedikit 'egois' karena tidak memberi kesempatan bagi calon pemimpin baru yang berpotensi memiliki etos pemimpin yang baik dalam memimpin masyarakat?
 Di dalam undang-undang, tidak ada persyaratan bahwa yang dapat menjadi calon kepala daerah adalah putra daerah. Mengenai persyaratan untuk menjadi kepala daerah, terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2015. Selain itu, calon kepala daerah (gubernur, walikota, atau bupati) bias merupakan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik; dan/atau bisa juga merupakan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Sisi positif dari kasus pemimpin daerah yang tidak harus putra daerah adalah, daerah tersebut dapat menjadi mengerti perkembangan baru di luar wilayahnya. Selain itu, daerah yang dipimpin juga merasakan dampak kemajuan yang positif bagi perkembangan daerahnya, sarana prasana dan sumber daya juga dapat pengelolaan yang baik karena pemimpin yang baru ini tidak hanya berpengetahuan lokal mengenai daerah yang dipimpinnya. Selain UU No.8 Tahun 2015, Pemerintah daerah juga diatur dalam Bab IV UUD 1945 mengenai Pemerintah Daerah Pasal 18 ayat 4 bahwa "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis."
Pemilihan secara demokratis ini, dapat diartikan sebagai hal yang positif maupun negatif. Positifnya, demokratis sehingga rakyat dapat terlibat aktif dalam pemerintahan.Â
Sisi negatif, demokratis ini kesempatan bagi golongan tertentu untuk dapat menguasai suatu daerah dan mengindoktrinasi pemikiran dan konsep mereka ke daerah tersebut atau dalam kata lain membujuk masyarakat untuk sepaham dengan apa yang mereka percaya. Ya, itulah realita bahwa oknum-oknum tertentu memanfaatkan hal ini untuk kepentingan golongan masing-masing.
Sebagai rakyat sebuah negara kesatuan, baiklah kita jika bijak dalam terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pedoman dan aturan dalam bernegara tidak akan berjalan jika pemikiran dan konsep pandangan rakyat masih bertingkah 'tradisional' dan mementingkan kepentingan golongan sendiri. Menjadi warga negara di tengah perbedaan janganlah 'fanatik' terhadap apa yang kita pandang baik menurut masing-masing. Tetap menghargai perbedaan dan memberlakukan setiap kasus di negara ini dengan adil dan demokratis serta tidak mementingkan kepentingan kelompok di tengah kepentingan negara.
Salam Pancasila.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI